Mari kita berpikir dengan jujur, realistis, dan cerdas. Ketika seseorang berani mengambil dan menerima pasangannya menjadi suami atau istri, dia harus yakin bahwa pasangan ini dapat diajak untuk membangun rumah tangga yang baik dan bahagia. Mungkin dari 100 orang, ada satu yang ragu-ragu. Atau mungkin dari 1000 orang, ada 5 yang ragu-ragu. Tetapi umumnya, kalau seorang pria berani mengambil seorang wanita sebagai istri atau sebaliknya, dan membawa diri mereka di pelaminan kudus untuk diberkati dan diteguhkan, mereka sudah yakin sepenuhnya bahwa pasangan yang dipilihnya itu pasangan yang tepat. Maka, seseorang berani mengangkat sumpah untuk menerima pasangannya tersebut dalam suka dan duka, dalam masa kelimpahan atau kekurangan, dalam keadaan sehat atau sakit. Maka ia tidak membuka celah terhadap yang lain.
Di dalam Efesus 5, hal ini dikatakan sebagai rahasia besar, “Tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.” Pertanyaannya, seberapa kita memiliki kepercayaan sekaligus kecintaan kepada Tuhan yang memang menghendaki agar kita mencintai Dia dengan segenap hati, jiwa, akal budi, dan kekuatan (Mat. 22:37-40)? Seberapa kita berani memberikan cinta kita kepada Tuhan? Seberapa kita berani memberikan kepercayaan kita kepada Tuhan bahwa Dia satu-satunya yang dapat membahagiakan kita? Bahwa Dia satu-satunya yang dapat menyelamatkan kita? Bahwa tidak ada yang lain, kita tidak membuka celah terhadap ilah, allah, dewa, atau kuasa lain?
Semua dapat berkata, hanya Elohim Yahweh, Allah yang Esa, dan Tuhan Yesus Kristus satu-satunya Tuhan bagi kita, namun berapa persen kita memercayai Tuhan? Sementara standarnya harus segenap hati, jiwa, akal budi, dan kekuatan. Berapa persen kita mengasihi Dia? Pada umumnya kita—walau tidak semua—akan menjawab “100%.” Tidak ada kehidupan di luar Tuhan yang Esa, Elohim Yahweh. Tidak ada perlindungan, penjagaan, selain Elohim Yahweh, Allah dan Bapa Tuhan kita, Yesus Kristus. Tidak ada yang setia dan membahagiakan kita selain Dia. Bukan hanya selama di bumi, tetapi di kekekalan. Percayalah bahwa Dialah yang Empunya segala kuasa, kerajaan, dan kemuliaan.
Kalau kita percaya kepada-Nya 100%, kita akan berani mengucapkan janji kita. Kita akan berani membuat perjanjian; apa pun syaratnya. Kita seperti menandatangani satu cek blanko kosong, dan kita mempersilakan Tuhan untuk mengisi angka berapa pun; kita tidak membatasinya. Kalau kita benar-benar mencintai Dia dan memercayai Dia, kita tidak akan ragu-ragu membuat perjanjian dan tanpa mempertanyakan syaratnya. “Apa pun syaratnya, Tuhan. Tetapi yang penting, aku dapat memiliki Engkau dan Engkau memiliki aku.”
Kalau kita takut, berarti kita belum berani memercayai Dia. Kita adalah manusia yang juga punya pertimbangan, punya mind control yang juga telah rusak dan sesat oleh pengaruh dunia. Tetapi lewat perjalanan waktu, seiring dengan pertumbuhan kedewasaan atau pendewasaan rohani melalui kebenaran firman, kita beranikan diri membuat perjanjian. Tuhan pasti menunjukkan harganya secara bertahap, seiring dengan perubahan karakter kita dan ditanggalkannya kodrat dosa secara bertahap dalam hidup kita. Tetapi yang penting keberanian untuk percaya.
Coba kita ingat kembali kisah Rut. Ketika Rut dan Orpa, dua wanita menantu Naomi, mengikuti Naomi yang akan kembali ke Betlehem, Naomi meminta mereka untuk pulang ke rumah orang tua masing-masing; agar mereka dapat menikah kembali. Namun Rut menjawab: “Janganlah desak aku meninggalkan engkau, dan pulang dengan tidak mengikut engkau. Sebab ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi. Dan di mana engkau bermalam, di situlah juga aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku. Di mana engkau mati, aku pun mati di sana, dan di sana aku dikuburkan. Beginilah kiranya Tuhan menghukum aku, bahkan lebih lagi daripada itu, jikalau sesuatu apa pun memisahkan aku dari engkau, selain daripada maut.”
Rut memilih ikut Naomi sekalipun tanpa jaminan. Rut memiliki kesetiaan yang tidak bersyarat. Tetapi kita tahu kemudian, Rut wanita kafir ini, menjadi nenek moyang Mesias. Kalau Rut berani memercayai Naomi hanya karena cinta kasihnya, mengapa kita kurang berani memercayai Elohim Yahweh, Allah kita? Jangan membuka pilihan untuk yang lain. Ingatkah ketika Tuhan Yesus memanggil murid-murid-Nya, “Ikutlah Aku,” satu per satu mereka meninggalkan kehidupan wajar mereka. Matius, Lewi, melepaskan meja cukainya; Yohanes, Petrus melepaskan jalanya; dan yang lain meninggalkan kehidupan wajar mereka. Beranikah kita mengambil keputusan seperti murid-murid ini? Mereka sudah meninggal, tetapi mereka ada di surga sekarang. Mereka tidak pernah menyesali keputusan mereka.
Demikian juga ketika Zakheus berkata bahwa separuh hartanya akan diberikan kepada orang miskin, dan jika ada orang pernah dia pernah peras, dia kembalikan empat kali lipat. Tentu dilakukan bukan karena orang-orang itu, tetapi karena Tuhan Yesus menumpang di rumahnya, dan dia harus ikut Tuhan. Mengapa kita tidak berani membuat perjanjian dengan Tuhan? Kita harus berani. Kita percaya bahwa Dia Allah yang hidup. Satu-satunya Allah yang benar, tidak ada allah selain Elohim Yahweh, Allah Abraham, Ishak, dan Yakub. Tidak ada Tuhan dan Juruselamat di jagat raya ini, selain Yesus dari Nazaret.
Kalau kita benar-benar mencintai Dia dan memercayai Dia,
Kita pasti tidak akan ragu-ragu membuat perjanjian dan tanpa mempertanyakan syaratnya.