Skip to content

Terkoreksi

Saudaraku,

Mestinya tidak ada satu detik pun kita keluar dari hadirat Allah. Kita harus membiasakan diri dan menghayati bahwa kita hidup di hadirat Allah. Dunia ini bukan milik kita, kehidupan ini bukan milik kita; kita hanya menumpang. Seperti yang dikatakan dalam 1 Petrus 1:17, “Dan jika kamu menyebut-Nya Bapa, yaitu Dia yang tanpa memandang muka menghakimi semua orang menurut perbuatannya, maka hendaklah kamu hidup dalam ketakutan selama kamu menumpang di dunia ini.” Tentu, Petrus menuliskan ayat ini karena ia memperoleh ilham dari Roh Kudus. Ini Firman Tuhan, ini suaraTuhan.

Dan inilah yang kita mohon kepada Tuhan, kita memiliki hati yang takut akan Allah sebagaimana seharusnya kita takut. Dulu kita merasa sudah punya hati yang baik di hadapan Allah, karena kita tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran secara umum atau secara Hukum Taurat. Kita merasa tidak berdosa berat, sehingga kita tidak menghayati bahwa kita hidup di hadirat Allah. Bukan hanya dalam kekudusan dimana standarnya adalah tidak melanggar hukum, melainkan kekudusan sesuai dengan kekudusan Allah. Itu berarti benar-benar semua yang kita pikirkan, renungkan, ucapkan, dan lakukan selalu sesuai dengan kehendak Allah.

Jadi kita membiasakan diri merenungkan dan menghayati bahwa kita hidup di hadirat Allah. Sehingga kita nanti tidak perlu dengan sengaja mau menghayati bahwa kita hidup di hadirat Allah, tetapi dengan sendirinya kita sudah ada selalu dalam penghayatan kita hidup di hadirat Allah. Inilah yang akan membuat kita gentar akan Dia. Dan Roh Kudus menolong kita bagaimana takut akan Allah sebagaimana mestinya kita takut.

Hidup di hadirat Allah itu indah sekali. Detik ke detik, menit ke menit, jam ke jam, hari demi hari, ketika kita semakin bisa menghayati hidup di hadirat Allah, maka hobi dan kesenangan kita terhadap sesuatu akan gugur dengan sendirinya. Kesukaan jiwa kita akan berubah. Kalau dulu kita menyenangi banyak hal, maka sekarang apa pun akan menjadi luruh atau gugur. Dan hati kita makin tergantung pada Tuhan. Artinya suasana jiwa kita tergantung pada Tuhan. Di situlah kita baru bisa mengerti bahwa kita membutuhkan Dia lebih dari nafas dan darah kita. Itulah sebabnya kita memaksa diri untuk hidup di hadirat Allah 24 jam. Setiap saat. Yang nanti akan berlanjut di kekekalan.

Orang yang tidak hidup di hadirat Allah selama ia di bumi, tidak mungkin hidup di hadirat Allah selama-lamanya. Ironis, banyak orang Kristen, termasuk kita dulu, menggulirkan hari hidup tanpa menghayati bahwa dirinya hidup di hadirat Allah. Mereka adalah orang baik-baik, Kristen baik-baik, rajin ke gereja—pendeta, aktivis, majelis-majelis yang terhormat yang ikut membantu gembala—tetapi mereka tidak hidup di hadirat Allah. Ini kita dulu. Kita tidak melakukan pelanggaran moral umum. Kita dulu merasa sudah baik, sudah benar; ternyata kita belum hidup di hadirat Allah secara benar. Belum.

Kita belum takut akan Allah sebagaimana mestinya kita takut. Kita masih punya kesombongan-kesombongan. Kita memiliki kebencian-kebencian dan dendam terhadap orang-orang yang menyakiti kita. Walaupun mulut kita berkata, “tidak apa-apa, tidak apa-apa, aku ampuni, aku maafkan,” tapi hati kita ada dendam, kebencian dan tidak terkoreksi. Belum hal-hal lain. Ketidaktulusan, diplomasi yang dibuat-buat, berpolitik di dalam pergaulan, apalagi di pelayanan. Tetapi ketika kita hidup di hadirat Allah, maka akan terkoreksi hal-hal yang Tuhan tidak berkenan sekecil apa pun dosa itu, sehalus apa pun kesalahan itu.

Dan ini pengalaman yang tidak bisa dibagikan dengan lengkap, sebab setiap orang harus mengalami secara langsung dan menghayati bagaimana hidup di hadirat Allah. Mari, Saudara, kalau kita serius benar-benar berkemas-kemas, kita serius mau masuk surga, kita serius menujukan hidup kita di langit baru bumi baru, kita membiasakan diri hidup di hadirat Allah, selalu menghayati kita ada di hadirat Allah. Mata Tuhan melihat bukan hanya apa yang kelihatan oleh mata jasmaniah, melainkan juga gerak pikiran dan perasaan kita, semua hal di dalam diri kita. Dan kalau kita hidup di hadirat Allah, itu luar biasa. Hati kita akan makin merindukan Kerajaan Surga. Kita makin menghayati bahwa dunia ini bukan rumah kita.

Jangan karena kenyamanan dan kebahagiaan di dunia ini atau kebahagiaan duniawi membelenggu, mencengkram sehingga kita tidak merasa membutuhkan siapa-siapa, bahkan tidak membutuhkan Tuhan. Sejak sekarang ini, kita mau mengembangkan hidup di hadirat Allah. Dan itu sebenarnya adalah persiapan kekekalan. Sehingga kita membiasakan diri hidup di hadirat Allah, membiasakan diri ada di dalam atmosfer Kerajaan Surga. Sukacita dunia, hobi-hobi makin luruh, dosa-dosa kita terkoreksi. Kita bisa makin menghayati dunia bukan rumah kita, lalu kita mengarahkan diri ke surga.

Teriring salam dan doa,

Dr. Erastus Sabdono

Ketika kita hidup di hadirat Allah, maka akan terkoreksi

hal-hal yang Tuhan tidak berkenan,

sekecil apa pun dosa itu dan sehalus apa pun kesalahan itu.