Kekristenan mula-mula—yang merupakan model kekristenan yang harus dikenakan oleh orang Kristen sepanjang zaman—adalah kekristenan yang dikenakan oleh para murid Yesus, kemudian diteruskan kepada para rasul hingga sampai pada kita hari ini. Tapi, apakah kekristenan yang kita kenakan hari ini adalah kekristenan yang dikenakan oleh para murid Yesus sebagai narasumber pertama yang menerima pengajaran Injil Kerajaan Allah? Di dalam Injil Matius 28:18-20, Yesus berkata, “Ajar mereka melakukan segala sesuatu yang Kuperintahkan, yang sama dengan yang Kutunjukkan kepadamu untuk kamu kenakan. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa, sampai kepada akhir zaman. Aku harus menyertai kamu.”
Tuhan Yesus berjanji menyertai kita melalui atau di dalam Roh Kudus yang keluar dari Bapa, agar orang percaya mengenakan kekristenan seperti yang diajarkan oleh Tuhan Yesus. Murid-murid Yesus pasti mengenakan kekristenan seperti kehidupan Yesus. Jadi, kekristenan yang dikenakan oleh murid-murid Yesus adalah kehidupan yang dikenakan oleh Tuhan Yesus. Karenanya, di kota Anthiokia, orang percaya disebut Kristen, artinya seperti Kristus. Apakah kita layak disebut Kristen? Apakah kehidupan kita sudah seperti Kristus? Itulah sebabnya dalam Galatia 2:19-20, Paulus menulis yang merupakan kesaksian dari hidupnya, “Hidupku bukan aku lagi, tetapi Kristus yang hidup di dalam aku.”
Sejujurnya kita melihat di dalam perjalanan sejarah gereja—oleh pengaruh berbagai filsafat, agama, dan perubahan zaman—kekristenan yang sejati mulai luntur, mengalami kemerosotan. Dan satu hal yang terjadi hari ini, seakan-akan kekristenan itu seperti agama, sebuah keyakinan yang dibangun di atas dasar ajaran atau doktrin. Kekristenan tidak beda dengan banyak agama pada umumnya—bermoral baik, beretika baik— di mana kekristenan seperti ini merupakan kekristenan yang telah kehilangan Yesus. Dan kita baru mengerti setelah kita melewati perjalanan panjang, mengapa Yesus berkata dalam Lukas 14:33, “Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku.”
Itulah sebabnya, di dalam Ibrani 12:1 dikatakan bahwa untuk bisa mengikuti perlombaan yang diwajibkan—yaitu memiliki iman yang sempurna atau ketaatan yang sempurna seperti Yesus—kita harus menanggalkan semua beban dan dosa. Kekristenan itu benar-benar sesuatu yang sulit, benar-benar mustahil tanpa pertolongan Roh Kudus. Ada saat seorang kaya datang kepada Yesus dan berkata, “Tuhan, apa yang harus kulakukan supaya aku beroleh hidup yang kekal?” Sebenarnya, kalimat itu bisa berarti, “Apa yang harus kulakukan supaya hidupku berkualitas?” Dan Yesus menjawab, “Lakukan hukum.” Hormati orang tuamu, jangan membunuh, jangan berzina, jangan mencuri, dan seterusnya. Tentu, orang ini sudah melakukan hukum-hukum tersebut dan bisa tidak bercela.
Orang kaya ini merasa bahwa keberagamaan yang dia miliki telah memenuhi syarat orang beragama. Tetapi dia merasa masih kurang, maka ia bertanya, “Semua sudah aku lakukan, Tuhan. Apa lagi?” Dia seperti mencari gara-gara! Lalu Tuhan berkata, “Jual segala milikmu, berikan kepada yang miskin, ikutlah Aku.” Tentu maksud menjual segala milik dan membagikan kepada orang miskin, itu tidak harus diartikan secara harfiah. Tetapi kita tidak boleh memiliki ikatan, belenggu dengan harta benda, kita harus rela tidak bermilik, baru kita bisa mengikut Dia. Jadi, sebagai umat pilihan Perjanjian Baru, untuk memiliki hidup yang berkualitas standar Tuhan Yesus itu, tinggi sekali. Yang oleh karenanya, murid-murid-Nya berkata, “Jika demikian, siapakah yang dapat diselamatkan?”
Kita melihat bagaimana konsep banyak orang Kristen di dalam pikirannya hari ini seakan-akan masuk surga itu mudah. Kekristenan menjadi jalan mudah, jalan gampang, mungkin juga dipandang jalan pintas masuk surga. Ironis, betapa jauhnya dari dasar konsep yang benar, yang murni, yang Tuhan Yesus ajarkan. Kita bingung, mengapa kekristenan menjadi seperti ini? Mengapa berbeda dengan apa yang diajarkan Yesus? Yang diajarkan Yesus adalah diri-Nya, hidup-Nya. Paulus berkata, “Ikuti aku seperti aku ikut Kristus, teladani aku karena aku pun meneladani Yesus.” Tetapi apakah di generasi sekarang masih ada orang yang bisa berkata, “Teladanilah aku, seperti aku mengikut teladan Kristus?”
Jika ada, mungkin ia dianggap sombong, angkuh, arogan rohani. Padahal standar hidup kekristenan yang sejati demikian, supaya setiap orang tua bisa berkata kepada anak-anaknya, “Ikuti teladanku.” Anak-anak tidak melihat wajah Tuhan, sebaliknya anak-anak melihat banyak wajah tokoh dalam film, wajah artis atau politisi. Ironis, wajah Yesus hilang lenyap di dalam gereja, yang mestinya gereja menjadi tempat di mana wajah Yesus ditemukan. Mestinya demikian. Namun sejujurnya, ketika kita mau bangkit, kita bertabrakan dengan daging yang sudah berpuluh tahun kita puaskan. Kita bertabrakan dengan jiwa yang keruh yang sering kali kita puaskan. Maka, kita harus mengatur ulang pikiran dan jiwa kita dengan memohon pimpinan Roh Kudus.
Apakah di generasi sekarang masih ada orang yang bisa berkata,“Teladanilah aku, seperti aku mengikut teladan Kristus?”