Skip to content

Setia Sampai Akhir

Ada tiga ciri kesetiaan yang diajarkan Alkitab, yaitu: Pertama, dimulai dari perkara-perkara kecil (Luk. 16:10). Seseorang tidak akan setia dalam perkara besar kalau ia tidak setia dalam perkara kecil. Sebenarnya yang dimaksud dengan perkara kecil di sini adalah uang atau harta kita. Kalau seseorang masih materialistis, cinta akan uang atau masih mencintai dunia, maka tidak mungkin ia dapat memiliki kesetiaan kepada Allah dengan benar. Tidak mungkin orang yang masih mencintai dunia dapat menyerahkan nyawanya untuk Tuhan. Oleh sebab itu menjadi hal yang mutlak bahwa orang percaya tidak boleh memiliki ikatan dengan dunia atau ikatan dengan kesenangan-kesenangan dunia, hiburan dan segala hobi yang tidak memuliakan Allah. Orang percaya harus berani menjadikan Tuhan dan Kerajaan Surga sebagai satu-satunya kebahagiaannya.

Kedua, tidak bersyarat. Kesetiaan tidak bersyarat artinya tetap setia kepada Tuhan apa pun yang harus dialami atau dijalani. Kesetiaan tidak bersyarat adalah kesediaan untuk berkorban apa pun demi pekerjaan Tuhan. Orang percaya yang memiliki kesetiaan tidak bersyarat pasti bersedia melakukan apa pun tanpa menuntut upah. Walaupun ia tahu bahwa ia akan memiliki upah, namun upah itu akan diperolehnya nanti di langit baru dan bumi baru; bukan di dunia ini. Hamba Tuhan atau orang Kristen yang memiliki kesetiaan seperti ini akan bersedia melayani tanpa menuntut upah dari manusia.

Jadi, kalau kita setia kepada Tuhan, hal itu bukan sekadar karena kita mau memperoleh upah dari kesetiaan tersebut bagi diri kita. Kesetiaan kita harus berangkat dari hati yang mengasihi Tuhan; tentu dengan kesadaran bahwa Tuhan terlebih dahulu mengasihi kita, bahwa kita berutang kehidupan dan kebaikan kepada Tuhan. Oleh sebab itu, patutlah kita bersikap setia kepada Tuhan sebagai ucapan syukur kita kepada Tuhan serta sebagai usaha untuk membalas kebaikan-Nya.

Ketiga, kesetiaan sampai akhir (Why. 2:10). Kita harus mengerti bahwa bukan hanya awal perjalanan kekristenan yang menentukan, tetapi juga pertengahan—artinya sepanjang jalan hidup ini—dan akhir dari perjalanan hidup kita. Tuhan menghendaki sampai kita menutup mata, kita dijumpai Tuhan setia kepada-Nya. Tanpa kesetiaan percumalah pengiringan kita kepada Tuhan selama bertahun-tahun. Dalam Wahyu 2:10 ditunjukkan kepada kita bahwa sekalipun aniaya dan penderitaan menimpa kita, tetapi kita harus tetap setia kepada Tuhan sampai mati atau sampai akhir

Adapun jenis-jenis kesetiaan adalah: Pertama, kesetiaan sebagai umat kepada Allah. Kesetiaan ini berkaitan dengan ibadah kepada Tuhan. Kalau seseorang menjadi umat Allah, maka ia dituntut untuk setia kepada Allahnya dalam beribadah. Ini berarti orang percaya harus tetap memuji, menyembah dan memuja Allah bukan hanya dalam kebaktian, melainkan harus menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya yang berharga dalam hidup ini (Mzm. 73:25-26). 

Dalam Ulangan 5:7-9—yang merupakan perintah pertama dalam Dasa Titah—Tuhan tidak mengizinkan umat-Nya memiliki allah lain atau datang kepada dewa-dewa. Ini berarti apa pun yang terjadi kita tidak boleh meminta pertolongan kepada sumber lain selain Tuhan atau berhubungan dengan kuasa di luar Tuhan. Kesetiaan inilah yang disebut sebagai kesetiaan beribadah. Kalau seseorang menjadi umat Allah, ia dituntut untuk setia kepada Allahnya dalam beribadah

Kedua, kesetiaan seorang anak kepada Bapa. Kesetiaan di sini adalah kesetiaan yang berkaitan dengan kepatuhan kita secara mutlak dengan penuh hormat seperti yang dilakukan Yesus kepada Bapa-Nya. Seorang Kristen tidak bisa berkata bahwa dirinya setia kepada Tuhan kalau ternyata hidupnya tidak sesuai dengan Firman Tuhan. Kesetiaan di sini merupakan kesetiaan yang berkaitan dengan kepatuhan melakukan segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah. 

Ketidaktaatan kepada Tuhan merupakan pengkhianatan kepada-Nya, sebab ketidaktaatan kepada Firman dan hukum-hukum Tuhan sama artinya dengan persekongkolan dengan Iblis atau kuasa gelap. Sebagai seorang anak di hadapan Allah Bapa, kita harus patuh taat mutlak dengan penuh hormat kepada Bapa surgawi, sama seperti yang dilakukan Tuhan Yesus kepada Bapa-Nya (Flp. 2:5-8; Ibr. 5:7-8). Kepatuhan kita harus dibangun di atas kesadaran bahwa kita adalah anak dan Allah adalah Bapa kita yang harus dipatuhi

Ketiga, kesetiaan seorang mempelai wanita kepada Mempelai Pria. Tuhan menghendaki hubungan yang intim dan benar-benar erat. Keintiman hubungan dengan Tuhan di Alkitab digambarkan sebagai hubungan suami istri (Ef. 5:31-32) dan seperti hubungan mempelai (2Kor. 11:2-3). Dalam hidup ini tidak ada hubungan yang istimewa melebihi hubungan suami istri. Hubungan istimewa ini menjadi lambang hubungan Kristus dan jemaat-Nya. Kalau suami istri menjadi hubungan satu daging, tetapi hubungan kita dengan Tuhan adalah hubungan satu Roh (1Kor. 6:17). Hal ini merupakan anugerah besar, yaitu kalau kita diperkenankan untuk menjadi satu Roh dengan Dia. Ini juga merupakan isi doa Tuhan Yesus agar kita menjadi satu dengan Bapa dan Tuhan Yesus (Yoh. 17:20-23). 

Kesetiaan di sini berkaitan dengan ketertambatan hati kita kepada sesuatu atau seseorang. Berkaitan dengan cinta atau kasih kita kepada sesuatu atau seseorang. Seorang yang setia kepada Tuhan Yesus akan mengasihi Tuhan lebih dari segala perkara. Bila kita mengasihi seseorang atau sesuatu melebihi kasih kita kepada Tuhan, berarti ini adalah sebuah ketidaksetiaan. Tuhan harus menduduki takhta pertama dan utama dalam hati kita, serta satu-satunya

Tuhan menghendaki sampai akhir hidup, kita dijumpai setia, sebab tanpa kesetiaan percumalah pengiringan kita kepada-Nya