Kalau keadaan kita hari ini seperti terpuruk, sebenarnya kita bukan sedang berada di bawah. Kita harus melihat dari perspektif atau kacamata iman. Dulu kita memiliki rumah besar, tetapi sekarang rumah kita kecil. Apakah berarti kita sedang terpuruk? Tidak. Justru ketika rumah kita kecil, kita menjadi rendah hati, kita mencari Tuhan. Lebih dahsyat lagi, kita jadi merindukan langit baru bumi baru. Kita jadi punya kualitas yang lebih baik. Ibarat roda berputar dalam kehidupan, kita bukan sedang berada di bawah. Memang kalau dilihat dari kacamata umum, bisa dikatakan demikian. Tetapi dalam kekristenan, itu tidak tepat. “Hidup itu seperti roda yang berputar,” mungkin secara ekonomi, bisa. Dulu kaya, sekarang jadi miskin, nanti kaya lagi, bisa. Jangan melihat hidup dari sudut pandang yang salah. Kita harus selalu memandang hidup dari sudut pandang kekekalan.
Jangan membandingkan keadaan kita dengan keadaan dulu yang kita pandang lebih baik. Waktu punya rumah misalnya 2000 meter, penghasilan per bulan bisa sampai 200 juta. Tetapi, sekarang hanya 20 juta. Waktu itu kita belum dewasa dan juga sedang menuju kegelapan abadi, yaitu api kekal. Tuhan membawa kita ke situasi seperti hari ini, sehingga kita menjadi lebih rendah hati, memperkarakan hidup ini dengan Tuhan, kita mau mendengar firman Tuhan. Kita diarahkan ke langit baru bumi baru. Apakah itu berarti nasib kita malang? Tidak.
Pemberitaan firman seperti ini sering lebih mendarat di hati orang-orang yang menderita. Orang yang gagal, jatuh miskin, di ujung maut, terbuang, terkhianati, dan tidak dihargai oleh sesamanya. Orang-orang yang “patah hati dengan dunia.” Jadi ketika kita makmur secara ekonomi, terhormat, di mata manusia kita beruntung, waktu itu kita menjadi manusia celaka sebenarnya. Kita tidak mengenal kebenaran dan ini berbahaya. Kita tidak mengharapkan dunia lain; langit baru bumi baru. Kekekalan tidak masuk di pikiran kita. Pasti kita tidak bisa mendengar firman Tuhan yang mengarahkan kita ke langit baru bumi baru.
Dengan kondisi yang terpuruk, kita bisa merenungkan hidup. Mestinya, sebisa-bisanya kita tidak feel at home di dunia ini; tidak merasa betah di dunia ini. Kalau kondisi terpuruk membuat kita menyadari arti hidup, bisa dibimbing kepada kebenaran, bisa tertuntun ke langit baru bumi baru, itu baru bagus. Kita mungkin dikhianati pasangan, dikhianati anak, terpuruk masalah ekonomi, jangan kita mengingat kemakmuran yang pernah kita miliki di masa lalu. Karena waktu kondisi ekonomi kita baik, kondisi kesehatan baik, kondisi sosial dengan lingkungan baik, tetapi sebenarnya kita sedang terancam ke dalam api kekal. Sungguh mengerikan!
Dengan kondisi yang kurang baik, kita justru dapat sungguh-sungguh mencari Tuhan, mau bangun pagi berdoa, mendengarkan khotbah, ikut berpuasa, dan digiring ke dalam Kerajaan Terang. Jangan membandingkan diri dengan orang lain. Bersyukurlah dengan keadaan ini, karena kita jadi terbimbing ke dalam Kerajaan Surga. “Allah bekerja dalam segala hal mendatangkan kebaikan bagi orang yang mengasihi Dia.”
Melalui semua itu, sesungguhnya Tuhan sedang membela kita. Jangan merasa tidak dibela Tuhan dengan kondisi yang kita jalani sekarang. Mengapa? Karena justru itulah bentuk pembelaan Tuhan. Orang-orang Kristen abad mula-mula dimasukkan Tuhan kepada aniaya. Penganiayaan itu ternyata merupakan cara Allah untuk menyempurnakan gereja-Nya, memurnikan gereja-Nya atau mendewasakan. Kekristenan masih baru atau baby. Kalau diberi kenyamanan, kekristenan hari ini pasti punah. Tuhan membela kekristenan, membela kebenaran, membela Injil dengan penderitaan. Kalau Tuhan membawa kita kepada situasi-situasi yang pahit, yang pedih, ternyata Tuhan mau kita diselamatkan.
Jadi, “Allah turut bekerja dalam segala hal mendatangkan kebaikan,” itu benar. Tuhan memberikan kita keadaan sulit sebagai bentuk pembelaan. Tuhan dengan sabar-Nya menuntun kita di jalan-jalan yang terjal. Tetapi, di situ Tuhan sebenarnya memberikan atau melakukan pembelaan-Nya untuk kita. Hari ini kita tidak mengerti. Tetapi suatu hari, kita akan tahu betapa baiknya Tuhan. Bagi orang-orang Kristen yang baru, ketika usahanya maju, ketika naik pangkat, ketika keadaan baik, menyanyi “betapa baiknya Engkau, Tuhan.” Tidak salah juga. Tetapi biasanya ini orang-orang Kristen yang belum dewasa, belum matang, yang fokusnya masih apa yang dilihat dan dirasakan hari ini dalam kacamata manusia umum yang dinikmati oleh fisik.
Tetapi kalau orang Kristen yang dewasa, ia akan berkata: “betapa baiknya Tuhan” tidak didasarkan pada berkat-berkat jasmani yang Bapa atau Tuhan berikan. Tetapi didasarkan pada karya Roh Kudus dalam hidupnya yang mengubah dan membuka mata pengertiannya terhadap Kerajaan Surga atau mengenai kebenaran, dan menuntun dirinya kepada kekekalan.
Kalau Tuhan membawa kita kepada situasi-situasi yang pahit, ternyata Tuhan mau kita diselamatkan.