Tidak ada sesuatu yang dadakan dalam berurusan dengan Tuhan. Tuhan sangat ketat dalam menegakkan hukum dan tatanan-Nya, yaitu lewat proses. Dalam penciptaan alam semesta, tampak Tuhan menunjukkan tatanan-Nya; hukum dari apa yang Allah tetapkan. Allah menciptakan alam semesta dalam beberapa hari secara bertahap dan sistematis. Dalam sejarah Kerajaan Allah yang ditulis di dalam Alkitab, kita menemukan proses-proses kehidupan yang dijalani oleh kekasih-kekasih Tuhan, baik itu oleh Yusuf, Abraham, Musa, Daud, dan lain sebagainya. Ketika Yesus berkata di Matius 6:19-21, “kumpulkan harta di surga,” itu secara tidak langsung hendak menunjukkan adanya proses, yaitu proses pengumpulan, penumpukan, atau akumulasi.
Roma 12:2 mengatakan, “berubahlah oleh pembaharuan budimu.” Ada satu kata dalam bahasa Inggris, transformation; yang di dalam bahasa Yunaninya metamorphoste, yang kemudian di dalam bahasa Indonesia kita mengenal satu kata: metamorfosa. Artinya, sebuah proses perubahan. Jadi, tidak ada yang sifatnya ‘dadakan.’ Kita tidak bisa secara mendadak masuk surga. Kita bisa masuk surga dan layak di hadapan Allah, harus melalui proses. Memang ada satu fragmen di dalam Injil yang sering dipahami salah, yaitu ketika Yesus di kayu salib. Yesus berkata kepada salah satu penjahat yang membela Yesus, “Hari ini engkau bersama dengan Aku di Firdaus.” Ayat ini dipelintir oleh Iblis dan melalui mulut banyak orang yang tidak mengenal kebenaran, seakan-akan orang bisa masuk surga secara mendadak.
Penjahat itu bukanlah pria sembarangan. Buktinya, ia mengerti bahwa Yesus akan datang sebagai Raja. Dia tidak minta seperti penjahat yang satunya, agar ia diturunkan dari salib. Bahkan, ia membela Yesus. Murid-murid Yesus sendiri lari tunggang-langgang meninggalkan Yesus. Tetapi pria ini berkata, “Orang ini tidak salah.” Sementara ratusan bahkan ribuan orang, bisa belasan ribu, berkata, “salibkan Dia!” Atau dengan kata lain: “Dia salah!” Tetapi dia seorang diri mengatakan: “Orang ini tidak bersalah.” Betapa beraninya, dia. Dia tidak mendadak bisa mengenal Yesus sebagai yang akan datang sebagai Raja, nanti. Dia berkata, “ingat aku kalau Engkau datang sebagai Raja.”
Oleh sebab itu, kita harus mengevaluasi diri setiap hari atau kita bisa mengukur, kita ini layak tidak, masuk Kerajaan Surga? Tidak bisa tidak, setiap hari kita harus menghadap Tuhan. Menghadap Tuhan untuk dievaluasi oleh Tuhan, dan kita juga mengevaluasi diri. Allah yang Mahakudus adalah Bapa yang mendidik, Guru yang mengajar, maka Ia tidak mungkin tidak berbicara. Kita bodoh atau pintar; cakap atau tidak; layak atau tidak; kudus atau tidak, bagaimanapun keberadaan kita, sesungguhnya tidak mungkin Tuhan tidak berbicara. Bahkan kalau kita ingin tahu sedetil-detilnya atau sekecil-kecilnya, Dia juga pasti berbicara. Kalau kita tidak pernah mengenal diri kita dengan benar, itu memang karena kita tidak serius berurusan dengan Allah.
Kita lebih serius berurusan dengan dunia. Ada banyak fokus di dalam diri kita. Ini sebenarnya akibat dari kuasa gelap yang menyesatkan banyak orang. Mestinya, setiap hari kita menghadap Tuhan, dan kita bisa melihat, mengerti kepantasan kita di hadapan Allah, kelayakan kita di hadapan Tuhan. Tuhan itu bukan sederetan doktrin dan ajaran. Walaupun Tuhan bisa disusun dalam doktrin dan ajaran, tetapi sesungguhnya Dia adalah Allah yang hidup. Allah yang hidup dan nyata, yang dengan Dia, kita harus berurusan secara real, secara nyata. Banyak orang belajar—yang disebut teologi—dan merasa sudah berurusan dengan Allah. Mereka berurusan dengan ilmu tentang Tuhan, tapi tidak berurusan dengan Tuhan. Dan konyolnya, banyak orang merasa sudah berurusan dengan ilmu tentang Tuhan, merasa sudah berurusan dengan Tuhan. Padahal, mereka orang yang berdiri di mimbar-mimbar menjadi penganjur umat, pembicara, mentor, konselor. Betapa mengerikan masa depan kekristenan. Itu semua adalah tipu muslihat Iblis yang harus kita akhiri. Dan itu harus dimulai dari diri kita terlebih dahulu.
Banyak orang memberikan porsi yang sangat sedikit, sangat kecil, ruangan yang sangat sempit untuk Tuhan, tapi memberikan ruangan seluas-luasnya untuk banyak hal. Dan dia tidak merasa bersalah, karena sudah menjadi bebal. Sudah tidak bisa merasakan perasaan Allah. Kalau tidak serius berurusan dengan Allah, merasa sudah berurusan dengan Allah karena belajar teologi, menyediakan ruangan seluas-luasnya untuk belajar teologi, seluas-luasnya waktu dan tenaga untuk jurnal ilmiah, tulisan-tulisan buku teologi, karya ilmiah, dan aktivitas dalam pendidikan teologi, tetapi kita tidak berurusan dengan Allah. Padahal, orang-orang itu menjadi pembicara, mentor, konselor, pengarah, penceramah.
Kita terbiasa memberi ruangan yang sangat sempit untuk Tuhan, porsi yang sangat tidak pantas untuk Tuhan. Suatu hari nanti, kita akan tahu betapa mulia dan besar Tuhan itu. Tetapi, kita telah memperlakukan Dia dengan sangat tidak sopan. Kita melecehkan dan meremehkan Dia. Selagi kita punya kesempatan untuk mendengar suara ini dan kita mau bertobat, bertobatlah. Sebelum waktu hidup kita usai, dan kita tidak punya lagi kesempatan memperbaikinya. Tidak ada cara lain, kecuali setiap hari kita menghadap Tuhan dan bertobat.
Kita tidak bisa secara mendadak masuk surga.