Skip to content

Tidak Sebanding

Allah yang menciptakan langit dan bumi, yang mempunyai segala kuasa, kemuliaan, dan kerajaan, kebesaran-Nya tidak terhingga. Melampaui yang kita pikirkan dan kita duga. Pikiran kita tidak akan sanggup memahami kebesaran Allah. Tidak ada pengalaman yang manusia miliki, bisa menjadi perbandingan dengan-Nya. Allah benar-benar melampaui pengalaman. Bukan saja transenden; melampaui akal, tetapi juga transempiris; melampaui pengalaman siapa pun. 

Sebenarnya, seindah apa pun lagu yang di dalamnya ada syair yang kita gubah, tidak akan cukup menjadi persembahan yang seimbang atau sebanding dengan kebesaran Allah. Hormat, pujian dan penyembahan kita sebenarnya tidak sebanding dengan kebesaran Allah dan kemuliaan-Nya yang melampaui segala-galanya, yang tidak terduga itu. Peninggian, pemuliaan nama-Nya, pengagungan nama-Nya tidak sebanding dengan kenyataan keberadaan Allah yang melampaui segala-galanya, yang tidak terduga. Jadi, kalau kita menghormati Allah hanya dengan nyanyian, kata-kata pujian, penyembahan, itu belumlah cukup. 

Walaupun nyanyian yang kita nyanyikan indah syairnya, indah vokalnya, penghormatan kita kepada-Nya setinggi-tingginya, tetapi belumlah sebanding sebenarnya. Allah di dalam kesabaran dan pengertian-Nya menerima persembahan pujian kita. Seiring dengan perjalanan waktu dan bertumbuhnya kedewasaan rohani, dan bertambahnya pengalaman kita menghayati kedahsyatan kebesaran Allah, maka kita akan mengerti bahwa Allah tidak terhingga. Pujian penyembahan kita seindah bagaimanapun, setulus-tulusnya, tidak akan sebanding dengan kebesaran dan keagungan-Nya. 

Bagaimana kita bisa meningkatkan sikap hormat kita, untuk paling tidak lebih mendekati keagungan dan kebesaran Tuhan, sehingga hal itu benar-benar memuaskan hati Allah dan memenuhi yang dikatakan di dalam Matius 22:37-40, “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi, dan kekuatan.” Kalau kita dengan rendah hati memercayai kebenaran ini dan menerimanya, hidup kita tidak mungkin tidak diubahkan. Hal ini hendaknya tidak menjadi wacana saja di dalam pikiran, atau kata-kata, tetapi juga kita kita jalani, kita pergumulkan. 

Seperti yang kita semua tahu dan percaya, mestinya juga kita menerima bahwa Allah yang menciptakan kita semua yang menjadikan kita ada, dari tidak ada menjadi ada. Bapa juga yang telah menebus kita dengan darah Putra Tunggal-Nya yang ditumpahkan di Bukit Kalvari. Mestinya kita bukan milik kita sendiri, tetapi milik Tuhan. Bagaimana kita bisa hidup sebagai milik Tuhan dan menempatkan diri secara benar dan memberikan penghormatan kepada Allah secara patut, walaupun itu tidak akan pernah sebanding dengan kebesaran dan kemuliaan-Nya? Ini yang harus kita lakukan. Sekaligus ini yang membuat kita bisa hidup di hadirat Allah. 

Allah menghendaki persekutuan dengan diri-Nya. Lebih dari nyanyian, pujian, penyembahan yang kita naikkan kepada-Nya, Allah menghendaki persekutuan dengan diri-Nya. Persekutuan setiap saat. Sehingga di dalam hidup kita, kita hanya memiliki ruangan di mana Tuhan memenuhi ruangan itu. Itu yang dapat kita lakukan. Paling tidak, mendekati keagungan kemuliaan Allah atau makin sebanding dengan kebesaran-Nya. Kita harus memiliki hanya satu dunia, dan dunia itu adalah Tuhan. Sehingga kita hanya memiliki satu ruangan di dalam hidup kita, dan ruangan itu adalah ruangan Tuhan agar bisa bersekutu dengan Tuhan setiap saat, di mana pun dan kapan pun. 

Inilah yang Allah kehendaki lebih dari kebaktian yang kita lakukan, yang di dalamnya kita bisa memuji, memuliakan, dan menyembah Allah. Persekutuan dengan Allah haruslah persekutuan yang benar-benar menyenangkan hati Allah. Jangan bersekutu, tetapi kita menyakiti Dia. Jangan mempersilakan Tuhan Yesus masuk di hati, tetapi tidak memperhatikan perasaan-Nya. Itu menyakiti Tuhan. Sama seperti seorang pria yang membawa atau meminang seorang wanita menjadi istri, tetapi ternyata setelah menjadi istri justru disiksa dan diperdaya. Faktanya, tidak sedikit hal ini terjadi. Betapa jahatnya pria-pria seperti ini. Terhadap sesama, tidak boleh begitu. Apalagi terhadap Tuhan. Jangan kita mempersilakan Tuhan masuk di dalam hidup kita, tetapi kita tidak menyenangkan hati-Nya. Allah menghendaki persekutuan dengan kita, karena memang untuk itulah Allah menciptakan manusia dengan keadaan segambar dengan diri-Nya; memiliki pikiran dan perasaan. 

Dengan pikiran dan perasaan, manusia bisa memproduksi, membuat kehendak. Kehendaknya itu haruslah menjadi persembahan setiap saat yang berbau harum dan menyenangkan Tuhan. Jadi bukan hanya pujian dan penyembahan pada hari-hari kebaktian, tetapi pikiran dan perasaan kita terus-menerus memproduksi kehendak, keinginan yang menyenangkan hati Allah. Hal itu sebuah keniscayaan. Persembahan yang bisa kita lakukan sebagai tanda hormat kita kepada Allah adalah memproduksi setiap saat kehendak yang bisa menyenangkan hati Tuhan. Di situ sebenarnya penghormatan kita terhadap kebesaran Allah akan lebih sepadan dibanding dengan hanya menyanyi, memuji Tuhan, dan saat-saat tertentu kita puasa atau memberikan persembahan dalam berbagai bentuk. 

Pujian penyembahan kita seindah bagaimanapun, setulus-tulusnya, tidak sebanding dengan kebesaran dan keagungan-Nya.