Skip to content

Takut dan Mengasihi Secara Proporsional

Seorang hamba Tuhan harus ada di hadirat Allah setiap saat, sehingga pada waktu di mimbar, dia membawa hadirat Allah; membawa kebenaran-kebenaran yang mengalir dari takhta Allah, tertuang dari hati Tuhan. Di dalam persekutuan dengan Allah, Allah memang menghendaki demikian. Maka, manusia itu disebut anak Allah. Adam disebut anak Allah. Mestinya Adam menjadi sosok yang bersekutu dengan Tuhan. Setiap saat ber-fellowship. Fellowship itu bukan hanya pada hari pertemuan bersama yang disebut kebaktian. Fellowship dengan Tuhan itu setiap saat, setiap waktu. 

Pada waktu fellowship, kita memproduksi keinginan, kehendak. Dari hal kecil sampai hal besar yang menyenangkan hati Tuhan. Oleh sebab itu, kalau kita sadar akan hal ini, kita tidak akan mengucapkan kata, satu kata pun yang Allah tidak kehendaki kita ucapkan. Itulah kegagalan kita selama ini. Sampai kemudian beberapa kali Tuhan bicara kepada kita sebagai teguran, “Jangan bicara apa yang Aku tidak ingin kamu bicara.” Tetapi kalau kita tetap mau bicara, bisa. Kita memproduksi pikiran, niat, tekad, keinginan, dan itu bisa terwujud dalam perkataan. 

Maka sebelum mengucapkan sesuatu, kita harus pertimbangkan dulu, “Tuhan menghendaki kita mengucapkan ini, tidak?” Kalau sejak muda kita mempelajari hal ini, luar biasa! Kita akan terbiasa melakukan apa yang patut di hadapan Allah. Jangan bicara apa yang Tuhan tidak kehendaki kita bicara. Sampai pada “Jangan melihat apa yang Tuhan tidak ingin kamu melihat.” Tetapi kalau kita masih mau melihat, Tuhan tidak melarang atau mencegah. Jangan melihat apa yang Tuhan tidak kehendaki kita melihat. Tetapi kalau kita masih mau melihat, maka Tuhan tidak mencegah. 

Seperti ketika Adam dan Hawa memetik buah yang dilarang oleh Allah untuk dipetik, Tuhan tidak mencegah. Betapa sembrononya kita selama ini dengan setiap kata yang kita ucapkan, setiap kalimat, juga setiap hal yang kita upload atau tulis di sosial media. Betapa sembarangan dan sembrononya kita. Tetapi dalam kesabaran Tuhan, Tuhan masih memberi kita kesempatan untuk kemudian sadar terhadap kesalahan. Mestinya, kita sebagai tawanan Roh. Kalau dulu kita hidup dalam tawanan daging, sekarang kita mau hidup dalam tawanan Roh. 

Kita tidak boleh memberi makan kodrat dosa kita; we don’t feed our sinful nature. Kalau kita marah lalu mengucapkan kata-kata makian, itu berarti kita memberi makan; memuaskan kodrat dosa. Hal itu akan membuat kita menjadi addict; kecanduan. Kalau marah, kita merasa mesti melakukannya. Jangan memberi makan kepada kodrat dosa kita. Mestinya kita ikut apa yang Tuhan Yesus katakan di Yohanes 4:34, “Makanan-Ku melakukan kehendak Allah.” Teks aslinya “rezeki-Ku.” Kita beri makan pikiran Allah; kehendak Roh. Di situ kita menyenangkan hati Tuhan. 

Kalau kita percaya Allah itu hidup, Allah itu ada, maka kita akan sanggup menantikan Tuhan. Kita sedang berhadapan dengan Tuhan, maka kita beri kesempatan Tuhan bicara. Bukan hanya kita yang bicara terus, tetapi kita juga harus mendengar Dia berbicara. Ironisnya, itu yang kurang diajarkan di Sekolah Tinggi Teologi. Maka, dilahirkanlah mereka yang sombong-sombong, tetapi tidak mengalami Tuhan. Maka kita yang masih bisa diselamatkan, pahami kebenaran ini dan ikutilah. 

Henokh itu tidak sembarangan hidup. Dia bergaul dengan Allah. Dalam bahasa Ibraninya, halak; berjalan dengan Tuhan. Dia pasti berhati-hati, sangat berhati-hati. Henokh menjaga perilakunya untuk bisa berjalan dengan Tuhan. Bagaimana orang bisa diperkenan masuk Rumah Bapa bersama dengan orang-orang saleh di Ruang Kudus, di mana tidak ada yang najis di situ, sementara hidup hari-hari kita, kita sembarangan dengan apa yang kita ucapkan, pikirkan, renungkan?

Firman Tuhan mengatakan, “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan.” Artinya memang tidak ada yang boleh masuk di dalam hati, pikiran kita, yang tidak membuat kita mengasihi, menghormati Tuhan dan takut akan Dia. Pernahkah kita berpikir bahwa takut kita akan Allah sebenarnya belumlah sepatutnya? Jadi sikap hati kita sebenarnya belum senonoh di hadapan Allah. 

Betapa besar Allah menciptakan universe; jagat raya. Kalau kita melihat pemandangan alam yang indah, lalu melihat angin tornado, melihat badai, tsunami, kita menyadari betapa dahsyatnya Allah kita. Takut kita kepada Tuhan itu belum sepatutnya. Jadi kalau sampai di titik puncak yang kita bisa capai untuk takut akan Allah, mengasihi Dia, menghormati Dia, memperlakukan Allah dengan baik, maka kita bisa menikmati damai dan kenyamanan di hadapan Allah. Kalau kurang menghormati Tuhan, maka kita makin takut. Sampai gemetar dibuang ke neraka, kalau tidak melakukan kehendak Allah. Makin kita takut secara proporsional dalam menghormati dan mengasihi Allah, maka semakin nyaman kita di hadapan Allah. 

Makin kita takut secara proporsional menghormati Allah, mengasihi Dia secara proporsional, maka semakin nyaman kita di hadapan Allah.