Dalam berhubungan dengan Allah, dalam berinteraksi dengan Allah ada dua aspek yang harus kita ketahui untuk bisa mengalami Tuhan lebih mendalam. Jadi ini seperti sekeping mata uang. Tidak terpisahkan. Dari aspek Allah ada tuntutan yang harus dipenuhi. Tetapi dari aspek kita, kita harus memenuhi tuntutan itu. Aspek pertama, aspek dari pihak Tuhan. Tuhan dalam kekudusan dan keagungan-Nya tidak bisa disentuh sembarangan. Allah tidak bisa dihampiri sesuka-suka kita. Allah pasti memiliki tatanan. Itulah sebabnya firman Tuhan mengatakan, “Siapa yang boleh masuk naik ke gunung Tuhan? Siapa yang boleh datang menyembah Dia?” (Mzm. 24:3). Jadi ada semacam syarat yang harus dipenuhi untuk bisa menembus tahap demi tahap, tingkat lebih tinggi, lintasan demi lintasan untuk sampai kepada God’s region (kawasan Tuhan). Aspek ini tidak bisa kita tawar, itu mutlak.
Yang kedua, aspek dari pihak manusia. Hal ini menyangkut tiga hal, yaitu: yang pertama, kesucian hidup; bagaimana kita memiliki kehidupan yang benar-benar bersih. Jadi tidak boleh ada yang kita lakukan yang melanggar kekudusan Allah. Yang kedua, kedewasaan mental. Pengalaman-pengalaman yang dahsyat dengan Allah sering kali menjadi rahasia iman yang tidak boleh diceritakan kepada orang. Tetapi banyak orang yang tidak dewasa mental, bocor. Karena itu dapat menjadi komoditas untuk kesombongan. Karena mau mengangkat diri, mau dapat nilai, mendapat poin kredit pengalaman spektakuler dengan Tuhan. Paulus memiliki pengalaman ini, supaya dia tidak sombong, maka dia diberi duri dalam daging. Banyak perkara ajaib yang kita alami dengan Tuhan pada waktu kita berinteraksi dengan-Nya dan Tuhan menghendaki kita memiliki rahasia iman, keintiman dengan Tuhan.
Yang ketiga, keterikatan dengan Tuhan. Orang yang mau masuk hadirat Allah haruslah orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Orang yang selesai dengan dirinya sendiri adalah orang yang tidak lagi merasa berutang kepada siapa-siapa; tidak terikat dengan apa pun dan siapa pun kecuali dengan Tuhan. Walaupun ia belum punya rumah, belum punya pacar, belum punya jodoh, belum punya fasilitas lain, belum selesai masalahnya, dan lain sebagainya, tetapi kalau kita menghadap Tuhan seakan-akan semua sudah selesai. Lagi pula kita percaya, Tuhan mampu menyelesaikan.
Untuk bisa mengalami Tuhan dan memiliki hubungan yang intim dengan Tuhan, maka kita harus memperhatikan apa yang harus kita penuhi. Allah tidak mengurangi harga dari nilai atau value yang Allah miliki. Ingat, yang boleh naik ke gunung kudus-Nya, hanyalah orang yang suci hatinya. Lalu dari aspek manusia, kita harus hidup kudus, dewasa mental, dan tidak ada keterikatan. Menghadap Tuhan dengan sikap hati yang pantas walaupun beban hidup masih bertumpuk-tumpuk. Maka, kita tidak boleh memberhalakan masalah.
Pada zaman dahulu, misalnya pada zaman Nehemia, ketika seseorang menghadap raja dengan muka muram, ia bisa dihukum, bahkan bisa sampai hukuman mati karena dianggap tidak menghormati raja. Peristiwa itu hendak menunjukkan bahwa menghadap raja dunia saja tidak boleh muram. Memang, hubungan kita dengan Allah bukan hanya hubungan Raja dengan rakyat, melainkan hubungan Bapa dan anak. Tetapi anak-anak yang dewasa pasti berhenti merengek-merengek, berhenti bersungut-sungut karena ia yakin bahwa Allah itu hidup, yakin bahwa Allah itu Maha Kuat dan pasti menolongnya.
Jadi kalau Tuhan seakan-akan tidak menolong, seakan-akan Tuhan belum turun tangan, karena memang waktunya belum cukup. Allah kita cerdas sekali, bagaimana Tuhan membuat persoalan kita tidak selesai, dipertahankan masih ada di dalam hidup kita. Kita terus ditekan oleh masalah itu. Tetapi sementara itu Tuhan mengerjakan sesuatu yang tidak bisa dikerjakan kalau tidak ada masalah. Ibarat seorang pandai besi yang mau membuat pisau, besi itu harus dipanasi dalam derajat tertentu. Dibuat tipis, dari besi tebal 1,5 Cm menjadi tipis 0,5 Cm. Ujungnya dibuat tajam, dipanasi lalu dimasukkan ke air, lalu dipanasi lagi, ditunggu menjadi merah ungu, lalu dipukul sampai ada percikan api, setelah itu dimasukkan lagi ke air dingin.
Maka, kalau orang tidak melihat hidup ini dari proyeksi kekekalan, memang menjadi berat. Tetapi kalau kita memiliki proyeksi kekekalan, hidup ini singkat dan tragis. Mau bahagia bagaimanapun, pasti berakhir. Ada masalah-masalah yang tidak bisa kita selesaikan dengan kekuatan kita. Kiranya kita dapat mengatakan, “Hanya Elohim Yahweh yang dapat menolong.” Dengan demikian kita membuktikan bahwa kita benar-benar mengenal Allah yang benar; kita memiliki keintiman dengan-Nya.
Orang percaya yang dewasa pasti berhenti merengek-merengek, berhenti bersungut-sungut karena ia yakin bahwa Allah itu hidup, Allah itu Maha Kuat dan pasti menolongnya.