Kehidupan anak-anak Allah yang benar, pasti berdampak bagi orang di sekitarnya. Dampak itu berangkat dari menjadi saksi bagi Kristus dengan benar. Kehidupan orang percaya yang berkualitas seperti Tuhan Yesus membuktikan dan menunjukkan bahwa dua ribu tahun yang lalu, ada seorang pria yang mengaku sebagai Mesias, Anak Tunggal Allah yang hidup. Untuk ini, orang percaya harus benar-benar memiliki kehidupan yang benar, cemerlang, kudus, dan tidak bercacat, serta tidak bercela dalam seluruh aspek hidupnya. Idealnya, dalam segala hal, seseorang tidak dapat mempersalahkan kita. Jika tidak memiliki kesempurnaan sebagai anak-anak Allah, seseorang tidak akan dapat membawa dampak yang berarti. Maksud dari semua ini adalah agar kehidupan orang percaya dapat mengubah orang lain. Hidup kita harus menjadi pola dengan mana orang membangun diri mereka. Orang percaya yang menjadi anak-anak Allah yang ideal harus menjadi teladan dalam seluruh tingkah lakunya. Hal utama yang harus dihasilkan oleh kehidupan orang percaya adalah karakter Kristus yang terperagakan atau terselenggarakan dalam hidup orang percaya. Selanjutnya, dari kehidupan yang luar biasa ini, seseorang dapat menghasilkan buah yaitu jiwa-jiwa yang diubahkan menjadi serupa dengan Yesus. Inilah kehidupan yang tidak bercacat dan tidak bercela.
Mendengar kalimat “hidup tidak bercacat dan tidak bercela,” banyak orang bersikap apatis dan berpikir bahwa hal tersebut tidak mungkin dapat dicapai. Kalau seseorang berpikir bahwa tidak mungkin orang bisa hidup tidak bercacat dan tidak bercela atau menjadi sempurna, itu pasti karena pengaruh cara berpikir berbagai agama dan keyakinan. Hal inilah yang menolerir seseorang untuk berbuat suatu kesalahan sebagai sikap permisif. Penyebab seseorang tidak bergairah untuk mencapai hidup yang tidak bercacat dan tidak bercela juga karena berpikir bahwa memiliki hidup tidak bercacat dan tidak bercela dirasa tidak menguntungkan. Bahkan, ada kekhawatiran akan memiliki keadaan hidup yang tidak atau kurang bahagia seperti orang lain.
Apatisme untuk hidup tidak bercacat dan tidak bercela juga disebabkan oleh pengalaman hidup yang telah dilalui, yaitu selalu gagal untuk hidup tidak bercacat dan tidak bercela. Pengalaman hidup dan catatannya menunjukkan bahwa mencapai hidup tidak bercacat dan tidak bercela adalah kemustahilan. Firman Allah sangat jelas menyatakan bahwa orang percaya harus memiliki kekudusan seperti Allah (1Ptr.1:16). Perjanjian Baru tidak memberi peluang orang percaya boleh hidup dalam dosa. Orang percaya harus sempurna. Ini adalah harga mati yang tidak dapat ditawar. Dalam tulisan Paulus kepada jemaat Korintus, jelas sekali dikatakan bahwa mereka harus hidup tidak bercela, dan tidak hidup dalam persekutuan dengan orang berdosa. Jika menuruti hal ini, Allah akan menerima mereka sebagai anak-anak-Nya (2Kor. 6:14-18). Orang percaya harus menempatkan diri di tempat terang dan berperilaku sempurna seperti Bapa. Untuk ini, orang percaya harus berani menerima perintah Tuhan untuk hidup tidak bercacat dengan optimis, kalau Allah memerintahkan orang percaya berbuat sesuatu, pasti Allah menolong dan memberi kesanggupan. Orang yang menolak hidup kudus atau hidup tidak bercacat dan tidak bercela, berarti menolak menjadi anak Allah.
Hidup tidak bercacat dan tidak bercela bukan hanya menyangkut masalah-masalah rohani yang selalu dikaitkan dengan moral, melainkan bertalian dengan seluruh aspek hidup ini tanpa batas. Firman Allah menyatakan bahwa semua orang percaya yang menerima panggilan sebagai orang percaya yang benar adalah bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri. Kehidupan yang tidak bercacat dan tidak bercela harus dikaitkan dengan segenap aspek hidup kita di tengah pergumulan menghadapi dunia dan manusia lain dalam kehidupan konkret. Ini berarti menyangkut moral dan etos kerja, yaitu kerajinan dan ketekunan bekerja, pola hidup, pola makan, tutur kata dalam berbicara dan bercanda, penggunaan waktu, ketertiban mengatur waktu, ketepatan waktu dalam menghadiri sebuah pertemuan, kesetiaan memenuhi janji, cara berpakaian, kebersihan dan pemeliharaan tubuh, dan seluruh aspek hidup lainnya.
Kehidupan seseorang yang tidak bercacat dan tidak bercela pasti membawa keteduhan bagi semua orang yang dijumpainya. Sejatinya, semua ini menunjuk keagungan seorang anak Allah yang benar-benar bermental surgawi. Kehidupan orang yang tidak bercacat dan tidak bercela sangat berpotensi menjadi saksi bagi Tuhan. Dari kehidupan yang tidak bercacat dan tidak bercela itu, seorang anak Allah dapat membuktikan bahwa dua ribu tahun yang lalu pernah hadir seorang pria yang mengaku Anak Allah yang menjadi Juruselamat dunia ini. Memang hanya karena anugerah kita menjadi anak Allah, namun anugerah tidak menempatkan orang percaya secara otomatis berkeadaan sebagai anak Allah. Berkeadaan sebagai anak Allah adalah hasil perjuangan dari orang percaya, yang menerima Yesus sebagai Tuhan atau menempatkan Tuhan sebagai Pemilik kehidupan ini.