Skip to content

Suasana Duniawi

“Bapa kami yang di surga, dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu. Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga,” kalimat ini sarat dengan kebenaran, atau banyak makna atau banyak pengertian. Tetapi salah satu pengertian yang tidak bisa disangkali,  bahwa kalimat ini memuat kebenaran dimana kita harus bisa menemukan perhentian di dalam Dia sejak kita hidup di bumi. “Datanglah Kerajaan-Mu,” tidak bisa disangkal bahwa Bapa menghendaki suasana Kerajaan Allah sudah kita nikmati sejak kita masih di bumi, walaupun belum penuh. Dan itulah yang Allah Bapa kehendaki menjadi perhentian atau pelabuhan kita. Ini selaras dengan pernyataan Tuhan Yesus, “datanglah kepada-Ku yang letih lesu dan berbeban berat, Aku beri kamu anapauso; perhentian;” sabaton

Inilah yang harus menjadi pergumulan kita, dimana kita yang adalah umat pilihan, anak-anak Allah, yang sekaligus juga memiliki tubuh yang menjadi bait Allah, menemukan perhentian ini. Menemukan suasana Kerajaan Surga, sebelum kita memasuki surga. Ini selaras pula dengan pernyataan Tuhan Yesus: “damai sejahtera yang Kuberikan kepadamu, tidak sama seperti yang diberikan dunia ini.” Jadi, kita memiliki satu atmosfer kehidupan yang tidak dimiliki oleh orang-orang yang bukan umat pilihan; hanya dimiliki oleh umat pilihan yang sungguh-sungguh menghadirkan Kerajaan Allah. 

Damai sejahtera yang Kuberikan kepadamu, tidak sama seperti yang diberikan dunia ini;” ada atmosfer damai sejahtera, sukacita yang dimiliki orang percaya; yang tidak dimiliki oleh mereka yang bukan umat pilihan. Jadi kalau Tuhan menghendaki agar kita melepaskan segala sesuatu, artinya melepaskan keterikatan kita dengan dunia, tidak terikat, tidak terkungkung, tidak dibelenggu, tidak dikuasai oleh kesenangan-kesenangan yang ditopang oleh perkara-perkara dunia, Tuhan menggantikan dengan suasana yang lain, yaitu damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal. Itu yang dikemukakan oleh Paulus di dalam suratnya. Tuhan bukan membuat hati atau pikiran kita kosong. Kalau Tuhan menghendaki kita melepaskan segala sesuatu; mengikut Yesus, melepaskan diri dari keinginan daging, keinginan mata, dan keangkuhan hidup, maka Tuhan menggantikannya dengan damai sejahtera; menggantikannya dengan suasana baru. 

Transisi atau konversi dari kehidupan yang ditopang oleh fasilitas dunia, suasana sukacita, damai, kesenangan yang ditopang oleh fasilitas dunia ini, beralih kepada suasana Kerajaan Surga, ini bukan sesuatu yang mudah. Sebenarnya di sini juga termuat maksud Tuhan, bahwa kita harus menyangkal diri. Jadi, naluri kemanusiaan kita yang sudah bisa belasan, bahkan puluhan tahun terkungkung oleh suasana dunia, sekarang kita dibawa kepada suasana Kerajaan Surga. Ini tidak mudah. Transisi atau konversi ini, tidak banyak orang yang mengalaminya. 

Jangan berpikir dengan rajin ke gereja, kita otomatis mengalami terobosan ini. Banyak orang yang sejak muda aktif dalam kegiatan gereja, ternyata sampai usianya matang pun, belum mengalami terobosan ini. Begitu pula dengan orang-orang yang lulus dari perguruan tinggi keagamaan, belum tentu mengalami terobosan ini. Tentu yang paling dapat kita amati dan paling jujur menjadi eksperimen, adalah diri kita sendiri. Mungkin kita sedari kecil sudah Kristen, aktif dalam kegiatan pelayanan, menjadi teolog, tetapi dalam mengalami terobosan ini pun, perjuangannya tetap tidak mudah. 

Ibrani 4:1, “Sebab itu, baiklah kita waspada, supaya jangan ada seorang di antara kamu yang dianggap ketinggalan, sekalipun janji akan masuk ke dalam perhentian-Nya masih berlaku.” Coba kita pikirkan dan renungkan dengan baik. Ikan yang hidup di air tawar, dimasukkan di air laut, pasti akan mati. Ikan air laut, dimasukkan di air tawar, sama juga akan mati. Ikan tersebut harus berubah dulu, baru bisa hidup di air yang berbeda. Ini menjadi ilustrasi yang sangat tepat. Bagaimana kita yang masih manusia duniawi, yang hidup secara duniawi di dunia yang duniawi ini, lalu dimasukkan ke dalam Kerajaan Surga, dalam suasana Kerajaan Allah di dalam kemuliaan Tuhan? Tidak mungkin bisa. Jadi, kita berubah dulu. 

Sejak di dunia ini, kita harus sudah memiliki kodrat yang berubah. Jadi kalau selama ini kita bicara mengenai kodrat yang selalu terkait dengan perilaku dan terkait dengan perbuatan, tetapi sekarang kita bicara mengenai kodrat yang terkait dengan suasana hati dan perasaan. Kalau seseorang masih dalam suasana duniawi, jiwanya duniawi dan menikmati kesenangan di lingkungan dunia, tidak mungkin waktu dia meninggal, dengan suasana jiwa seperti ini, lalu masuk ke dalam Kerajaan Surga. Rendah dan miskin sekali surga itu. Tidak mungkin begitu. 

Jadi, kita harus mengalami perubahan kodrat dulu. Di dalamnya, ada perubahan selera  jiwa, dimana sukacita kita bukan lagi sukacita yang ditopang oleh perkara-perkara duniawi, seperti pernyataan Tuhan Yesus di Yohanes 14:27, “damai sejahtera yang Kuberikan kepadamu, tidak sama seperti yang diberikan dunia.” Jadi, kita mengalami perubahan dulu. Sebelum kita menginjakkan kaki kita di surga, kita sudah menemukan perhentian sejak di bumi ini. Dengan kalimat dalam Doa Bapa Kami, “datanglah Kerajaan-Mu,” kita sudah menghadirkan Kerajaan Surga di dalam hidup kita. 

Kalau seseorang masih dalam suasana duniawi, tidak mungkin waktu dia meninggal masuk ke dalam Kerajaan Surga.