Skip to content

Tidak Otomatis

Hidup kita akan berubah, jika arah hidup kita dalam arah hidup yang benar. Dan arah hidup kita haruslah satu: Tuhan. Masalahnya, bagaimana kita bisa menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya arah tujuan hidup kita? Yaitu kalau kita benar-benar berniat, berhasrat, berkerinduan untuk menjadi seorang yang kudus dalam standar-Nya. Tidak bercacat, tidak bercela di dalam pemandangan mata-Nya. Sejatinya, ini yang harus benar-benar kita perjuangkan. Kita harus berani berkata—dan memang mestinya demikian—”Apa pun yang terjadi di dalam hidupku, yang penting aku menjadi seorang saleh di mata Allah; menjadi seorang yang kudus menurut ukuran Tuhan. Menjadi manusia yang tidak bercacat, tidak bercela menurut pemandangan-Nya.” 

Sejujurnya, banyak hal yang sebenarnya sulit kita capai dalam hidup ini. Tetapi karena kita berkerinduan kuat, kita berusaha, maka bisa berhasil. Misalnya dalam bidang studi dimana seorang pemuda yang orangtuanya tidak mampu, berkeinginan kuat untuk kuliah. Maka, apa pun dia kerjakan, sehingga akhirnya bisa berhasil menjadi seorang sarjana. Ada pengusaha yang tidak memiliki modal, tapi ingin memiliki kegiatan bisnis. Apa pun dia lakukan; jual tanah warisan, pinjam uang di bank, berbagai hal dilakukannya. Tidak jarang ada yang berhasil menjadi pebisnis sukses meskipun latar belakangnya demikian. Jadi, ini tergantung masing-masing individu mengusahakan atau mengupayakannya. 

Masalahnya, banyak orang tidak percaya atau kurang percaya bahwa Allah itu benar-benar hidup, benar-benar ada, bahwa ada kehidupan di balik kehidupan di bumi ini. Kalau dikatakan tidak percaya, biasanya mereka menyangkal dan mengatakan  percaya-percaya saja. Tetapi, percayanya belum cukup mendongkrak hati dan gairah hidupnya untuk benar-benar mengarahkan diri kepada Tuhan. Atau kalaupun percaya bahwa Allah itu ada, mereka tidak mengerti kebenaran. Bersyukur kita mengenal Allah yang benar dan kita percaya Allah itu ada. Kita bukan tidak peduli Tuhan—peduli juga—tetapi seberapa interest atau ketertarikan kita untuk hal ini? 

Mestinya Tuhan menjadi satu-satunya tujuan hidup. Seandainya Adam dan Hawa tidak jatuh dalam dosa, otomatis semua keturunannya akan memusatkan hidupnya pada Allah. Manusia bisa menikmati ciptaan Allah dengan sempurna, artinya bisa menikmati apa yang Allah ciptakan untuk manusia secara maksimal. Karena selain manusia memiliki persekutuan dengan Allah, karakternya juga tidak rusak, sehingga manusia bisa saling ber-fellowship dan mengasihi. Manusia akan tergiring untuk menjadikan Tuhan segalanya. Tetapi berhubung manusia telah jatuh dalam dosa dan kuasa kegelapan terus bermanuver; berusaha menyeret sebanyak mungkin orang masuk dalam persekutuan dengan kuasa gelap tersebut, maka tidak bisa tidak, kita harus mengarahkan diri kita hanya pada Tuhan, dan ini tidak terjadi secara otomatis.

Apakah kita diberi 5, 10, 20, atau 100 dalam hal berkat jasmani, itu hal yang tidak penting. Apakah kita difasilitasi Tuhan dengan berkat-berkat materi atau tidak, itu juga tidak penting. Tujuan kita hanyalah Tuhan. Karena, bumi yang terlaknat dan terkutuk ini tidak mungkin kita bisa nikmati secara ideal. Selain persekutuan kita dengan Tuhan belum ideal, karakter kita juga belum sempurna, begitu pula dengan hubungan antarsesama yang pada umumnya rusak. Jadi, kita sejatinya hanya menantikan langit baru bumi baru. Maka, prinsip hidup kita hanya satu, seperti yang dikatakan oleh Paulus: “asal ada makanan dan pakaian, cukup” (1Tim. 6:8). 

Di ayat sebelumnya dikatakan, “Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup memberi keuntungan besar.” Kita harus merasa “cukup.” Jadi, tidak ada target. Yang penting, hidup bisa dijalani. “Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia. Dan kita pun tidak dapat membawa apa-apa ke luar.” Jadi. Tidak ada yang kita bawa waktu kita lahir, dan waktu kita meninggal pun, tidak akan membawa apa-apa dari bumi ini. Asal ada makanan, pakaian, cukup. Ayat-ayat ini mengisyaratkan kebenaran yang diucapkan Tuhan Yesus di Matius 6:19, “Kumpulkan harta di surga, bukan di bumi. Serigala mempunyai liang, burung mempunyai sarang, Anak Manusia tidak memiliki tempat untuk meletakkan kepala-Nya.” 

Kita harus serius merenungkan dan memikirkan hal ini. Dan dengan rela, kita menerima kebenaran ini menjadi prinsip hidup: “Tujuan hidupku hanya Tuhan.” Kalau Tuhan menjadi tujuan hidup kita, itu berarti kita harus mengusahakan untuk hidup kudus dan suci sesuai standar Tuhan. Ini tidak bisa terjadi atau berlangsung dalam hidup kita dengan sendirinya. Doktrin yang banyak beredar di tengah-tengah jemaat, yang disampaikan oleh pendeta-pendeta lulusan Sekolah Tinggi Teologi, sering kali hanya merupakan pengetahuan di atas buku. “Tuhan sudah membenarkan kita. Kita dianggap benar di hadapan Allah. Allah melihat darah Yesus yang membungkus kita, tidak melihat keadaan kita.” Kelihatannya benar, tetapi itu baru sebagian. Dan ingat, sebagian kebenaran itu dusta. Kebenaran itu harus utuh. 

Memang ketika kita dibenarkan, kita dianggap benar, Bapa tidak melihat keadaan kita tapi melihat darah Yesus yang membungkus kita, itu pernyataan yang betul. Tetapi tidak berhenti sampai di situ saja. Firman Tuhan mengatakan, “Kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar. Jangan serupa dengan dunia ini.” Inilah yang harus kita upayakan untuk menjadi manusia baru. Ingat, kata “suci” itu bukan hanya berarti “bersih,” melainkan juga termuat potensi untuk bisa berpikir dan berperasaan seperti Allah, serta memiliki keagungan karakter. Dan tentu standarnya adalah karakter Bapa sendiri.

Berhubung manusia telah jatuh dalam dosa dan kuasa kegelapan terus bermanuver, berusaha untuk menyeret sebanyak mungkin orang masuk dalam persekutuan dengan kuasa kegelapan ini, maka tidak bisa tidak kita harus mengarahkan diri kita hanya pada Tuhan; tidak otomatis.