Orang yang tidak memahami pertanggungan jawab dan tidak memahami adanya pengadilan Tuhan adalah orang yang sembarangan hidup. Mereka berpikir hidup ini gratis. Kita, orang percaya, dipanggil untuk mengenal Juruselamat yang benar, mengenal Allah satu-satunya yang benar yaitu Yahweh Elohim atau Allah Yahweh. Kita mendapat tuntutan yang lebih tinggi dari siapa pun, sebab kepada kita Tuhan berkata, “Kamu harus sempurna seperti Bapa.” Maka, kita harus memiliki pikiran dan perasaan Kristus. Nanti di pengadilan-Nya, Bapa akan mengukur kita dengan ukuran ini, apakah kita sudah menjadi serupa dengan Putra-Nya atau belum. Bukan sekadar baik; sudah menolong orang, tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berzina, melainkan harus sempurna. Maka terus terang, ini genting. Kita tidak tahu kapan waktu kita selesai. Di pengadilan itu, kita harus memberi pertanggungan jawab, padahal kita tidak pernah tahu kapan kita mati. Seorang bayi yang baru lahir pun, sejatinya sudah mendapat eksekusi hukuman mati. Kapan pelaksanaan eksekusinya? Tidak tahu. Maka, ada bayi umur 8 hari meninggal, ada yang 3 bulan, ada anak umur 6 tahun meninggal, ada yang sampai usia 30, dan sebagainya.
Kita telah menghabiskan tahun-tahun umur hidup kita dengan hidup suka-suka kita sendiri. Berapa banyak waktu yang sudah kita berikan kepada-Nya? Jangan kaget jika nanti Tuhan berkata, “Berapa banyak kesempatan yang kamu peroleh? Mengapa begini saja modelnya?” Apalagi kalau kita tidak serupa dengan Yesus; malah serupa dengan dunia. Padahal yang Allah kehendaki adalah perubahan; agar kita serupa dengan Tuhan, bukan serupa dengan dunia. “Berubahlah oleh pembaruan budimu, supaya kamu tidak serupa dengan dunia.” Maka, kita belajar. Jangan memperhitungkan apa kata orang. Lebih baik kita jadi hewan yang hidup tanpa pertanggungan jawab daripada jadi manusia tapi hidup suka-suka sendiri. Manusia lain hidup suka-suka sendiri, tapi kalau kita, suka-suka Tuhan. Jangan anggap sepele hal ini. Inilah inti Kristen yang sebenarnya. Bukan sekadar ke gereja, nyanyi, liturgi. Itu agamani. Sedangkan, kekristenan itu jalan hidup; jalan-Nya Allah, pikiran perasaan Allah.
Hukum kita adalah Tuhan sendiri. Kalau hukum kita Tuhan sendiri, kita harus punya pikiran dan perasaan-Nya supaya kita bisa berbuat segala sesuatu selalu sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah. Inilah perubahan yang terus kita lakukan secara teknis. Dari soal menjaga mulut, pikiran, mata, dan perilaku, sampai kodrat kita diubahkan. Itu pekerjaan Roh Kudus yang luar biasa. Makanya, orang tidak boleh terikat dunia lagi. Namun jangan kita berpikir kalau tidak terikat dunia, lalu jadi miskin. Kita harus hidup bertanggung jawab dalam mencari nafkah. Tuhan tidak akan pernah meninggalkan kita. Hanya satu yang kita perlukan, yaitu Tuhan. Apakah ini artinya kita tidak boleh menikah? Kalaupun kita menikah, itu karena Tuhan menghendaki kita menikah. Kalaupun cari uang—tentu memang mesti mencari uang—itu semua kita lakukan karena Tuhan. Kalaupun memiliki dan segala fasilitas, itu juga karena Tuhan.
Jangan sampai kita kehilangan kesempatan. Mengerikan. Kita sudah terkontaminasi, terpapar cara berpikir dan prinsip-prinsip hidup yang salah, yang kalimatnya adalah “hidup ini gratis.” Dia tidak sadar siapa yang menciptakan dia. Dia tidak tahu untuk apa dia diciptakan. Makanya kita belajar apa alasan kita hidup. Kehidupan ini adalah milik Tuhan, bukan milik kita. Tapi Tuhan memercayakan kehidupan itu kepada kita. Di dalam kehidupan yang Tuhan percayakan, ada hak dan kewajiban. Hak itu anugerah, tapi kewajiban juga anugerah, kita jalani. Jadi Tuhan memberikan kehidupan kepada kita untuk kita jalani, tentu di dalam tatanan. Makanya kita belajar Alkitab. Bagi umat Perjanjian Baru, Alkitab itu tidak mengajari hukum “dilarang begini, dilarang begitu; boleh begini, boleh begitu; ini halal, ini haram,” tidak. Yang diajarkan adalah pengertian-pengertian. Makanya orang tidak bisa mendengar khotbah hanya sekali.
Kita ini bukan siapa-siapa. Coba kita pikir, jika Tuhan tidak menciptakan kita, mau jadi apa? Batu pun tidak. Kalau bukan Tuhan yang mengadakan kita, kita tidak akan jadi apa-apa. Kita bersyukur, Tuhan memberi kehidupan. Ini milik-Nya; bukan milik kita. Jangan sombong! Setelah kita terhormat, berpendidikan tinggi, punya jabatan, kita lupa who am I. Mari kita bertobat. Supaya kalau nanti kita mati, kita bisa berdiri di hadapan Allah Bapa karena kita sudah mengakui bahwa kita bukan siapa-siapa. Dan kalau memang kita harus ada, kita juga harus melihat apa yang menjadi tanggung jawab kita. Hak kita, pasti Tuhan berikan. Tapi bagaimana tanggung jawab kita, harus kita penuhi supaya kita bisa menyukakan hati-Nya.
Orang yang tidak memahami pertanggungan jawab dan tidak memahami adanya pengadilan Tuhan adalah orang yang sembarangan hidup.