Orang yang karakternya rusak, tidak mungkin bisa menikmati damai sejahtera Allah. Jadi memang perlu proses pembenahan. Semakin seseorang karakternya baik—karakter yang baik dalam standar Allah, maka metabolisme kehidupan rohaninya akan semakin baik, semakin sehat. Dia bisa berkata, “Siapa gerangan ada padaku di surga selain Engkau? Selain Engkau, tidak ada yang kuingini di bumi. Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya.” Jadi, tidak heran kalau Rasul Paulus menulis dalam kitab Galatia, “Asal ada makanan, pakaian, cukup.” Kebutuhan fisik itu relatif. Kita bisa makan dengan tempe dan sambal terasi, atau makan steak wagyu, atau nasi dengan terasi saja; atau dedaunan tanpa nasi, bisa hidup. Tentu dedaunan yang bisa dimakan.
Tubuh kita memiliki fleksibilitas yang luar biasa. Bahkan kalau kita memiliki tubuh yang sakit karena pola hidup yang salah, ketika kita mulai mengubah dengan pola hidup yang baru maka tubuh bisa menyembuhkan diri sendiri. Kalau metabolisme hidup rohani kita baik, maka kita makin mengerti bahwa yang kita butuhkan dalam hidup ini yaitu Tuhan. Bagaimana kita bisa memiliki metabolisme kehidupan rohani yang benar? Tuhan telah menyediakan sarananya, tetapi kita yang harus memilih. Analoginya, kalau orang sakit, ia dirawat dokter, diawasi suster, disediakan obat, dan tindakan-tindakan medis. Tetapi kalau sang pasien tidak mau menuruti nasihat dokter, maka tidak akan sembuh.
Harus kooperatif. Pernah dengar ada orang yang sakit tidak sembuh-sembuh? Diberi obat, tetapi kenapa tidak ada perubahan? Ternyata obat yang diberikan, tidak dia minum. Dimasukkan di bawah kasur, yang suatu hari ketahuan ternyata dia tidak minum atau mungkin dibuang. Tidak kooperatif. Disuntik, menolak; diinfus, tidak mau. Ada pantangan makan tertentu, dia tetap makan. Mati, akhirnya. Tidak sembuh. Kita ini pasien, dan Tuhan Yesus berkata, “Bukan orang sehat yang membutuhkan tabib, tetapi orang sakit.” Kita orang sakit, kita butuh tabib. Yesus adalah Tabib kita.
Ia bukan hanya menyembuhkan fisik kita, tetapi juga menyembuhkan jiwa kita. Maka, kita harus kooperatif. Gereja, pelayanan gereja, haruslah merupakan penyelenggaraan penyembuhan atas pasien-pasien yang mengalami sakit secara jiwa atau rohani. Gereja itu rumah sakit, bukan showroom. Yang datang ke gereja, orang-orang sakit yang harus dipulihkan atau diperbaiki. Tuhanlah Dokternya. Pengkhotbah dan para aktivis di gereja ibarat susternya. Suster memberi obat, melakukan tindakan-tindakan medis atas supervisi, kontrol, arahan dari dokter. Tidak boleh sok tahu. Walaupun dia mungkin tahu dari pengalaman sebelumnya, tetapi dia tidak boleh mengambil keputusan sendiri, harus tanya kepada dokter.
Tuhanlah Dokternya. Bagaimana jiwa seseorang sembuh, yang akhirnya menjadi keindahan di mata Allah, bukan hanya tergantung dokter dan suster, tetapi individu-individu; individu kita masing-masing. Kita harus sadar bahwa kita sakit. Jangan seperti orang-orang Yahudi, khususnya ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, yang merasa dirinya sehat, lalu tidak menghargai Tuhan. Maka Tuhan mengatakan, “Bukan orang sehat yang membutuhkan tabib atau dokter, tetapi orang sakit.” Jadi kita harus menyadari kita ini sakit. Metabolisme kehidupan rohani kita belum baik atau tidak baik. Banyak orang sadar bahwa dirinya masih duniawi, masih punya keinginan-keinginan daging. Lalu merasa dengan kesadaran itu sudah cukup.
Kemudian, seakan-akan Tuhan tidak terganggu dengan keadaan kita, karena kita sadar sebagai orang berdosa. Pengakuan itu seakan-akan sudah menjadi pembenaran, dan kita hidup wajar seperti manusia lain, seakan-akan Tuhan mengizinkan. Yang kita harus sungguh-sungguh menyadari, kita ini sakit. Supaya kita dirawat. Bagi para pengkhotbah, sebagai suster, kita harus mengerti benar bagaimana mempraktikkan ini. Kita harus memiliki koneksi yang tiada henti dengan Sang Dokter. Apa yang harus kita sampaikan kepada jemaat, lalu bagaimana mengurai hal-hal tersebut? Kita harus menangkap frekuensi Tuhan.
Kita harus selalu ada dalam koneksi dengan Tuhan, setiap saat. Maka kita tidak boleh melakukan hal-hal yang membuat koneksi kita putus. Kita harus menemukan frekuensi, sehingga kita selalu mendengar suara Tuhan. Jangan menunggu mau khotbah baru berdoa, “Tuhan, bicaralah kepada umat-Mu.” Setiap saat harus ada koneksi tersebut. Maka, jangan sampai koneksi itu rusak. Hal ini terkait dengan nanti bagaimana menyembuhkan kehidupan rohani yang sakit. Jangan punya kesenangan yang Allah tidak senang. Kalau kita mau dipakai Tuhan luar biasa, maka kita harus berani menyangkal diri, menanggalkan semua keinginan yang Tuhan tidak kehendaki. Koneksi kita jangan sampai putus. Kita harus makin dewasa rohani. Salah satu ciri kedewasaan rohani yaitu hidup suci, tidak punya kesenangan dunia. Dengan hidup suci, koneksi kita akan terus tersambung.
Dengan kita hidup suci, koneksi kita dengan Tuhan akan terus tersambung.