Tidak dapat disangkal bahwa Tuhan menghendaki anak-anak-Nya rela melepaskan apa pun yang menjadi kesukaan dan kebanggaan demi memuaskan hati-Nya. Ketika Allah menghendaki agar Abraham menjadikan Ishak sebagai kurban bakaran, Allah menghendaki agar diri-Nya dipuaskan oleh Abraham dengan cara memberikan yang terbaik, tersayang, dan termahal dalam hidupnya bagi Tuhan. Dari apa yang tertulis dalam Alkitab ini, tampak sekali tidak ada keraguan dalam hati Abraham terhadap Allah yang memerintahkan dirinya untuk melakukan sesuatu yang benar-benar asing dan aneh. Perintah Allah itu aneh sebab cara pengurbanan seperti itu biasa dilakukan oleh orang-orang Kanaan. Penurutan Abraham ini menunjukkan pandangannya bahwa Tuhan berhak menerima yang terbaik dari apa yang ada padanya, dan memperlakukan dirinya sesuka-suka Tuhan tanpa memedulikan perasaan dirinya. Dari hal ini, tampak sekali bagaimana Abraham menempatkan diri secara benar di hadapan Allah. Sikap ini adalah sikap yang luar biasa, tetapi normal di hadapan Tuhan, sebab memang Tuhan berhak diperlakukan demikian.
Umat Perjanjian Baru dikehendaki Tuhan untuk memiliki kehidupan iman seperti Abraham. Abraham dibenarkan bukan karena perbuatannya dalam melakukan hukum, sebab memang belum ada hukum. Namun, Abraham dibenarkan karena penurutannya yang begitu hebat. Penurutannya terbukti hingga kesediaannya mengorbankan anak tunggal yang telah lama dinantikannya. Hal ini menunjukkan bahwa seorang Kristen belum bisa dikatakan Kristen yang dibenarkan, sebelum memiliki kehidupan iman seperti Abraham. Pada mulanya, Abraham dipilih bukan karena perbuatan baik yang dilakukan, melainkan karena Allah memilih. Namun, setelah Abraham menjadi pilihan Tuhan, ia harus hidup dalam penurutan terhadap kehendak Allah yang sempurna. Pilihan Allah atas kehidupan orang percaya tidak membawa orang percaya kepada sebuah pelabuhan di mana mereka bisa berhenti dari perjuangan. Pilihan itu justru merupakan awal dari sebuah perjuangan untuk masuk jalan sempit.
Orang percaya tidak dikehendaki Tuhan untuk melakukan hukum dan peraturan sehingga menyenangkan hati Tuhan. Tidak ada manusia yang dapat melakukan hukum dengan sempurna. Orang percaya telah menerima penebusan oleh darah Tuhan Yesus. Ketidaksanggupannya melakukan hukum telah diselesaikan oleh Tuhan Yesus. Namun, ini bukan berarti bahwa semua sudah beres dan orang Kristen tinggal berpangku tangan menantikan hari kematiannya dan diperkenan masuk surga. Orang Kristen harus mulai berurusan dengan Tuhan secara pribadi dan memiliki kepercayaan yang mutlak dan total kepada Tuhan. Untuk ini, orang percaya harus bergumul untuk mengenal Tuhan secara lengkap dan mengalami Tuhan secara nyata agar dapat mengerti kehendak-Nya, serta melakukannya.
Hal ini kebalikan dari apa yang dipahami selama ini oleh banyak orang Kristen, seakan-akan dengan memercayai secara nalar bahwa Tuhan Yesus adalah Juruselamat, berarti seseorang sudah dibenarkan. Kekristenan menjadi begitu dangkal dan miskin, tidak ada keagungan dan keluarbiasaannya. Jika kekristenan hanya demikian, kekristenan menjadi lebih buruk dan sangat tidak berkualitas dibanding banyak agama lainnya. Orang Kristen hanya merasa bangga bahwa dengan menjadi Kristen maka memiliki cara mudah masuk surga dan menjadi anak Allah. Padahal, hanya orang-orang yang memiliki sikap hati dan langkah hidup seperti Abraham yang menjadi anak-anak Abraham. Orang-orang Yahudi yang berusaha membunuh Tuhan Yesus dikatakan sebagai bukan anak Abraham, sebab kalau mereka anak Abraham, mereka pasti bertindak seperti Abraham. Kalau ada orang-orang Kristen yang tidak mau mengerti misi utama yang dibawa oleh Tuhan Yesus—tetapi berkeras dengan gairah duniawi dalam dirinya—ia pun bukan anak Abraham.
Abraham adalah sosok yang berjiwa musafir dan menujukan hidupnya hanya untuk menerima negeri yang Allah janjikan. Penulis Ibrani memberi kesaksian: “Karena iman ia diam di tanah yang dijanjikan itu seolah-olah di suatu tanah asing dan di situ ia tinggal di kemah dengan Ishak dan Yakub, yang turut menjadi ahli waris janji yang satu itu. Sebab ia menanti-nantikan kota yang mempunyai dasar, yang direncanakan dan dibangun oleh Allah.” Semua itu dilakukan Abraham sebagai sikap ketundukannya kepada Allah sebagai Majikan Agungnya. Tidak heran karenanya Abraham disebut sebagai bapa orang percaya karena ketertundukannya kepada Allah meskipun tidak ada dasar baginya untuk berharap (Rm. 4:18). Sikap hidup Abraham menjadi teladan bagi orang percaya untuk berani melepaskan segala sesuatu demi kehendak dan rencana Allah. Tanpa keberanian untuk melepaskan segala sesuatu seperti yang diteladankan oleh Abraham, kita tidak mungkin memuaskan hati Bapa.
Pilihan Allah atas kehidupan orang percaya tidak membawa orang percaya kepada sebuah pelabuhan di mana mereka bisa berhenti berjuang.