Tuhan tidak membutuhkan apa-apa, tetapi Tuhan senang melihat hati kita yang kita arahkan kepada Tuhan. Semua yang kita berikan kepada Tuhan, itu terbatas. Namun, yang tidak terbatas itu hati kita. Apa pun yang kita berikan; tenaga, waktu, uang, terbatas. Namun, kalau hati dan cinta kita, kita berikan kepada Tuhan, itu tidak terbatas. Dalam 1 Korintus 10:31 dikatakan, “Aku menjawab: Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.”
Dimulai dari kita yang menikmati apa yang kita lakukan, lalu dilihat oleh orang yang paling dekat—pasangan hidup, anak, orang tua—juga dilihat oleh keluarga besar, tetangga, dan orang jauh. Hidup kita haruslah hidup yang membuat Tuhan dimuliakan. Sebagaimana kita melihat orang terhormat, yang mana setiap kali ada orang bersalaman, menunduk. Setiap kali orang melewatinya, menunduk. Sikap menunduknya orang yang bersalaman atau melewatinya, menunjukkan orang ini mulia. Maka, dari sikap dan perbuatan kita, buatlah orang bisa menemukan dan mengenali bahwa Tuhan kita itu mulia, agung dan terhormat.
Kita tidak bisa menikmati Tuhan sebagai kepuasan kalau kita tidak memuliakan Dia. Dari melek mata pagi hari, setiap media yang Tuhan sediakan, jadikanlah sarana untuk memuliakan Dia. Tuhan akan membawa kita ke situasi-situasi yang normal, sampai ke situasi-situasi yang ekstrem. Biasanya situasi-situasi yang ekstrem membuat Tuhan akan nampak lebih jelas.
Situasi normal, misalnya: kalau kita ramah terhadap orang, keramahan kita itu cukup membuat Tuhan dimuliakan. Adapun situasi ekstrem, misalnya: ketika kita diludahi, tetapi tetap ramah, maka situasi itu membuat Tuhan lebih dimuliakan. Inilah ciri dari orang-orang yang menyerahkan diri untuk Tuhan. Selama ini kalau bicara soal menyerahkan diri kepada Tuhan, orientasi berpikir kita hanya pada orang yang tidak bekerja secara sekuler, orang yang bekerja secara fulltime dalam gereja. Kalau hanya mereka yang berkategori menyerahkan diri untuk Tuhan, bagaimana nasib orang yang tidak jadi pendeta? Mereka menyerahkan diri kepada siapa?
Menyerahkan diri kepada Tuhan artinya merelakan dirinya menjadi alat di dalam tangan Tuhan untuk memuliakan Allah. Menyerahkan diri tidak berarti harus menjadi fulltimer gereja, tetapi setiap peristiwa hidup yang kita jalani, menjadi sarana kita memuliakan Tuhan. Ayo kita mulai hari ini, supaya hidup kita diubahkan. Alkitab berkata, “Dia memancarkan kemuliaan Allah.” Allah yang tidak kelihatan, dipancarkan, diperagakan di dalam hidup Yesus. Ketika Yesus naik ke surga, Ia menyerahkan tugas penyelamatan kepada kita. Sama seperti Yesus menjadi bait Roh Kudus, memancarkan kemuliaan Allah, kita pun juga menjadi bait Roh Kudus yang harus memancarkan kemuliaan Allah. Kita tidak boleh memancarkan yang lain, karena tidak ada yang lain yang berhak dipancarkan dalam hidup kita.
Kalau tubuh kita adalah bait Roh Kudus, maka kita tidak boleh mengotori tubuh ini dengan dosa sekecil dan sehalus apa pun. Maka, kita harus berhati-hati dengan yang kita lakukan, ucapkan, segala keputusan dan tindakan kita. Dalam 1 Korintus 6:19 dikatakan, “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!”
Sebelum waktu kita habis dan kita tidak punya kesempatan lagi untuk memuliakan Allah, kita harus berubah mulai hari ini. Hanya orang yang memuliakan Allah sejak di bumi, yang diperkenan memuliakan Allah di kekekalan. Kalau kita gagal memuliakan Allah di bumi, maka kita tidak akan pernah memuliakan Allah di kekekalan. Tuhan tidak akan membawa masuk orang-orang yang tidak memuliakan Allah, orang yang hanya mencari kesenangan diri sendiri, mencari kepuasan dari dunia.
Selanjutnya, 1 Korintus 6:12 berkata, “Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apa pun.” Segala sesuatu halal, artinya tidak salah juga. Namun, aku bertanya, “Berguna tidak? Berguna untuk apa?” Kalau kita mengaitkan dengan ayat 19-20, berguna untuk memuliakan Allah. Tidak salah punya hobi ini dan itu, tidak salah punya kesenangan ini dan itu, tetapi kita tidak mau diperhamba. Berguna tidaknya, diukur dari apakah ini menyenangkan Tuhan atau tidak, memuliakan Tuhan atau tidak. Ingat, Tuhan tidak paksa. Kalau kita masih mau-maunya kita sendiri, ya sudah. Hal ini sebenarnya yang mengerikan; Tuhan itu lembut, Dia tidak memaksa kita melakukan apa yang menyenangkan Dia.
Kita tidak bisa menikmati Tuhan sebagai kepuasan
kalau kita tidak memuliakan Dia.