Ketika kita menghadapi masalah yang rumit, berat, dan sulit, yang kita tidak tahu bagaimana menyelesaikannya sehingga berlarut-larut panjang, berbulan-bulan, bahkan bisa bertahun-tahun, kita belajar berharap kepada Tuhan untuk melihat campur tangan-Nya. Jangan mendesain di dalam fantasi kita, bagaimana keadaan nanti. “Aku mau jadi begini, jadi begitu” lalu minta kepada Tuhan. Tidak salah juga, kalau kita belum dewasa. Tetapi kalau kita dewasa, berkatalah kepada Tuhan, “Jadilah kehendak-Mu, Bapa, bukan kehendakku.”
Percayalah, Tuhan itu Mahakuasa, Mahabaik, dan Mahamurah. Tuhan tidak pernah mengupayakan kejahatan kepada kita. Apa pun yang terjadi, dikontrol, dikendalikan Tuhan.Di balik setiap kejadian, ada maksud dan rencana Allah yang dahsyat. Percayalah bahwa apa yang dilakukan Tuhan itu baik adanya. Kita tidak boleh marah atau bersungut-sungut. Ini masalah yang dihadapi banyak orang ketika mengalami masalah berat yang berkepanjangan, apalagi berlarut-larut. Orang mulai mencari kambing hitam, siapa yang bisa disalahkan.
Kalau bisa menyalahkan orang, hatinya puas. Bisa marah, maki-maki, mengumpat orang, hatinya puas. Padahal, keadaan tetap tidak berubah, tetap sulit. Mengapa kita harus marah dan bersungut-sungut? Tuhan Yesus di taman Getsemani berdoa, “Jika boleh, cawan ini lalu daripada-Ku.” Dia berdoa agar bisa dihindarkan dari penderitaan. Ini saat-saat kritis. Kalau sampai doa itu dikabulkan oleh Allah Bapa, maka tidak ada orang yang selamat. Semua manusia binasa. Mengerikan sekali. Tetapi puji Tuhan, Yesus mengakhiri doa-Nya dengan kalimat: “bukan kehendak-Ku yang jadi, Bapa. Kehendak-Mulah,” yang berarti “Aku bersedia harus mengalami keadaan sulit, Aku terima semua keadaan ini.” Bapa tetap membawa Yesus ke via Dolorosa, sampai ujungnya Golgota.
Di kayu salib, Yesus berkata: “Eli, Eli, lama sabakhtani? Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Perhatikan penderitaan yang dialami oleh Tuhan Yesus. Dia benar-benar mengalami ditinggalkan oleh Allah Bapa. Bapa yang selama ini menyertai Dia, sekarang terasa meninggalkan diri-Nya. Tetapi ingat, betapa hebat Pribadi Tuhan Yesus. Dia berkata, “bukan kehendak-Ku yang jadi, Bapa. Kehendak-Mulah.” Allah Bapa memeteraikan, maka salib terwujud. Keselamatan disediakan atau keselamatan diadakan.
Ini pelajaran mahal untuk kita. Yesus itu teladan kita. Tidak ada teladan lain selain Yesus. Dalam keadaan yang begitu terjepit, Dia tetap menyerahkan semua dalam tangan Bapa, dan tetap berkata: “bukan kehendak-Ku yang jadi, Bapa, kehendak-Mulah.” Dahsyat, luar biasa. Dia terima apa pun yang Tuhan mau kerjakan dalam hidup-Nya. Bahkan ketika dalam situasi atau posisi di mana Dia merasa ditinggalkan oleh Allah Bapa, Dia berkata, “dalam tangan-Mu, Kuserahkan nyawa-Ku, ya Bapa.” Luar biasa, bukan? Itulah teladan kita, “ke dalam tangan-Mu, Bapa, kuserahkan hidupku.”
Mungkin ada di antara kita yang mulai mencurigai Tuhan. Mungkin kita tidak marah secara langsung kepada Tuhan, tetapi ketika kita menyalahkan lingkungan, keadaan, mencari kambing hitam yang bisa kita persalahkan, kita sebenarnya sedang mencurigai Tuhan. Semua di dalam kontrol Tuhan, tidak mungkin ada kejadian yang terjadi di luar kendali Tuhan. Jadi kalau hal itu terjadi dalam hidup kita, memang Allah menghendakinya. Belajarlah memercayai Allah yang hidup. Percaya kepada Tuhan, yang pertama bukan percaya kuasa-Nya atau yakin kuasa Tuhan tidak berubah, yakin Allah itu berkuasa. Tetapi percaya juga akan kebaikan Tuhan.
Kita percaya akan kuasa Allah, tetapi juga percaya akan Pribadi-Nya, bahwa Allah itu baik. Masalahnya sekarang adalah baik menurut siapa, dan baik yang bagaimana? Itu problem-nya, itu masalahnya. Semua orang bisa berkata: “Allah itu baik” tetapi baik menurut versi siapa? Baik yang bagaimana? Kalau orang Kristen duniawi, memandang Allah itu baik kalau membuat mereka sukses dalam bisnis, kalau mereka itu memiliki usaha yang maju, kalau mereka memiliki tubuh sehat, semua running well; semua berjalan baik, berjalan lancar, baru mereka dapat berkata: “Allah baik, sungguh baik.” Lalu, apakah kebaikan Allah hanya diukur demikian? Itu bodoh, tidak bijaksana, tidak berhikmat, dan tidak mengenal kebenaran.
“Baik” yang dimaksud haruslah baik menurut Tuhan. Ini sama dengan banyak orang mengerti apa artinya “Injil” yaitu kabar baik. Kita semua tahu Injil artinya Kabar Baik. Tetapi kabar baik untuk siapa? Kabar baik yang bagaimana? Inilah yang penting dari hal ini. Sudah terjadi banyak kesesatan atau penyimpangan dalam hidup banyak orang Kristen karena mereka memandang “baik” dari perspektif, dari sudut pandang manusia, dari sudut pandang pemenuhan kebutuhan jasmani, dipandang dari perkara duniawi. Itu salah. Kebaikan Tuhan harus dipandang dari sudut Tuhan; dari perspektif Tuhan. Tuhan menghendaki tidak seorang pun binasa. Maksudnya, Tuhan menghendaki kita dewasa, sempurna, dan serupa dengan Yesus; menjadi manusia baru.
Semua di dalam kontrol Tuhan, maka tidak mungkin ada kejadian yang terjadi di luar kendali Tuhan.