Skip to content

Tidak Ada Kata “Tidak Bisa”

Ibrani 3:13, “Tetapi nasihatilah seorang akan yang lain setiap hari, selama masih dapat dikatakan ‘hari ini,’ supaya jangan ada di antara kamu yang memiliki tegar hatinya karena tipu daya dosa.” Artinya, selama masih ada kesempatan—dan kesempatan itu hari ini—karena besok belum tentu ada; atau kalau kita menundanya, kita bisa menjadi tegar hati karena tipu daya dosa sehingga tidak bisa berubah lagi. Masalahnya, kita menunda karena kita takut kita kurang bahagia, atau kita takut kita tidak dapat melakukannya. Kalau kita menghormati Tuhan dan mengasihi Dia, tidak ada kata “tidak bisa.” Karena sudah begitu merosotnya kekristenan yang sejati, sehingga pesan seperti ini dianggap hiperbola dan hanya untuk pendeta saja. Padahal, mestinya semua kita harus seperti ini. Jadi kita mendeklarasikannya, sementara masih ada monster yang belum mati total dalam daging kita. Waktu hari-hari kita jalani, kita harus mengingat bahwa kita sudah memiliki komitmen, dan jangan menunda untuk memenuhi apa yang kita katakan.

Dalam 1 Korintus 10, di situ tertulis “semua ini menjadi peringatan bagi kita;” kita, orang Kristen. Jadi, mereka yang adalah umat pilihan pun, tidak pasti masuk tanah Kanaan. Ketika mereka mengeraskan hati, ketika mereka tidak setia, mereka tewas di padang gurun. Sama dengan yang ditulis di Roma 11, “Kalau carang asli saja dipotong, apalagi kamu carang liar yang dicangkokkan,” artinya kalau Israel saja dipotong, dibuang, apalagi kamu, bukan Israel. Oleh sebab itu, “asal saja kita teguh.” Ibrani 13:18 mengatakan, “Dan siapakah yang telah Ia sumpahi bahwa mereka takkan masuk ke tempat perhentian? Bukankah mereka yang tidak taat?” Sejatinya, kita harus gentar dengan fakta ini, sebab tidak jaminan karena kita adalah orang percaya, maka kita pasti berkenan dan pasti masuk surga. Kalau kita masih terikat dengan sesuatu, itu menunjukkan keras kepala, tegar tengkuk kita, ketidaktaatan kita.

Mengapa kita takut kehilangan kebahagiaan? Mengapa kita takut ada sesuatu terjadi? Kalau kita menyerah sepenuhnya kepada Tuhan, ia pasti akan beserta dengan kita. Maka kita tidak boleh setengah-setengah ikut Tuhan. Kalau sekarang Tuhan sudah memberikan kita berbagai fasilitas, hal itu hanya untuk supaya kita bisa menjalankan hidup dalam pengabdian kepada Tuhan dan proses belajar kebenaran Firman agar kita dewasa. Sudah banyak ikatan dalam jiwa kita, baik keinginan daging atau keinginan-keinginan memiliki fasilitas yang ada di bumi ini. Hal ini susah dijelaskan kepada mereka yang sudah lama hidup duniawi. Jangan membuka diri untuk kesenangan-kesenangan dunia. Bahkan hal-hal yang sepele. Kalau kita bisa melepaskan hal-hal tersebut, maka kita dapat terbang tinggi. Tidak ada yang mengikat kita. Makin kita lepaskan dosa, kesenangan dan kebahagiaan duniawi, semakin kita merentangkan sayap untuk terbang.

Jadi, kalau kita menunda sementara waktu hidup kita itu singkat, kita menyia-nyiakan kesempatan mengerti Firman lebih banyak, kita membuang kesempatan untuk terbang lebih tinggi dalam kemuliaan Allah. Jangan main-main, dan jangan berpikir tidak berdampak. Apa yang kita remehkan dengan berpikir bahwa hal tersebut tidak terlalu berdampak, justru akan berdampak besar dalam hidup kita. Dampak tersebut tidak tanggung-tanggung, yakni masalah kekekalan. Karena sering kali tanpa sadar, kita masih menunda. Ada yang kita tunda, walau mungkin hanya sebagian kecil. Menunda untuk menjaga kesucian perkataan, menepati janji, dan berbagai hal lain yang terlihat ‘kecil’. Akan tetapi itu tetap berarti kita tidak menghormati Tuhan. Penundaan sering membuat kita meleset. 

Oleh karenanya, kita harus berpikir bukan tidak mungkin hari ini adalah hari terakhir kita. Dengan berpikir bahwa hari ini mungkin hari terakhir, kita dapat dengan sungguh melakukan apa yang Tuhan kehendaki, mulai dari yang kecil sampai yang besar dalam persekutuan dengan-Nya. Justru keindahan kekristenan itu baru betul-betul dinikmati, persekutuan dengan Tuhan benar-benar bisa dinikmati, ketika kita hari ini, kita melepaskan semua. Kita masih punya kesempatan untuk berbenah diri. Ketika Tuhan bertanya kepada kita, “Apa kamu sudah melepaskannya hari ini?” Kita bisa menjawab, “Sudah, Tuhan. Semua sudah saya lepaskan.” Jadi, sebelum kita menghadap Tuhan, kita mestinya sudah selesai melepaskan segala sesuatu, sehingga kematian kita menjadi kematian yang bermartabat.

Kalau kita menghormati Tuhan dan mengasihi Dia, tidak ada kata “tidak bisa.”