Skip to content

Wisata Abadi

Pada masa COVID ini, kita sudah beberapa tahun tidak pergi ke luar kota atau ke tempat wisata yang ramai dikunjungi orang. Rasanya, bagi sebagian orang mungkin ada keinginan dengan beberapa orang dekatnya atau keluarga untuk wisata atau jalan-jalan ke luar negeri. Meskipun hal itu bukan merupakan kebahagiaan inti, tetapi rasanya tetap menyenangkan juga jika bisa pergi dengan orang-orang yang kita kasihi, kita bisa bercengkrama, berbicara tentang kebenaran dan memikirkan pekerjaan Tuhan. Tetapi, sebenarnya ada wisata kekal di Kerajaan Surga. 

Sekarang kita diajak wisata ke tempat abadi; Kerajaan Surga. Namun, terkadang ketika mendengar atau membaca masalah hidup yang begitu tragis, jawaban yang kita dapatkan adalah: “Itu bukan masalah besar. Kalau kamu ingat ada tempat abadi di Kerajaan Surga, masalahmu menjadi tidak ada artinya.” Tetapi, bagaimana caranya agar bisa membuka pikiran kita untuk melihat kehidupan yang akan datang yang dijanjikan oleh Tuhan Yesus? “Supaya di mana Aku ada, kamu ada,” inilah yang Ia janjikan. Banyak orang merasa tidak sanggup lagi hidup di dunia, karena dunia telah mengondisi mereka untuk memperhatikan apa yang kelihatan saja. Sedangkan Rasul Paulus berkata, “kami memperhatikan apa yang tidak kelihatan.” 

Masalahnya, sulit untuk bisa benar-benar sepenuhnya terarah kepada Bapa, ke Rumah-Nya, hidup suci, meninggalkan percintaan dunia kalau seseorang belum patah hati dengan dunia ini. Ini yang saya pahami dan saya alami. Harus patah hati dan kecewa yang dalam dengan dunia ini, baru seseorang bisa mencintai Tuhan dengan bulat, sepenuhnya, tanpa batas dan mengarahkan diri sepenuhnya ke Kerajaan surga. Tapi apa momentum seseorang bisa patah hati? Banyak sarana. Ketika seseorang belajar kebenaran dan makin memahami kebenaran dan memiliki hubungan dengan Tuhan, melihat kemuliaan Kerajaan surga di dalam iman, keindahan Tuhan; maka dia melihat betapa tidak bernilainya hidup di bumi ini. Betapa agung, betapa mulia Kerajaan Allah sehingga kita bisa melihat kemuliaan Allah.

Jadi, melalui kebenaran Firman yang kita pelajari, itu mencelikkan mata hati kita melihat kemuliaan Allah, keindahan persekutuan dengan Tuhan. Dan mata iman yang dibuka melihat Kerajaan surga, kita melihat tragisnya hidup ini, tidak bernilainya hidup ini; kita bisa kecewa terhadap dunia. Ditambah lagi dengan jika kita melihat keadaan orang-orang di sekitar kita dan keadaan kita sendiri yang banyak bermasalah, yang tidak ada kenyamanan, membuat kita patah hati dengan dunia. Dan pengalaman-pengalaman pahit yang kita alami itu bisa membuat kita bunuh diri, yaitu menghabisi daging, nafsu, dan percintaan kita dengan dunia.

Ayo, kita berangkat. Terus bergerak menuju langit baru bumi baru. Untuk itu, berubahlah. Mari kita hidup sesuci-sucinya, sekudus-kudusnya, tidak terikat dunia, dan berusaha untuk menyenangkan hati Bapa di surga. Pahamilah apa yang bisa menyenangkan hati Bapa. Ketahuilah, mengertilah, kenalilah proyek pekerjaan yang Bapa percayakan kepada kita masing-masing untuk kita penuhi. Dengan demikian, kita mempersiapkan diri ke surga. Masalahnya, ada banyak orang Kristen yang merasa kalau sudah percaya Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat secara pengaminan akali; yakin saja bahwa Yesus telah mati di kayu salib menebus dosa-dosa mereka, sudah merasa punya tiket untuk masuk surga. Ini adalah penyesatan. 

Dosa-dosa memang sudah diampuni, yaitu perbuatan-perbuatan kita yang salah, baik yang kita lakukan dulu, sekarang, atau nanti kemungkinan melakukan kesalahan di masa mendatang. Tetapi, kodrat dosa di dalam diri kita, itulah yang harus kita selesaikan. Di masa penampian ini, yang jahat akan bertambah jahat, tetapi yang kudus akan bertambah kudus. Artinya, mengondisi orang yang sungguh-sungguh untuk mengalami kodrat dosa yang dikikis atau digerus lewat kehidupannya yang semakin dimurnikan dan disempurnakan. 

Oleh sebab itu, kita tidak boleh rileks atau bersantai ria. Kalau ibarat naik kendaraan, kecepatan kita tidak boleh hanya 60 km/jam, melainkan harus di atas 100 km/jam. Malah, 120km, 160km, bahkan 180km kalau perlu. Kalau ibarat berlari, tidak bisa hanya lari dengan kecepatan 5 km/jam. Kita harus bisa berlari dengan kecepatan 20-30 km/jam. Kalau ibarat sedang berenang, bukan berenang dengan santai, melainkan seperti sedang dikejar-kejar buaya. Jadi, tidak bisa rileks atau perlahan-lahan dilakukannya melainkan harus dengan kecepatan tinggi atau upaya maksimal. 

Kalau kita tidak serius, kita akan ditelan oleh dunia. Bagaimana istri bisa tenggelam oleh suami; suami ditenggelamkan oleh istri. Kita bisa ditenggelamkan dan dirusak oleh masalah hidup, jika kita menyerah pada keadaan. Sebab, manusia di sekitar kita bisa menjadi alat kuasa gelap menghancurkan kita. Makanya, kita harus terus melekat dengan Tuhan.

Kalau kita ingat ada tempat abadi di Kerajaan Surga, masalah kita menjadi tidak ada artinya.