Skip to content

Sengaja dan Sadar

Sering tradisi gereja disamakan dengan kekuatan Alkitab. Padahal, wajah kekristenan telah berubah. Sekarang kita harus datang kepada Pemilik kebenaran, yaitu Bapa. Bapa yang memiliki logos, Bapa yang memiliki firman. Yesuslah manusia pertama yang menjadi bait Allah. Yang karenanya Dia berkata, “Rubuhkan bait Allah ini. Aku bangunkan dalam 3 hari.” Sudah saatnya Allah tidak mendiami gedung, tetapi mendiami tubuh dan Yesuslah manusia pertama yang didiami firman atau logos, atau hikmat Allah. Sehingga Yesus memperagakan kehidupan Bapa-Nya. Itulah sebabnya dalam Alkitab di kitab Wahyu beberapa kali dikatakan, “Yesus saksi setia.”

Saksi siapa? Saksi Bapa. Yesuslah yang memancarkan kemuliaan Allah. Yang Paulus katakan, “Kita melihat kemuliaan Allah dalam wajah Yesus.” Kalau kita kembali ke Alkitab, bahwa kita juga harus menjadi tabernakel Allah, bait Allah. Supaya kita memancarkan wajah Bapa. Yesus berkata, “Seperti Bapa mengutus Aku, Aku mengutus kamu. Seperti Aku menjadi saksi setia Bapa, sekarang Aku naik ke surga, kamu yang masih tinggal di bumi, kamu menjadi saksi Bapa menggantikan Aku. Pancarkan wajah Bapa.” Itu baru satu dari kebenaran yang Tuhan akan singkapkan. 

Kita telah mewarisi liturgi dari bermacam-macam gereja yang berubah wajah di setiap masa. Kita mau kembali ke Alkitab. Lagu-lagu kita harus sesuai dengan nafas Alkitab, harus sesuai dengan suara Alkitab. Kalau bagi umat Perjanjian Baru, harus merindukan Kerajaan Surga, harus tidak betah lagi hidup di bumi. Kita membela pekerjaan Tuhan dengan darah dan nyawa kita. Kita memiliki beban. Kita berdoa agar kita punya hati seperti hati-Nya Tuhan Yesus. Kita mengekspresikan perasaan Bapa di surga. Makanya, kita harus terus mencari wajah Tuhan. Terus menyediakan diri, duduk diam di kaki Tuhan. 

Kalau kita tidak mengosongkan diri, maka kecerdasan Allah tidak mengalir dalam diri kita, karena kita merasa sudah cukup cerdas. Tuhan tidak mengambil kesadaran kita. Kita masih di dalam kesadaran, tetapi di dalam kesadaran itu, kita punya dialog dengan Roh Kudus. Karena Roh Kudus di dalam diri kita, maka kita harus jadi tabernakel-Nya Tuhan. Bagi para pendeta, harus punya stabilitas hidup setiap hari. Suci itu sucinya stabil, emosi jangan sampai dihinggapi oleh kedagingan kita apalagi roh lain. Stabil, supaya di mimbar juga stabil. Roh Kudus yang pimpin kita, supaya ada perjumpaan kita dengan Roh Kudus. 

Jangan sombong. Tanpa kita sadari, kita diam-diam sombong, apalagi kalau ada prestasi masa lalu yang cemerlang. Justru itu yang membuat Roh Kudus jadi padam. Dia tidak punya saluran. Maka, kita harus banyak duduk diam di kaki Tuhan, supaya menyadari betapa besar hikmat Allah dan betapa tidak berartinya kita. Kita harus sadar bahwa kita ini bodoh. Kita mau belok kanan-belok kiri, Iblis bisa tahu. Dia tahu jurus kita, tetapi kalau Roh Kudus yang pimpin kita, Iblis tidak bisa baca, dia tidak bisa kalahkan kita. Makanya kita harus dikuasai Roh Kudus supaya hikmat Allah mengalir. Tergantung seberapa kita dikuasai oleh Firman, oleh Logos, oleh Allah itu. 

Allah memberi kita kebebasan untuk mengelola dan mengarahkan hati kita; apakah kita mau mencintai Tuhan atau tidak, dan kalau kita mencintai Tuhan, seberapa besar bara cinta kita kepada Tuhan, tergantung kita. Seberapa serius kita dengan Tuhan, tergantung seberapa dalam kita memerlukan Dia. Bagaimana kita bisa merasa memerlukan Dia sehingga kita bisa serius? Tergantung seberapa kita mencintai-Nya. Kalau orang sudah cinta, orang tidak melihat dia kaya atau miskin; atau penampilannya. Lalu, mengapa kita tidak mempersembahkan hati kita seluruhnya untuk Tuhan? Kita tidak bisa dikuasai Allah sepenuhnya kalau hati kita mendua.

Kita berurusan dengan Tuhan bukan karena berkat-Nya, bukan karena melirik dompet kuasa-Nya, melainkan karena Tuhan sendiri. Orang yang memandang Allah seakan-akan mati, Allah mati bagi orang itu. Namun, orang yang memandang Allah hidup, Allah hidup baginya. Kita mau ke mana? Hanya kematian yang menunggu kita. Kita bisa mengobarkan cinta kita kepada Tuhan, selagi masih ada kesempatan. Kalau jantung berhenti berdetak, nadi berhenti berdenyut, tidak ada lagi nafas di dalam dada, kita tidak akan bisa lagi menjumpai Dia. Dia sangat mengingini keselamatan kekal kita. Bukan hanya kehadiran kita di gereja, tetapi hati ini yang kita berikan hanya kepada-Nya, supaya kita bisa memiliki Dia. Namun, kita tidak bisa memiliki Dia kalau Dia tidak bisa memiliki hati kita. Kita harus sengaja dan sadar menyerahkan hati kita untuk Tuhan. Jangan sombong. 

Kita tidak bisa memiliki Dia kalau Dia tidak bisa memiliki hati kita. Maka, kita harus sengaja dan sadar menyerahkan hati kita untuk Tuhan.