Skip to content

Yang Bernilai

Tuhan Yesus menuntun setiap individu, bagaimana mereka bisa memiliki karakter-Nya; karakter Tuhan Yesus, yang dikenakan dalam personality masing-masing pribadi. Sebenarnya kita tidak punya waktu banyak. Orang yang mengarahkan fokusnya saja, belum tentu bisa mencapainya dengan mudah. Apalagi kalau kita mengisi waktu untuk hal sia-sia, tentu saja kita tidak akan bisa mencapainya. Perjumpaan dengan Tuhan itu mutlak. Bagi yang memiliki pengetahuan tentang Tuhan melalui seminar, khotbah, atau pendidikan formal perguruan tinggi keagamaan Kristen seperti STT, seminari, jangan merasa kita sudah mengenal Dia karena memiliki pengetahuan tentang Dia. Kita harus mengalami Tuhan, berjumpa dengan Tuhan. Kita harus mencari wajah-Nya setiap hari. 

Kalau kita tidak memiliki perjumpaan dengan Tuhan secara memadai, maka kita gagal menemukan potret Anak Allah yang mestinya kita kenakan; karakter anak Allah yang kita kenakan dalam personality masing-masing kita yang khas; “Mengenal Dia, dan kuasa kebangkitan-Nya.” Jika kita sudah mengenal Dia dan mengalami Tuhan yang hidup, maka kita baru masuk dalam persekutuan dalam penderitaan-Nya. Orang Kristen yang benar tidak mungkin tidak menderita untuk Tuhan. Maka, jangan melihat standar hidup manusia pada umumnya. Sebab kita tidak akan pernah mengenal Tuhan dengan benar. 

Standar hidup manusia pada umumnya itu salah. Kehidupan Yesus, yang pastinya memikul salib; kita mungkin belum sampai tingkat punya salib. Kalau fokusnya hanya bagaimana hidup nyaman, tidak memiliki persoalan, punya keturunan, punya pasangan yang baik, membangun rumah tangga, punya berbagai fasilitas dan menikmatinya, kita sesat. Itu gaya hidup atau cara hidup manusia pada umumnya. Sedangkan anak-anak Allah itu, selain memiliki karakter Kristus dalam personality masing-masing yang khas, pasti memiliki tempat di mana kita harus memikul salib. 

“Persekutuan dalam penderitaan-Nya, dimana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya.” Inilah cara memandang hidup yang benar itu: kehidupan Yesus. Paulus berusaha untuk memiliki cara hidup tersebut. Untuk itu, ini adalah perjuangan yang berat karena harus menanggalkan apa yang kita pandang sebagai sesuatu yang bernilai. Kalau kita memandang yang bernilai itu kedudukan, pangkat, uang, harta; maka kita tidak bisa ikut Tuhan Yesus. Ini cara pandang yang salah. Memang, tidak keliru memiliki gelar, pangkat, kedudukan, uang, harta; tetapi harus kita ingat bahwa kita telah ditebus oleh Tuhan Yesus, dan kita bukan milik kita sendiri. Apa pun yang kita lakukan harus untuk kemuliaan Tuhan. 

Yang bernilai itu adalah mengenal Dia. Untuk mengenal Dia, “Segala sesuatu kuanggap rugi karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhan lebih mulia daripada semuanya. Oleh karena Yesuslah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus.” Artinya kalau kita memperoleh Kristus, berarti memiliki spirit, gairah, cara hidup, cara berpikir, gaya hidup yang dimiliki juga oleh Yesus. Yesus; proper name, nama diri Anak Allah. “Kristus” artinya “yang diurapi.” Maka, “Hidupku bukan aku lagi, tapi Kristus.” 

Betapa kita harus berjuang melepaskan diri dari lilitan, belenggu yang sudah membelenggu kita selama bukan saja belasan tahun, bisa puluhan tahun. Bagi kita yang sudah di atas 30, 40 tahun, banyak yang cara pandangnya sudah salah, sudah keliru. Cara dan gaya hidup Tuhan Yesus adalah cara dan gaya hidup Anak Allah yang bukan berasal dari dunia. Dalam Yohanes 17:16, beberapa kali diulang, “Aku bukan dari dunia. Kamu bukan dari dunia.” Di Filipi 3:20 dikatakan oleh Paulus, “Kewargaan kita adalah di dalam surga, dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat.” 

Kalau orang masih memandang harta, kekayaan itu bernilai, pasti dia tidak bisa menghayati bahwa dia bukan berasal dari dunia ini. Cara pandang hidupnya salah, rusak, kacau. Mestinya tidak berlebihan kalau kita mendengar atau menangkap yang dikatakan Tuhan Yesus, “Kumpulkan harta di surga, bukan di bumi.” Dalam Kolose 3:1-3 Rasul Paulus mengatakan, “Carilah perkara yang di atas, bukan yang di bumi.” Jadi, jika cara pandang hidupnya benar, perspektifnya pun benar. Secara teori, kita bisa setuju terhadap hal ini. Tetapi, sejujurnya praktiknya tidaklah mudah. Karena, kita sudah terbelenggu selama puluhan tahun dan membangun selera di dalam diri kita. 

Kita bukan berasal dari dunia ini. Kewargaan kita dari surga. Perjuangan menyangkal diri memang tidak mudah. Kita bersyukur kita terperangkap; terperangkap dalam perangkap langit baru bumi baru. Cara kita memandang hidup yang benar adalah bahwa hidup yang sesungguhnya bukan sekarang; tetapi nanti, di langit baru bumi baru. Persoalannya, siapakah orang-orang yang boleh hidup di dunia akan datang itu? Tuhan Yesuslah modelnya. Kalau kita tidak memiliki model seperti Yesus, kita tidak boleh masuk Rumah Bapa. 

Yang bernilai dalam hidup adalah mengenal Dia