Saudaraku,
Kalau kita mengingat kebaikan Tuhan, maka hal itu menyadarkan bahwa kita berutang kehidupan, berutang kebaikan. Bagi orang-orang Kristen yang tidak dewasa (seperti kanak-kanak), mereka tidak merasa berutang. Sebagaimana anak-anak tidak merasa berutang kepada orang tua; yang ada malah sebaliknya, orang tua seperti berutang kepada anak, “Jangan lupa loh Mama, minggu depan saya ulang tahun.” Itu anak-anak. Ironis, banyak gereja di akhir zaman, masih di level itu. Memang mereka memuji kebaikan Tuhan, bersyukur atas berkat-Nya, tapi setelah itu mereka menuntut Tuhan. Sekarang, kalau kita mengingat kebaikan Tuhan, rasanya seperti ada pistol yang ditodongkan di leher kita; “celaka aku, kalau aku tidak menghargai kebaikan Tuhan!” Maka dengan tulus kita nyanyikan,
Dengan apa kubalas kebaikan-Mu, Tuhan
Serta segala kemurahan-Mu
Kini aku serahkan segenap hidupku
Ku mau mengabdi pada-Mu Tuhanku
Sikap seperti ini sering tidak dimengerti orang lain; bukan hanya oleh orang non-Kristen melainkan juga oleh orang Kristen yang tidak dewasa. Mereka mungkin berpikir kita keterlaluan, lebay. Mereka tidak bisa mengerti bahwa kita mau mengakhiri hidup kita dengan menghabiskan apa yang ada pada kita untuk Tuhan. Tentu untuk kebutuhan keluarga yang merupakan tanggung jawab, harus kita penuhi. Tetapi ada perkara-perkara lain di luar urusan keluarga atau urusan pribadi kita yang di situ kita mau memenuhi atau menggenapi rencana Allah. Mereka tidak akan bisa dimengerti. Jadi kalau saya mengatakan “jangan menyisakan untuk dirimu,” artinya kita harus mengklaim semua yang ada pada kita adalah milik Tuhan, dan kita bersedia melepaskannya kapan pun Tuhan mau. Hal ini bukan berarti selalu untuk gereja. Tentu yang pertama untuk orang tua, keluarga besar, masyarakat sekitar, siapa pun. Tergantung Roh Kudus pimpin. Tentu gereja juga.
Saudaraku,
Betapa mengerikan masa depan kekristenan di tengah dunia yang semakin jahat ini. Jadi kalau orang tidak mengerti mengapa kita menggeliat, itu karena mereka tidak tahu kita mau finishing well. Belum lagi kalau kita lihat dari sisi Pendidikan anak. Kalau agama lain, mereka mendidik anak-anak sejak dini, dikungkung dalam pendidikan agama yang kuat. Anak-anak kita, main gadget tiap hari. Coba, jadi apa anak-anak ini kelak? Mereka yang di daerah, tiap hari pergi untuk belajar agama; anak-anak kita seminggu sekali untuk Sekolah Minggu pun belum tentu. Sambil ketawa-ketawa, mereka main gadget, tidak sungguh-sungguh. Mau jadi apa anak-anak seperti itu?
Kita bukan mau cari apa-apa, kita bukan orang yang sudah sempurna atau sudah sempurna, tapi kita serius mau mengakhiri sisa umur hidup kita. Kita berutang kepada Tuhan. Oleh karena itu, kalau seseorang kalau belum bisa memandang hidup dari sudut kekekalan, tidak mungkin bisa hidup benar. Maka, yang pertama, kita harus sempurna seperti Bapa. Kesucian yang sungguh. Yang kedua, kita harus memandang hidup dari perspektif kekekalan. Kalau tidak, tidak bisa benar. Kalau tidak demikian, kita jatuh. Jadi, jaga Kesehatan, kerja keras, belajar rajin, berkompetisi
Apa yang saya sampaikan ini merupakan pesan Tuhan untuk kita semua. Betapa krisis dan kritisnya Indonesia. Kita berdoa agar negeri ini diberkati Tuhan, dan kekristenan tetap bisa memiliki tempat untuk menjalankan kekristenannya dengan baik. Bukan mengkristenkan orang lain, bukan mau berperang dengan agama lain, tapi bisa eksis untuk mempersiapkan diri menjadi anggota keluarga Kerajaan Allah. Karena memang tidak semua terpilih menjadi anggota keluarga Kerajaan.
Teriring salam dan doa,
Pdt. Dr. Erastus Sabdono
Kalau seseorang kalau belum bisa memandang hidup
dari sudut kekekalan, tidak mungkin bisa hidup benar