Mengapa orang tidak rindu bertemu dengan Tuhan Yesus? Karena tidak seperjuangan dengan Tuhan. Sungguh, tidak seperjuangan dengan Tuhan. Mengapa orang tidak seperjuangan dengan Tuhan? Karena umumnya mereka punya perjuangan sendiri. Kenapa orang punya perjuangan sendiri? Karena dia hanya memikirkan apa yang manusia pikirkan, bukan yang Tuhan pikirkan. Jadi, bukan hanya waktu di gereja, kita memikirkan firman Tuhan—bagi para pendeta, bukan hanya pada waktu di dalam persiapan khotbah—namun setiap saat. Seharusnya, ketika kita keluar dari gereja, kita pun tetap harus memperhitungkan: “Ini pikiran Allah atau bukan? Keputusan ini sesuai dengan Tuhan atau tidak?” Dalam segala hal. Memang tidak mudah bagi kita dan hal itu harus dilatih.
Sepikiran dengan Tuhan, membuat kita seperjuangan dengan Tuhan. Sepikiran dengan Tuhan, membuat kita tidak punya perjuangan sendiri. Kita tidak punya bisnis sendiri. Bukankah kita yang ditebus oleh darah Yesus, mestinya kita dimiliki Tuhan, dan kita hidup untuk Dia yang sudah mati bagi kita? Namun, standar ini sudah dianggap tidak ada. Dia sudah mati untuk kita, artinya kita semua sudah mati. Dan kalau kita hidup, kita hidup untuk Dia yang sudah mati untuk kita. Mestinya begitulah cara kita menjalani hidup ini, tetapi hal ini sudah tidak menjadi standar bagi banyak orang. Bahkan orang yang menjadi pendeta pun, yang mengaku full timer, dia juga bisa punya bisnis sendiri di dalam gereja.
Sekarang, bagaimana kita dapat memurnikan motivasi atau memikirkan apa yang Allah pikirkan? Itulah sebabnya kita ada di tengah-tengah dunia dengan 1001 masalah. Karena masalah-masalah itu adalah media di mana kita harus memilih antara apa yang dipikirkan Allah dan apa yang dipikirkan manusia. Kalau kita hanya di ruangan gelap, meditasi di tengah hutan, maka kita tidak punya persoalan, tidak punya pilihan. Tidak teruji, apakah kita mengikuti pikiran Allah atau pikiran manusia. Dan itu dimulai dari soal kecil yang anak dunia atau orang dunia pun dapat punya etika. Apa yang dipikirkan Allah dan manusia, itu jelas berbeda. Pertimbangan kita harus sesuai dengan pertimbangan Tuhan. Tentu, medianya adalah pengalaman hidup, perjalanan hidup kita setiap hari.
“Setiap orang yang mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya. Memikul salibnya dan mengikut Aku.” Menyangkal diri itu bukan sikap menolak perbuatan melanggar hukum. Menyangkal diri itu sama dengan menanggalkan pikiran manusia. Untuk kemudian, kita harus mengenakan pikiran Allah setiap hari; dari satu pilihan ke pilihan lainnya, dari satu keputusan ke keputusan lainnya. “Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawa, ia akan kehilangan nyawa. Tetapi barangsiapa kehilangan nyawa karena Aku, ia akan memperolehnya.” Nyawa di sini adalah psuke; kesenangan, selera duniawi kita. Hal ini yang harus ditanggalkan. Lalu kita berjuang untuk dapat mengenakan manusia baru, sehingga suatu saat kita bisa berkata, “Hidupku bukan aku lagi, tetapi Kristus.”
Ayat lain mengatakan, “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi kehilangan nyawanya?” Kerajaan Surga adalah tempat di mana kita memiliki dinamika; pikiran dan perasaan kita masih eksis. Kita masih bisa menikmati makan, minum, seni budaya, keindahan alam. Kita punya hidup, punya nyawa. Tetapi kalau di neraka, tidak ada dinamika itu. Di neraka, orang kehilangan nyawa. Orang bisa punya uang, harta, mau pergi ke mana saja, mau beli apa saja, bisa. Namun, kalau suatu hari dia tidak punya dinamika hidup, masuk api kekal, mengerikan. Hari ini mungkin kita tidak bisa pergi ke mana kita mau, tidak pernah melihat yang namanya Eropa atau Amerika, apalagi Alaska, tetapi ketika kita mati, kita melihat kemuliaan Allah dan masuk Kerajaan Surga.
Jangan sombong! Milikilah perasaan beban dan krisis, dan mari kita berlatih terus. Kita harus berjuang terus. Kita berjuang untuk memikirkan apa yang Allah pikirkan, supaya kita jangan kehilangan pengharapan abadi di kekekalan.
Sepikiran dengan Tuhan, membuat kita seperjuangan dengan Tuhan dan tidak punya perjuangan sendiri.