Agama Kristen lahir di Palestina, tetapi hari ini, mayoritas orang-orang di sekitar daerah itu bukanlah orang-orang Kristen. Gereja-gereja pada umumnya hanya menjadi objek wisata. Kalaupun ada kebaktian-kebaktian kecil, itu dilakukan oleh mereka yang berziarah, para turis, atau kelompok-kelompok komunitas Kristen yang datang dari seluruh belahan dunia. Tetapi, tidak ada jemaat di sekitar daerah itu yang signifikan memiliki komunitas gereja. Yang juga menyedihkan adalah kota Cappadocia, Efesus, Cartago, dan banyak kota-kota yang disinggahi Paulus, dimana nyaris juga orang-orang Kristen punah. Istanbul sendiri yang dulu bernama Bynzantium—yang merupakan pusat dari gereja Timur, pusat gereja Timur di seluruh dunia, sehingga di sana ada gereja Hagia Sophia yang artinya “hikmat suci”—sekarang tidak lagi menjadi wilayah Kristen. Tujuan surat yang ditulis oleh Yohanes di pulau Patmos yang sekarang ada di wilayah Turki, juga hanya tinggal puing-puing. Dan yang lebih menyedihkan hari ini adalah Eropa. Agama lain bisa berkembang dan bertumbuh, sementara gereja-gereja kosong, dan gereja-gereja megah hanya menjadi tempat wisata. Tidak ada kekristenan di situ.
Maka timbul pertanyaan: Mengapa wilayah-wilayah yang dulu Kristen, sekarang tidak? Jawaban yang bisa kita peroleh adalah: “Untuk apa menjadi Kristen, kalau tidak menjadi seseorang sesuai dengan kehendak-Ku? Apa artinya menjadi Kristen; apa artinya gereja kalau tidak sesuai dengan yang Kuingini?” Kekristenan telah menjadi komunitas orang beragama. Itu masalahnya. Benar-benar meleset dari maksud tujuan kekristenan itu diadakan; meleset dari maksud keselamatan itu diberikan. Padahal, yang pertama, Tuhan menghendaki agar orang Kristen menjadi manusia-manusia yang sempurna seperti Bapa dan serupa dengan Yesus. Menjadi manusia yang ajaib, yang berbeda dengan manusia lain. Jangan mengubah ini. Harus menjadi manusia yang sempurna seperti Bapa atau serupa dengan Yesus. Hal ini tidak bisa ditawar, karena Tuhan Yesus pun berkata, “kamu harus sempurna.” Tetapi ketika kekristenan melembaga menjadi agama, orang Kristen menjadi ‘manusia normal.’
Yang kedua, orang percaya harus menghayati bahwa dunia bukan rumahnya. Jadi ketika keberagamaan—dalam hal ini Kristen—membuat manusia wajar dan tidak memindahkan hatinya di Kerajaan Surga, untuk apa kekristenan? Karena itu adalah pengkhianatan terhadap Allah. Maksud Allah menciptakan manusia pada mulanya adalah agar manusia segambar, serupa dengan diri Allah. Yang kemudian Tuhan Yesus menegaskan di Matius 5:48, “kamu harus sempurna.” Dan Yesus memberi teladan, contoh dari manusia yang sempurna seperti Bapa itu. Jadi, menjadi Kristen itu harus seperti Yesus atau serupa dengan Yesus. Kalau tidak, percuma. Mau menjadi Kristen, aktivis, majelis, pendeta, atau tokoh agama Kristen setinggi apa pun, percuma. Komunitas Kristen jadi mengecewakan kalau mereka hidup wajar seperti manusia lain. Kemudian menjadi sesat ketika tidak menginginkan Kerajaan Surga dan tidak menghayati dunia bukan rumahnya.
Sejatinya, Tuhan tidak butuh orang-orang yang beragama Kristen. Tuhan malah tersakiti oleh orang-orang yang mengaku beragama Kristen, tapi tidak menjadi manusia sesuai dengan maksud Allah menciptakan manusia. Tujuan keselamatan itu demikian, bukan sekadar menghadirkan agama yang namanya agama Kristen, lalu orang punya komunitas, lalu mengadakan seremonial, membangun gereja yang megah-megah. Ibadah yang benar adalah dalam roh dan kebenaran. Entah di bawah pohon, entah di dalam gubuk, tidak masalah. Yang penting, hidup kesehariannya serupa dengan Yesus. Dalam seluruh perilaku, dalam seluruh perbuatan. Jadi ketika “serupa dengan Yesus” digantikan dengan gelar akademis, kekristenan rusak. Proses pemuridan untuk menjadi sempurna seperti Bapa atau serupa dengan Yesus, digantikan Sekolah Tinggi Teologi. Bukan tidak boleh adanya Sekolah Tinggi Teologi, tetapi jangan berpikir bahwa dengan gelar itu, ia menggantikan maksud keselamatan yaitu serupa dengan Yesus.
Jadi, Allah tidak peduli wilayah Kristen jadi wilayah agama non-Kristen. Tidak masalah bagi-Nya. Tuhan mencari orang-orang yang mau serupa dengan Yesus, dengan gaya hidup yang mencintai Bapa lebih dari mencintai nyawanya sendiri. Yang Allah kehendaki adalah perubahan kodrat. Allah menghendaki agar orang-orang percaya itu menjadi anggota keluarga Kerajaan yang dimuliakan bersama-sama dengan Tuhan Yesus, seperti yang dikatakan di Roma 8:17. Bukan hanya masuk surga. Kalau cuma mau jadi orang baik, marilah kita jujur bahwa pada kenyataannya, banyak orang non-Kristen juga bisa baik, dan banyak agama juga mengajarkan kebaikan dan pengorbanan. Tetapi, kekristenan adalah bagaimana perubahan hidup dari manusia yang berkodrat dosa—artinya tidak akan pernah bisa tepat bertindak sesuai dengan pikiran, perasaan Allah—menjadi manusia yang bisa bertindak selalu tepat sesuai pikiran, perasaan Allah. Jika tidak demikian, untuk apa jadi Kristen? Kiranya ini menjadi dorongan bagi kita untuk menjadi istimewa; produk unggulan. Bukan unggul di mata manusia atau unggul di mata agama, melainkan unggul di mata Allah.
Tuhan malah tersakiti oleh orang-orang yang mengaku beragama Kristen, tapi tidak menjadi manusia sesuai dengan maksud Allah menciptakan.