Skip to content

Tetelestai

Sebagai orang yang mengaku percaya kepada Tuhan Yesus Kristus dan menerima penebusan-Nya, kita harus menjadi benar. Kalau tidak, berarti kita tidak mau diselamatkan. Makanya kita harus dimuridkan agar hidup kita bisa menghasilkan buah pertobatan. Sebab Alkitab mengatakan, “semua orang dihakimi berdasarkan perbuatannya.” Tidak berdasarkan agama, bahkan tidak berdasarkan iman, melainkan berdasarkan perbuatan. Lalu, iman artinya apa? Iman itu tindakan. Jadi kalau kita mengaku sebagai orang Kristen, berarti kita harus sempurna seperti Bapa di surga dan serupa dengan Yesus; tentu diukur dengan ukuran yang berbeda dengan mereka yang bukan umat pilihan. Kebenaran kita harus melebihi ahli Taurat dan orang Farisi. Untuk itu, kita belajar kebenaran, kita melakukan kebenaran, supaya mendapatkan mahkota kebenaran. Ketika Paulus mengatakan bahwa ia telah mengakhiri pertandingan yang baik, telah mencapai garis akhir, ditambahkan ayat-ayat sebelumnya bahwa darahnya sudah siap ditumpahkan bagi korban. Hal ini menunjukkan bahwa pada waktu itu, Paulus sudah punya firasat atau keyakinan bahwa itulah adalah hari-hari terakhirnya. Memang pada waktu itu Paulus sudah ada dalam penjara, dan surat Timotius ini ditulis sekitar tahun 50-60 M, ini adalah masa gencar-gencarnya penganiayaan terhadap orang Kristen, khususnya di Roma. Dan tahun-tahun itulah Paulus meninggal dengan cara dipancung di kota Roma. 

Hal ini menggenapi apa yang diucapkan Paulus di Miletus, ketika ia berpamitan kepada tentara penatua di Efesus, “Tetapi sekarang sebagai tawanan Roh aku pergi ke Yerusalem dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi atas diriku di situ selain dari pada yang dinyatakan Roh Kudus dari kota ke kota kepadaku, bahwa penjara dan sengsara menunggu aku. Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikitpun, asal saja aku dapat mencapai garis akhir dan menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia Allah.” (Kis. 20:22-24). Dari Yerusalem, kita membaca bagaimana Paulus terus melalui perjalanan panjang sampai kota Roma, dan mati di sana. Dari pernyataan ini menunjukkan bahwa pertandingan yang diselesaikan oleh Paulus dengan baik itu adalah pelayanan kepada Tuhan. Kebenaran yang dia miliki, dia hidup dalam kebenaran atau melakukan kehendak Bapa, dan hidupnya yang dipersembahkan sampai darahnya dicurahkan, ia mencapai garis akhir. Paulus menjadi teladan bagi kita hari ini, dimana Paulus pun mencontoh Guru dan Tuhannya yang menyelesaikan pekerjaan Bapa (Yoh. 4:34). Akhirnya, Paulus juga bisa berkata seperti Yesus, Guru dan Tuhannya, “Sudah selesai; tetelestai.” “Aku sudah mengakhiri, sudah tetelestai.” 

Hanya orang yang di akhir hidupnya bisa mengatakan tetelestai adalah orang yang kematiannya bermartabat. Orang-orang seperti ini akan memperoleh mahkota kemuliaan atau mahkota kehidupan. Jadi, betapa naifnya kalau seseorang belum atau tidak melakukan pertandingan seperti yang dilakukan Paulus, lalu ketika meninggal dunia, berita kematiannya disertai dengan kalimat: “Telah menyelesaikan pertandingan yang baik,” padahal dia tidak buat apa-apa. Mahkota kebenaran hanya untuk orang yang melakukan kebenaran. Pertandingan bisa berakhir, yaitu ketika seseorang sampai akhir setia, sampai tuntas. Paulus berkata, “Aku tahu apa tugasku, dan aku telah menyelesaikannya.” Maka tulisan “Telah pulang dengan damai ke Rumah Bapa” dan “Telah menyelesaikan pertandingan yang baik” dikembalikan kepada harga yang sesungguhnya. Itu bukan murahan. Jangan kalimat ini menjadi murahan; dengan mudahnya dikenakan kepada sembarang orang. Kalimat ini hanya pantas diberikan kepada orang-orang yang sungguh-sungguh telah memiliki pertandingan yang baik seperti Paulus. Kematian Paulus ini kematian yang bermartabat, sebab Paulus telah mengisi hari-harinya dengan perjuangan hidup, yaitu hidup dalam kebenaran dan menyelesaikan pekerjaan Bapa. Tidak heran dia memiliki kepastian akan menerima mahkota kebenaran.

Harga mahkota kebenaran adalah seluruh kehidupan yang dipersembahkan tanpa batas. Hanya bagi kematian orang yang membayar harganya—segenap hidup mengabdi kepada Tuhan—baru boleh dicantumkan tulisan “Telah pulang dengan damai ke Rumah Bapa. Mengakhiri pertandingan yang baik, telah mencapai garis akhir, dan telah memelihara iman.” Sekarang, mari kita bertobat. Kita mau nanti kalau kita meninggal, kita layak mendapat tulisan itu. Kita mau memiliki kematian yang bermartabat, walaupun kita tidak memiliki peti mati yang bagus. Tidak diantar ramai-ramai, bahkan hanya dikubur oleh segelintir orang. Semua itu bukan masalah. Sebab, yang penting bukan siapa yang mengantar, tapi siapa yang menjemput

Hanya orang yang di akhir hidupnya bisa mengatakan “tetelestai” adalah orang yang kematiannya bermartabat.