Jelas Tuhan Yesus berkata, “Kamu harus sempurna seperti Bapa di surga sempurna.” Inilah rancangan Allah yang semula. Allah menghendaki makhluk yang diakui sebagai anak bagi Allah, dimana makhluk ini bukan hanya segambar dengan Allah melainkan juga serupa. Kesegambaran dengan Allah, itu modal yang Allah berikan. Tapi keserupaan, adalah sesuatu yang harus diusahakan sendiri oleh manusia. Adam dan Hawa gagal. Adam pertama, gagal. Tetapi Adam kedua yaitu Yesus, berhasil. Maka Adam kedua, Yesus, menjadi pokok keselamatan; penggubah bagi kita. Kalau kita mau beruntung hidup dan tidak pernah ada penyesalan di kekekalan nanti, jadikan Tuhan satu-satunya tujuan hidup.
Tujuan hidup kita seharusnya bukan menikah, bukan mempunyai keturunan, bukan memiliki fasilitas A, B, C, atau apa pun. Kalaupun kita mengupayakan segala sesuatu atau mengerjakan segala sesuatu, kita mengerjakannya untuk Tuhan. Seperti yang dikatakan Tuhan, “baik kau makan atau minum atau melakukan segala sesuatu, lakukan semua untuk kemuliaan Allah.” Itulah sebabnya Tuhan membeli kita, yaitu supaya kita dimiliki oleh-Nya. Dan kalau kita dimiliki-Nya, Sang Penjunan berhak membentuk kita sesuka hati-Nya. Namun, sayangnya banyak orang Kristen tidak mengerti atau tidak mau mengerti hal ini. Mereka merasa berhak memiliki dirinya dan keinginan-keinginan atau kesenangan-kesenangan. Mereka memilih untuk menikmati dunia yang sudah terhukum ini, yang sebenarnya tidak bisa dinikmati secara maksimal karena hubungan dengan Tuhan yang belum harmoni.
Karakter manusia rata-rata juga masih belum sempurna. Belum lagi, hubungan antarsesama yang tidak harmoni juga. Oleh sebab itu, hendaknya kita jangan mengharapkan kebahagiaan di bumi. Kebahagiaan yang sempurna hanya ada dalam Tuhan. Sejatinya, sukacita dan damai sejahtera orang percaya itu melampaui segala akal. Itu pasti kita akan alami, nikmati, dan miliki kalau kita menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya tujuan hidup kita. Memang kalimat ini mudah diucapkan, tetapi sukar sekali melakukannya. Namun demikian, kalau kita mengusahakannya dengan sungguh-sungguh, pasti bisa. Pelayanan pun sering kita lakukan tanpa sadar bukan untuk Tuhan, melainkan sebagai karier kita. Percayakah kita betapa Tuhan senang dengan orang-orang yang memiliki prinsip seperti ini?
Kita bisa memiliki prinsip seperti ini, walaupun kalau kita mencoba mengenakannya sekarang, rasanya seperti kewalahan. Itu karena kita telah terbiasa mengenakan jubah atau pakaian dunia. Tapi sekarang kita mau mengenakan pakaian kebenaran, dan ini harus kita biasakan. Kalau untuk hal-hal sulit dalam kehidupan fana di bumi ini orang bisa berusaha memaksimalkan potensi dan mengorbankan apa pun, mengapa untuk mencapai kesucian sesuai dengan keinginan Tuhan atau standar Tuhan; hidup yang tak bercacat cela di hadapan-Nya, kita tidak usahakan secara maksimal juga? Pada kenyataannya, hal ini sering dianggap bukan sebagai hal utama. Kita lebih mengutamakan hal yang lain. Kita menganggap bahwa itu bisa dicapai nanti seiring dengan berjalannya waktu, walaupun tidak maksimal untuk itu.
Betapa licik dan cerdiknya Iblis yang telah menipu banyak orang. Ini adalah bahaya besar yang tidak disadari oleh banyak orang Kristen, yaitu kewajaran hidup. Sebenarnya orang-orang seperti ini memiliki dua dunia atau dualisme, tidak memfokuskan semua ke Tuhan. Ironisnya, itu bukan hanya terjadi dalam kehidupan jemaat yang berkegiatan di luar gereja, melainkan juga dalam kehidupan para pelayan jemaat atau pendeta.
Ada satu penyesatan pikiran yang sering tidak kita sadari. Pertama, kita memandang Yesus sebagai manusia lain, dan kita membuat jarak sejauh-jauhnya dengan Tuhan. Padahal, Alkitab berkata, “Dalam segala hal, Ia disamakan dengan kita.” Yang kedua, Alkitab jelas mengatakan bahwa kita harus serupa dengan Dia; sepikiran, seperasaan dengan Dia. Kita harus mengikuti jejak-Nya. Selama ini kita memandang Yesus memiliki versi hidup yang tidak bisa kita kenakan. Padahal, justru jenis atau versi itulah yang harus kita miliki. Maka, betapa celakanya kalau orang mengajarkan Kristologi yang salah. Betapa menyesatkannya, karena seakan-akan Yesus bukan manusia seperti kita. Dia manusia 100%, amin. Titik, jangan ditambahi. Kalau ditambahi, kita tidak bisa meneladani-Nya karena Dia bukan manusia. Oleh sebab itu Yesus berkata, “seperti Bapa mengutus Aku, Aku mengutus kamu.” Beban yang Bapa berikan kepada Yesus, telah Yesus percayakan kepada kita.
Jika model atau versi hidup yang dimiliki Yesus adalah model atau versi hidup yang harus kita miliki, maka prinsip “melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” pun harus kita ikuti. Ia tidak mempunyai kepentingan apa pun. Mengapa kita jadi manusia yang versi lain? Maka, kita bersyukur karena ada sosok seperti Paulus, yang berusaha serupa dengan Yesus. Ia adalah contoh manusia yang sudah lahir baru. Agama Kristen, dimana Injil dimodifikasi sedemikian rupa, telah disesuaikan, dikawinkan, dikompromikan dengan semangat zaman yang merusak kekristenan.
Jadi, sekarang kita harus berani mengambil keputusan untuk mempertaruhkan hidup kita sepenuhnya. Kita sudah terlanjur sampai di sini. Kita harus berani marah terhadap diri sendiri; “Mengapa aku tidak mau mengenakan versi hidup Tuhan Yesus?” Kita harus berani “menyiksa” diri kita sendiri dengan tekad dan janji untuk menjadi manusia baru sesuai rancangan Allah. Jangan mau dibodohi oleh pikiran kita yang mengatakan, “Kamu tidak mungkin bisa.” Kita bisa!
Jika versi hidup yang dimiliki Yesus adalah versi hidup yang harus kita miliki, maka prinsip “melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” pun harus kita ikuti.