Kita tidak dipaksa untuk mau menjadi utusan Tuhan. Kemauan dan kerelaan itu harus lahir dari diri kita sendiri. Namun, jika kita mau dan rela, pasti Bapa disenangkan. Uang kita tidak akan cukup untuk bisa memuaskan hati Allah. Kemampuan, kecakapan, bakat, talenta, tidak akan cukup untuk memuaskan hati Allah. Semua bisa terbatas, tetapi yang tidak terbatas adalah hati kita. Kita dapat membuat selebar-lebarnya, seluas-luasnya, sedalam-dalamnya, setinggi-tingginya hati kita untuk mencintai Tuhan, bisa. Sehingga kita bisa punya beban seperti beban yang ada di hati Tuhan. Namun, kalau kita memang tidak ingin, kita membatasi cinta kita kepada Tuhan dan kita memberikan hati kita kepada banyak hal yang ada di dunia ini, maka kita kehilangan kesempatan untuk bermartabat sebagai bangsawan surgawi.
Sebab, hanya para bangsawanlah yang akan diperkenan masuk ke dalam Rumah Bapa, dimuliakan bersama Yesus. Bangsawan-bangsawan itu adalah orang-orang yang dikatakan di dalam Roma 8:17, yang menderita bersama-sama dengan Tuhan Yesus. Jangan menjadi orang Kristen yang hanya meminta, menuntut, bicara soal perlindungan, penyertaan Tuhan selalu dikaitkan dengan perlindungan-Nya, berkat-Nya. Hal itu tidak usah kita persoalkan, mestinya. Seperti orang tua yang mendampingi anak yang belum mengerti sekolah, namun orang tua sudah memasukkan asuransi pendidikan. Bahkan anak belum lahir, baju, popok sudah disiapkan orang tua.
Bapa di surga pasti lebih dari itu. Tuhan berfirman, “Apakah ada anak yang ditinggalkan ibunya ketika dia disusui?” Tidak ada. Tidak ada ibu yang meninggalkan anak yang disusuinya. Tetapi seandainya ada, Tuhan berfirman: “Aku tidak pernah meninggalkan kamu.” Kitalah yang meninggalkan Tuhan. Kita tidak mau sepenanggungan dengan-Nya. Mau disertai, mau dilindungi, tetapi kita tidak mau mengerti untuk apa penyertaan Tuhan itu. Sebenarnya, penderitaan yang Tuhan perkenan kita alami atau salib yang kita pikul, itu mengerjakan kemuliaan.
Seperti yang dikatakan oleh Paulus, “Penderitaan zaman sekarang tidak sebanding dengan kemuliaan yang kita peroleh.” Jadi, bukan bermaksud mau menyakiti kita, tetapi supaya kemuliaan yang Bapa janjikan untuk Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus, bisa diwariskan kepada Tuhan Yesus bersama dengan kita, jika kita sepenanggungan dengan Tuhan. Sejatinya, banyak di antara kita yang masih jauh dari standar. Kita hanya mau disayang-sayang, diberkati, dilindungi, melihat dan mengalami mukjizat. Namun, kita tidak mengerti bahwa kita harus berkarakter seperti Yesus, berperasaan seperti Yesus, dan sepenanggungan dengan Dia. Karenanya, kesucian hidup itu mutlak. Kesucian, sama dengan berkarakter seperti Yesus.
“Pergilah, jadikan semua bangsa murid-Ku,” itu bukan kalimat perintah sebenarnya. Dalam bahasa Indonesia, itu kalimat perintah. Namun, dalam teks aslinya berbentuk participle; “sementara kamu pergi.” Bukan perintah. Jadi, otomatis ke mana pun kita pergi, kita akan menggarami dunia, kecuali jika kita menjadi tawar. Di mana pun, kita menerangi dunia, kecuali kita padam. Di mana pun kita berada, kita akan memengaruhi orang, kecuali kita yang terpengaruhi dunia. Tidak bisa tidak, kita pasti memberkati orang. Di tempat di mana kita memerankan panggilan kita—sebagai praktisi hukum, tenaga medis, pengusaha, supir online, ibu rumah tangga, pejabat pemerintah, aparat keamanan, politisi, atau apa pun—kita harus berdampak.
Sebab di mana pun kita berada, di situ ada pemerintahan Allah. Di mana pun kita berada, Tuhan senantiasa menyertai kita. Tuhan menyertai kita dalam rangka: “Jadikan semua bangsa murid-Ku.” Sebab Tuhan punya masalah dengan keselamatan jiwa orang yang tidak diingini-Nya satu pun binasa. Apakah kita menganggap ini juga masalah kita? Atau kita punya masalah sendiri? Orang yang sibuk dengan dirinya sendiri, tidak akan sibuk dengan Tuhan. Maka, orang harus selesai dengan dirinya sendiri. Cukupkan dengan apa yang ada pada kita. Kalaupun kita punya masalah, jangan sampai kita tenggelam dengan masalah itu.
Setiap kita pasti punya masalah. Masalah berat atau masalah menyakitkan. Apakah itu masalah bisnis, masalah rumah tangga, dan lain sebagainya. Namun, kalau kita menjadi utusan Tuhan, Tuhan akan berkata: “Siapa yang menyakiti kamu, menyakiti Aku.” Tidak dibutuhkan uang, pendidikan tinggi, kemampuan atau kecakapan tertentu untuk mengasihi Tuhan, tetapi hati yang dibuka selebar-lebarnya, seluas-luasnya, setinggi-tingginya, sedalam-dalamnya, dan berkata, “Aku mencintai Engkau, Tuhan. Aku mengasihi Engkau.”
Uang, kemampuan, kecakapan, bakat, talenta kita tidak akan pernah cukup untuk memuaskan hati Allah, sebab semua terbatas, tetapi yang tidak terbatas adalah hati kita.