Skip to content

Tidak Ada Lagi Kesempatan

Paulus dalam suratnya menyatakan pilihannya dengan mengatakan, “Malahan segala sesuatu kuanggap rugi karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia daripada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah supaya aku memperoleh Kristus.” Ini pilihan. Mumpung ada kesempatan memilih. Tindakan memilih Tuhan dibayar dengan melepaskan segala sesuatu. Jadi kalau belum melepaskan segala sesuatu berarti belum memilih Tuhan. 

Sebenarnya tindakan Paulus ini adalah realisasi dari tulisan sebelumnya di Filipi 2:6-8, “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” 

Yesus bisa menikmati dunia ini. Ketika ditawari keindahan dunia di awal pelayanan-Nya, tetapi Yesus memilih menyembah dan hanya berbakti kepada Allah Bapa saja. Tuhan Yesus mengajarkan bahwa kita harus menikmati Kerajaan Allah sejak hidup di bumi ini. Itulah sebabnya selagi masih ada kesempatan, kita harus menghadirkan pemerintahan Kerajaan Allah untuk kita nikmati. Kerajaan Allah bukan soal makan dan minum, tetapi damai sejahtera, sukacita, dan kebenaran oleh Roh Kudus. Dengan demikian, kita tidak terikat oleh dunia seperti manusia pada umumnya. Dan kehidupan Yesus ini merupakan model dari kehidupan Anak Allah yang harus kita kenakan. Prinsip-Nya, filosofi-Nya jelas. Di antaranya Yesus berkata, “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak memiliki tempat untuk meletakkan kepala-Nya.” Ini model kehidupan yang hanya difokuskan kepada Allah dan Kerajaan-Nya. 

Maka di Yohanes 4:34 Tuhan Yesus berkata, “Makanan-Ku adalah melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan-Nya,” Memang kehidupan yang diperagakan oleh Yesus adalah kehidupan yang tidak wajar di mata dunia. Tetapi kita harus mengenakannya. Kita tidak bisa menghindari, karena memang itulah kehidupan anak-anak Allah. Dan Tuhan mematangkan pengertian kita dengan berbagai persoalan hidup, badai-badai yang membuat kita terbang lebih tinggi dan melihat tragisnya hidup. 

Coba perhatikan, orang yang prinsip hidupnya adalah menggunakan kesempatan untuk menikmati kesenangan dunia, adalah orang-orang yang berpikir bahwa masih ada kesempatan nanti untuk bertobat dan berubah. Dan itulah yang juga meracuni kita selama belasan bahkan puluhan tahun. Sebaliknya, orang yang memiliki prinsip hidup seperti Paulus, yaitu hidup untuk mengabdi dan melayani Tuhan, akan lebih cenderung berpikir bahwa tidak akan ada lagi kesempatan untuk bertobat dan berubah. Karenanya di dalam tulisannya di Efesus 5:15-16, Paulus mengatakan, “Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat.” 

Kita harus benar-benar bebenah, “berkemas-kemas,” yang artinya siap berangkat. Siap, hari ini, bukan nanti, tetapi sekarang. Coba kita membayangkan diri berada di hadapan takhta pengadilan Allah, masih ada tidak, dosa atau kesalahan yang kita lakukan? Masih ada tidak, pekerjaan yang belum kita tunaikan, belum kita selesaikan? Maka sekecil apa pun, sehalus apa pun dosa dan kesalahan, harus dibereskan. Manusia lain tidak perlu tahu. Di pengadilan Tuhan nanti, baru kita gelar perkara. 

Jadi kalau orang Kristen masih ada dalam filosofi “bagaimana menikmati kesenangan dunia,” ini adalah orang Kristen yang belum bisa digolongkan sebagai orang percaya dan jangan mengaku percaya. Sebab, orang percaya itu harus percaya semua yang dikatakan Tuhan dan melakukannya. Kalau kita percaya rumah kita di surga, kita bukan berasal dari dunia ini, hati kita tidak mungkin mendua. Tetapi sejujurnya, kita sudah mendua. Syukur kalau kita sadar. Maka kita harus nekat, supaya kita tidak balik ke belakang lagi. Sebab kita punya potensi balik ke belakang. 

Jadi surga itu bukan rumah kedua, salah kalau kita memandang surga rumah kedua. Surga adalah rumah kita satu-satunya. Rumah di bumi adalah persinggahan. Orang Kristen yang merasa punya dua rumah adalah orang Kristen yang pasti tidak memiliki kesetiaan yang sejati. Pasti masih ada percintaan dunia atau hidup di dalam keberhalaan. Dan orang-orang seperti ini pasti kurang atau tidak menghargai Rumah Bapa. Maka, tidak merindukannya. Dan orang yang tidak menghargai Rumah Bapa adalah orang yang tidak mencintai Bapa. Jangan berpikir masih selalu ada kesempatan sebab kita tidak tahu kapan berakhirnya waktu hidup kita.

Orang yang memiliki prinsip hidup untuk mengabdi dan melayani Tuhan,

akan lebih cenderung berpikir bahwa tidak akan ada lagi kesempatan

untuk bertobat dan berubah.