Di dalam Injil Yohanes 3:5 Tuhan Yesus berkata, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah.” Pernyataan ini mestinya menggetarkan jiwa kita. Tuhan Yesus sendiri yang berbicara. Jadi, untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah harus dilahirkan dari air dan Roh. Perlu kita ketahui bahwa maksud “masuk ke dalam Kerajaan Allah” itu bukan hanya masuk surga. Bicara mengenai masuk surga Perjanjian Lama juga menyinggung hal ini beberapa bagian.
Tetapi, bagi umat Perjanjian Baru, Kerajaan Allah berbicara mengenai kemuliaan bersama dengan Tuhan Yesus, karena targetnya demikian. Roma 8:17, “dimuliakan bersama-sama dengan Kristus.” Target umat Perjanjian Baru bukan hanya masuk surga atau diperkenan hidup di dunia yang akan datang, melainkan sampai kepada Bapa. Di ayat lain, Tuhan Yesus berkata, “Akulah jalan (hodos),” berarti sebuah lorong panjang atau jalan panjang di mana seseorang harus melaluinya. “Akulah kebenaran,” dimana orang yang mau sampai kepada Bapa harus memiliki pengetahuan yang benar mengenai isi Alkitab.
Dan, “Akulah hidup (zoe),” berarti jika mengikuti jalan yang Tuhan tunjukkan di dalam kebenaran-Nya, maka seseorang akan memiliki kehidupan; bukan hanya bernapas dan bergerak. Tetapi memiliki versi hidup, gaya hidup yang baru, yang berbeda dengan mereka yang bukan umat pilihan. Targetnya demikian. Jadi kalau bicara mengenai Kerajaan Allah, itu berarti bicara mengenai dimuliakan bersama dengan Tuhan Yesus sampai kepada Bapa, dalam persekutuan dengan Bapa, menjadi anggota keluarga Kerajaan Allah, tinggal di Rumah Bapa.
Kerajaan Allah baru dihadirkan atau terbuka pintunya, ketika Yesus datang dan menyelesaikan karya keselamatan-Nya di kayu salib. Ini tidak ada di Perjanjian Lama. Kerajaan Allah ini dihadirkan bersama dengan pemberitaan Injil. Kalau Perjanjian Lama jika ada seseorang taat, takut akan TUHAN (seperti Nuh, Samuel, dan lain-lain) bisa masuk dunia akan datang. Mereka juga orang-orang terhormat. Tetapi bagi kita umat Perjanjan Baru, menjadi anak-anak Allah, berarti akan dimuliakan dan memerintah bersama-sama dengan Tuhan Yesus.
Yang mana kita harus terlebih dahulu mengalami “dilahirkan dari air dan Roh.” Air ini tidak bisa tidak, pasti menunjuk pada baptisan. Karenanya Tuhan berkata, “Baptiskan mereka dalam nama-Ku.” Ini adalah amanat yang Tuhan Yesus berikan kepada murid-murid-Nya. Sedangkan, “Roh” di sini menunjuk kepada pekerjaan Roh Kudus yang mengubah kodrat seseorang.
Kita harus memiliki rasa khawatir dan takut kalau sampai kita meninggal dunia, ternyata kita belum menjadi anak-anak Allah. Dalam hal ini kita harus berurusan dengan Tuhan, maka kita harus sungguh-sungguh berusaha untuk hidup suci. Kita memang tidak sempuna, tapi kita harus berusaha untuk hidup tidak bercacat tidak bercela. Sebisa-bisanya tidak melakukan kesalahan, sehalus atau sekecil apa pun. Berita-berita yang tidak perlu kita baca atau dengar, hindari. Jangan anggap remeh apa yang dikatakan Tuhan Yesus, “Kamu harus sempurna seperti Bapa.” Tidak ada kompromi. Ini serius. Kalau kita meninggal dunia, apakah kita diakui, dikenal sebagai anak-anak Allah?
Tentu kita tahu bahwa standar anak-anak Allah itu seperti Yesus. Dan Tuhan Yesus bersedia menjadi Guru, Mentor, dan Pembimbing kita. Karena Tuhan Yesus sendiri yang berkata, “Jadikan semua bangsa murid-Ku.” Jadi, kalau kita betul-betul datang ke Tuhan setiap hari, Tuhan pasti menemui kita. Pasti membimbing kita bagaimana untuk menjadi serupa dengan Yesus, yang sama dengan sempurna seperti Bapa.
Kalau kita tidak merasakan kehadiran-Nya, bimbingan-Nya, itu karena Tuhan tidak melihat kita sungguh-sungguh. Dan yang paling merusak adalah doktrin dan ajaran yang menganggap keselamatan itu murahan. Jadi, kalau kita berurusan dengan Tuhan secara serius, Dia akan datang, Dia akan memberitahu bagaimana keadaan kita yang sesungguhnya. Kita harus berjuang. Tetapi sedikit sekali orang yang memperkarakan hal ini di hadapan Tuhan. Apakah Tuhan mengakui bahwa kita itu anak-anak Allah? Bukan berdasarkan rumusan kalimat, melainkan dari perasaan Allah sendiri.
Kalau kita membaca Alkitab, tokoh-tokoh iman selalu dialog dengan Allah. Rasul Paulus itu memiliki intimacy yang dalam dengan Bapa, dengan Tuhan. Mendengar suara Tuhan itu bukan hal yang aneh, asing, atau luar biasa, tapi wajar dalam kehidupan seorang anak yang bergaul dengan Allah. Dan makin hari, kita makin menunggu pengadilan Tuhan. Dengan hal itu, kita harus lebih sungguh-sungguh berurusan dengan Allah. Maka, tidak ada waktu lagi untuk kita main-main. Mumpung masih ada kesempatan, kita berusaha semaksimal mungkin untuk mengubah kodrat kita.
Kalau kita tidak merasakan kehadiran-Nya, bimbingan-Nya, itu karena Tuhan tidak melihat kita sungguh-sungguh.