Orang yang paling beruntung dan paling sukses di dalam hidup adalah orang yang diakui oleh Allah sebagai anak-anak-Nya. Kalau Allah mengakui seseorang sebagai anak, sebagai milik-Nya, orang itu pasti terpelihara sempurna. Pasti diberkati, dijagai Tuhan selama hidup di dunia. Bahkan, segala sesuatu yang terjadi di dalam hidupnya pasti mendatangkan kebaikan, tidak menjadi kecelakaan. Kalau Elohim Yahweh yang menciptakan langit dan bumi mengakui kita sebagai anak, pasti Dia akan membimbing kita terus sampai ke surga.
Berkat-berkat jasmani, bukanlah berkat utama. Tetapi, pasti Bapa perhatikan. Burung di udara, Dia pelihara. Bunga di padang, Dia dandani. Apalagi kita. Yang ini tidak boleh diragukan sama sekali. Bekerjalah dan carilah nafkah dengan baik. Dia selalu memberi jalan keluar. Masalahnya, apakah Allah mengaku kita sebagai anak-Nya? Memercayai Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, artinya kita berpotensi menjadi anak Allah yang baik. Tetapi, kalau kita tidak memberi diri dimuridkan, didewasakan, suatu hari kita tidak akan diakui sebagai anak. Tidak heran tertulis di Alkitab bahwa orang yang menyebut Yesus “Tuhan, Tuhan,” tidak dikenal dan dibuang (Mat. 7:21-23).
Mengapa bisa dibuang, padahal mereka sudah mengaku Yesus Tuhan? Tuhan berkata: “Aku tidak kenal kamu,” artinya “Kamu bukan anak Bapa. Kamu bukan saudara-Ku,” karena Yesus tidak menjadi yang sulung bagi mereka. Yang disebut anak Allah dan diakui Allah sebagai anak, adalah orang yang melakukan kehendak Bapa. Mungkin ada yang berkata bahwa melakukan kehendak Bapa itu sulit dan berat sekali. Sebenarnya bukan “berat,” melainkan “mustahil.” Karena standar melakukan kehendak Bapa adalah teladan kehidupan Tuhan Yesus. Memang mustahil, tetapi “Yang mustahil bagi manusia, tidak mustahil bagi Allah.” (Mat. 19:26).
Kalau kita belum melakukan kehendak Bapa, mungkin Bapa masih toleransi. Seperti anak berumur satu hari, belum bisa berbuat apa-apa untuk orang tua, bahkan hanya merepotkan. Tetapi, orang tua menerimanya sebagai anak. Sempurna; perfect sebagai anak. Umur 3 tahun, maunya main-main, menuntut orang tua ini dan itu. Tetap dia sempurna sebagai anak. Umur 5-6 tahun, masih nakal, belum bisa membantu orang tua. Maunya jalan-jalan, main di tempat wisata atau minta dibelikan mainan. Masih wajar sebagai anak. Tetapi, tidak boleh terus-menerus begitu, bukan?
Dia harus belajar. Memasuki masa remaja, bersekolah, nanti kuliah, nanti berkarier, mengikuti petunjuk dan nasihat orang tua. Yang suatu hari kalau anak ini baik, dewasa, maka harta orang tua akan diberikan kepadanya. Waktu masih kecil, ia hanya diberikan coklat, gulali, balon. Tetapi, kalau anak ini sudah dewasa, semua warisan orang tua diberikan. Coba bayangkan kalau anak ini tidak menurut? Mencuri, terlibat narkoba, menyusahkan orang tua, berani melawan orang tua bahkan memukul orang tua, mengancam orang tua. Orang tua bisa membuat surat pernyataan secara hukum untuk memutuskan hubungan orang tua dan anak. Akhirnya, ia tidak jadi anak lagi. Orang tua pun tidak akan rela memberikan hartanya kepada anak yang memberontak.
Bapa di surga bisa menolak kita sebagai anak; karenaketika kita diberi kesempatan untuk bertumbuh agar serupa dengan Yesus atau sempurna seperti Bapa, tetapi kita tidak mau melakukannya. Proses pemuridan atau pendewasaan bertujuan agar kita berkodrat ilahi. Sebab, anak-anak Allah harus berkodrat Allah atau berkodrat ilahi. Berkodrat ilahi; sifat dan karakter kita seperti Bapa. Kalau kita berkata, “Engkau Maha Pengasih, Bapa, penuh belas kasihan,” kita juga harus penuh belas kasihan. “Engkau Allah yang baik, Engkau yang jujur, Engkau penuhi janji-Mu,” kita juga jadi orang yang memenuhi janji.
Allah tidak pernah mencelakai orang sedikit pun. Kita pun sedikit pun tidak boleh melukai orang. Allah bukan pribadi yang senang membuat orang marah, tersinggung, membuat orang rugi, terluka, terhina. Allah tidak punya sifat itu. Maka, kita harus punya sifat seperti Allah. Jangan membuat orang terluka, tersinggung, terhina, direndahkan. Kita berjuang untuk tidak melakukan hal itu. Harus ada perjuangan. Tuhan bisa memproses kita melalui pergumulan hidup, tekanan, perlakuan tidak adil, keadaan yang sulit, penderitaan, dan lainnya. Itu menjadi cara Bapa agar kita layak menjadi anak-Nya. Dalam keadaan kekurangan, dihina, difitnah, ditindas, itu bisa menjadi sarana Allah menyempurnakan kita.
Begitu seorang berkata, “Aku percaya Engkau sebagai Tuhan dan Juruselamatku, ya Yesus,” dia ditangkap oleh Allah. “Kamu jadi anak-Ku,” Allah mendidik dia. Memang awalnya belum bisa berbuat apa-apa, seperti bayi lahir. Ketika setahun, 2 tahun, 3 tahun pun belum bisa berbuat apa-apa. Tetapi, tidak boleh terus-menerus dalam keadaan tidak dewasa. Sudah ikut Tuhan 30, 40, 50 tahun, jika masih gampang tersinggung, senang menyakiti orang, masih menikmati dendam dan melampiaskan dendam, ini bukan sifat Allah; itu sifat setan. Orang seperti ini, tidak mungkin masuk surga. Dia tidak akan diakui sebagai anak Allah. Yang diakui sebagai anak-anak Allah adalah orang yang bersifat atau berkarakter seperti Allah. Berjuanglah tanpa batas.
Kalau Allah mengakui seseorang sebagai anak, sebagai milik-Nya, orang itu pasti terpelihara sempurna.