Dengan keberadaan sebagai makhluk kekal, manusia harus bertanggung jawab atas pilihan dan keputusan-keputusannya. Kehidupan ini benar-benar sebuah keadaan yang berisiko tinggi, sebab manusia yang berkeadaan kekal ini harus mengambil keputusan dan memilih kemuliaan kekal bersama dengan Allah, atau kehinaan kekal terpisah dari Allah. Dengan kesadaran terhadap fakta kekekalan ini, kita lebih berhati-hati dalam mengarungi kehidupan. Kehidupan ini berisiko tinggi, dan hidup ini tidak boleh kita terima seperti sebuah permainan kartu yang sifatnya gambling; berspekulasi (untung/rugi spekulatif). Tidak demikian. Masuk surga abadi bukanlah keberuntungan, dan masuk neraka kekal bukanlah kecelakaan. Karena, ke surga itu pilihan dari tanggung jawab kita. Setiap kita harus menetapkan apakah kita mau masuk surga bersama dengan Allah, atau tidak. Sudah ada tanda-tanda, apakah seseorang masuk surga selama-lamanya atau masuk neraka selama-lamanya. Ada gejala-gejala yang tampak, dan gejala-gejala itu bukan Allah yang menciptakan atau memberi; kita yang membuat, kita yang melangkah dan memberi tanda, gejala itu, symptom itu, ciri itu, karakteristik itu.
Bagaimanapun setiap kita harus memilih dan menentukan nasib kekal kita. Manusia adalah makhluk kekal dan harus menentukan nasib kekalnya. Orang yang mengabaikan fakta ini adalah orang bodoh yang tidak berakal. Dari keputusan, pilihan, dan tindakan-tindakannya tampak apakah orang itu menuju Kerajaan Terang atau kerajaan gelap. Hidup ini tidak bertepi, dan kita sedang melangkah menuju kehidupan yang tidak bertepi itu. Kehidupan yang tidak bertepi adalah realitas yang sangat dahsyat dan benar-benar menggetarkan; hidup yang tidak terbatas. Dan ini mengandung rahasia yang penting untuk dimengerti dan direnungkan, sampai kita akan mendapatkan pencerahan dari Allah. Seperti ada lampu yang menyala di kepala kita. Kalau selama ini kita masih melihat surga seperti bayang-bayang, nanti akan tampak jelas. Berangkat dari pemahaman tentang hidup yang tidak bertepi ini, kita menjalani hidup untuk menuju tempat yang nyaman yang tidak bertepi; tempat yang tidak bertepi, tapi yang nyaman.
Mau tidak mau—bersedia atau tidak—kita harus berada di salah satunya: kemuliaan kekal atau kehinaan kekal. Tidak ada seorang pun manusia yang dapat mengelak dari realitas ini. Apakah kita ada di kemuliaan kekal, atau kehinaan kekal? Kita semua sebagai makhluk kekal telah terperangkap oleh realitas ini, dan kita tidak dapat menghindarinya. Ini risiko, ini konsekuensi sebagai makhluk kekal. Banyak orang yang hatinya tidak tergetar oleh realitas bahwa dirinya makhluk kekal. Hal itu disebabkan karena telah dihanyutkan oleh berbagai kesenangan dunia dengan segala kesibukannya. Dan kuasa gelap memang berusaha agar manusia tidak menyadari bahwa dirinya makhluk kekal dan supaya manusia tidak memikirkan realitas kekekalan ini, sehingga hidupnya menjadi ceroboh, menjadi makhluk yang tidak bijaksana; padahal, bisa bijaksana dan bisa memiliki akal yang baik. Suasana dunia hari ini adalah suasana kehidupan dimana pada umumnya hampir semua manusia tidak mempersoalkan bahwa dirinya adalah makhluk kekal, dan tentu saja tidak mempersoalkan kekekalan sama sekali. Coba, di masyarakat, di tengah-tengah pergaulan, dalam percakapan-percakapan, apakah kekekalan disinggung-singgung? Sama sekali tidak.
Segala sesuatu yang dilakukan manusia terfokus kepada dirinya sendiri, terfokus pada kehidupan sekarang di bumi ini, seakan-akan tidak ada kehidupan di dunia lain, seakan-akan manusia tidak akan mati, seakan-akan tidak ada kehidupan di balik kematiannya. Tentu orang-orang seperti ini juga tidak memikirkan adanya pertanggungjawaban di hadapan pengadilan Tuhan nanti. Padahal, setiap kita harus mempertanggungjawabkan kehidupan kita selama di bumi, dan semua kita pasti menghadap takhta pengadilan Allah. Ini juga mestinya menggetarkan kita. Tetapi kalau orang sudah hanyut dengan berbagai kesenangan dunia dan kesibukannya, mereka sudah tidak lagi memikirkan adanya pertanggungjawaban, adanya pengadilan, adanya keadaan kekal nanti. Dan ini keberhasilan kuasa gelap menyesatkan manusia. Dunia sekarang ini makin materialistis. Jadi, nilai tertinggi kehidupan itu materi, uang, harta, dan nihilistis; Allah dianggap tidak ada atau tidak perlu ada.
Seharusnya, satu-satunya keinginan yang kita miliki adalah melakukan keinginan Allah saja. Karena sebagai orang yang ditebus oleh darah Tuhan Yesus, yang menjadi milik Allah sepenuhnya, kita tidak berhak memiliki keinginan dari diri sendiri. Keinginan kita itu hanyalah melakukan keinginan Allah Bapa. Dan sejatinya, itulah pelayanan yang sesungguhnya. Jangan muluk-muluk jadi pendeta atau ketua sinode. Menyenangkan hati Tuhan, cukup. Jika tidak demikian, lalu melakukan kegiatan gereja, pasti orang itu menggunakan kegiatan gereja untuk memperoleh keuntungan pribadi. Hidup kita mestinya digerakkan oleh gairah “hanya melakukan keinginan Allah Bapa.” Dan ini adalah suatu kehormatan, kalau sebagai makhluk ciptaan diperkenan melakukan keinginan Penciptanya.
Kehidupan yang tidak bertepi adalah realitas yang sangat dahsyat dan benar-benar menggetarkan; hidup yang tidak terbatas.