Melepaskan segala sesuatu jangan kita pandang sebagai jasa. Itu adalah iman. Jadi kalau seseorang belum melepaskan segala sesuatu, dia belum beriman. Percaya itu barter. Tidak ada percaya tanpa barter. Ini yang membuat orang kaya di Matius 19 tidak bisa ikut Yesus; ini yang membuat Nikodemus tidak berani ikut Yesus. Beda dengan Zakheus yang rela kehilangan segala sesuatu, dan kepada Zakheus, Yesus memberikan komentar: “telah terjadi keselamatan atas rumah ini.” Yaitu ketika Zakheus memberikan separuh hartanya kepada orang miskin, dan jika ada orang yang pernah dia peras, dia kembalikan 4 kali lipat. Sebab proyeksi kekristenan adalah melakukan kehendak Allah, sempurna seperti Bapa. Dan itu harus dimulai dengan rela kehilangan segala sesuatu, barulah seseorang dituntun Tuhan. Bukan hanya mampu melakukan hukum, tetapi mengalami perubahan kodrat. Bisa berbuat segala sesuatu selalu sesuai dengan pikiran, perasaan Allah.
Jadi, sangat menyesatkan kalau dikesankan bahwa karena Yesus mengalami kebangkitan, kita juga pasti mengalami kebangkitan. Maka kita harus kembali ke Alkitab, bukan kembali ke tokoh A atau B pada zaman sejarah gereja dengan pandangan teologinya yang sekarang menjadi begitu solid dalam ajaran banyak gereja. Kita ke gereja untuk belajar Alkitab—sekolah Alkitab yang benar itu gereja—bukan untuk ibadah dalam arti seremonial. Ibadah itu pekerjaan kita setiap hari, kegiatan kita setiap hari. Orang yang telah mewujudkan imannya dalam tindakan melepaskan segala sesuatu adalah mereka yang berhak memiliki pengharapan kebangkitan, seperti yang Paulus katakan, “supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan.” Penerima surat Petrus adalah mereka yang bersedia dan rela menderita demi kepercayaannya kepada Yesus. Jadi bukan hanya dengan mulut atau pengakuan dengan bibir, tetapi percaya yang nyata dalam tindakan, yaitu mempertaruhkan hidup mereka. Kalau kita mempersoalkan hal ini dengan pertanyaan begini: “Tuhan, apa yang harus kulepaskan? Apa yang harus kupertaruhkan? Penderitaan apa yang harus kualami?” Tuhan pasti menjawab.
Selanjutnya, Petrus menulis, “Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan. Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu…” Apakah kita sudah melepaskan semuanya? Tapi seberapa kemurniannya? “…yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api—sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya.” Sejujurnya, kita mau cari apa di hidup ini? Mau mencari apa lagi? Tentu akhirnya yang kita cari adalah puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya. Sekarang jangan karena kita punya kedudukan, kehormatan, membuat kita tenggelam dengan kehormatan ini. Bahaya sekali.
Maka kita harus mengenal diri kita sendiri. Misalnya, kesombongan, sebab kesombongan tidak harus diucapkan atau dalam perilaku yang kelihatan; sikap hati atau suara hati sudah bisa jadi kesombongan. Kita sering menikmati puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan dari manusia, dan itu menyenangkan. Namun ini yang membutakan kita; dan di sini kita sedang tidak menderita untuk Tuhan. Kedudukan itu karena tanggung jawab, bukan karena kehormatannya. Penerima surat Petrus ini adalah orang-orang yang benar-benar telah melepaskan dirinya dan rela menderita sebagai wujud atau ekspresi imannya. Mereka bukan seperti orang-orang Kristen hari ini yang hanya memiliki pengakuan di mulut, melainkan mereka adalah orang-orang yang seluruh kehidupan mereka telah diserahkan kepada Tuhan. Karena, iman itu barter. Jadi kalau kita mau punya iman murni, kita tidak boleh memiliki apa-apa, kecuali Tuhan. Kita bersedia melepaskan segala sesuatu untuk mengikuti jejak Yesus. Dan untuk itu, harus ada ujian apakah kita layak menerima kehormatan agar dibangkitkan, dan menerima kemuliaan di dalam Kerajaan Surga atau tidak.
Yesus pun mengalami ujian dan harus lulus dulu, sehingga setiap lutut bertelut, semua lidah mengaku bahwa Yesuslah Tuhan. Ia taat sampai mati, bahkan mati di kayu salib. Yang karenanya Dia dibangkitkan. Ini bisnis kita. Core business kita. Jangan ada yang menarik selain ini. Kita adalah manusia seperti orang lain yang kadang-kadang bisa terbawa untuk melihat sesuatu yang menurut kita bisa membuat suatu kenyamanan. Namun kita terus belajar. Kita mau berubah terus. Lalu Petrus menulis, “Sementara kamu menantikan keselamatan yang telah tersedia untuk dinyatakan pada zaman akhir.” Menantikan keselamatan. Apa kita belum selamat? Keselamatan itu harus dilihat dari 3 dimensi; dimensi masa lalu (past), yaitu kematian Tuhan Yesus di kayu salib memikul semua dosa manusia. Tidak ada keselamatan di luar Kristus. Itu harga mati. Harga mati! Tidak ada keselamatan di luar Kristus. Hanya Kristus yang menebus dosa manusia.
Lalu keselamatan ditinjau dari dimensi waktu sekarang. Kita yang mengerjakan keselamatan itu, yaitu bagaimana mengalami perubahan. Jika kita mengerjakan ini dengan benar, maka kita akan menantikan keselamatan yang tersedia untuk dinyatakan pada zaman akhir, yaitu ketika kita dibangkitkan dan dimuliakan bersama Tuhan. Memang tidak banyak orang yang menantikan keselamatan ini, sebab mereka tidak mengerjakan keselamatan ini dengan takut dan gentar. Mereka yang menantikan keselamatan ini adalah orang-orang yang menaruh dan meletakkan seluruh pengharapannya kepada Tuhan. Dan yang ketiga adalah dimensi waktu yang akan datang. Sebagaimana yang Petrus katakan, “Sekalipun kamu belum pernah melihat Dia, namun kamu mengasihi-Nya. Kamu percaya kepada Dia, sekalipun kamu sekarang tidak melihat-Nya. Kamu bergembira karena sukacita yang mulia dan yang tidak terkatakan, karena kamu telah mencapai tujuan imanmu, yaitu keselamatan jiwamu.”
Melepaskan segala sesuatu jangan kita pandang sebagai jasa, itu adalah tindakan iman.