Kalimat “selagi masih ada kesempatan” bisa memiliki pengertian yang berbeda dari dua kelompok besar manusia yang memiliki perbedaan prinsip hidup atau filosofi hidup. Sudut pandang pertama, “selagi masih ada kesempatan” berarti kesempatan untuk menikmati kehidupan di bumi ini semaksimal mungkin. Dan itu fakta yang tidak bisa dibantah. Pada umumnya atau hampir semua manusia berfilosofi atau berprinsip hidup ini. Sedangkan sudut pandang kedua, ini langka. “Selagi masih ada kesempatan” artinya kesempatan untuk sepenuhnya mengabdi dan melayani Tuhan, mempersembahkan hidup bagi Tuhan. Namun, hampir semua manusia memiliki cara pandang yang salah.
“Selagi masih ada kesempatan” dalam sudut pandang pertama, disinggung oleh Paulus dalam 1 Korintus 15:32, “Kalau hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan manusia saja, aku telah berjuang melawan binatang buas di Efesus. Apakah gunanya hal itu bagiku? Jika orang mati tidak dibangkitkan, maka marilah kita makan dan minum sebab besok kita mati.” Ini filosofi hidup hampir semua manusia. Jika berdasarkan perilaku, cara hidup, gaya hidup manusia pada umumnya atau manusia kebanyakan, Paulus juga dapat menggunakan kesempatan untuk kesenangan-kesenangan hidup seperti kebanyakan manusia pada umumnya. Jadi, jangan kita berpikir Paulus tidak memiliki kesempatan. Ia ada di dalam ladang pelayanan pekerjaan Tuhan, tetapi kesempatan itu ada.
Jangan berpikir kalau orang sudah memberi diri menjadi full timer; sepenuh waktu untuk pekerjaan Tuhan, masuk Sekolah Tinggi Teologi, memasuki pendidikan seminari Alkitab, menjadi pendeta, lalu kesempatan untuk menikmati kesenangan hidup seperti kebanyakan manusia lain tertutup. Tidak. Rasanya kalau sudah “membuang diri” ke ladang Tuhan berarti jauh dari dunia. Itu pikiran yang keliru. Sebab walaupun seseorang ada di ladang Tuhan, memberikan hidup sepenuh waktu, istilah yang kita sering dengar “full timer,” itu bukan berarti menikmati kesenangan hidup seperti yang dinikmati manusia pada umumnya tertutup.
Dalam pernyataan Paulus tadi hendak ditunjukkan bahwa ia juga memiliki kesempatan atau bisa menggunakan kesempatan untuk menikmati kehidupan seperti manusia pada umumnya. “Jika oleh pertimbangan-pertimbangan manusia. Jika hanya oleh pertimbangan-pertimbangan manusia.” Ei kata anthropon. Tetapi Paulus memilih yang lain, yang berbeda. Itulah sebabnya di Filipi 1:21 Paulus mengatakan, “Bagiku hidup adalah Kristus.” Selanjutnya di 2 Korintus 5:14-15, “Kalau Yesus sudah mati untuk kita semua, kita tidak lagi hidup untuk diri sendiri, tetapi untuk Dia.” 2 Timotius 4:7-8, Paulus sudah menyelesaikan pertandingan akhir. Darahnya pun ditumpahkan, rela dicurahkan untuk pengabdian pelayanannya bagi Tuhan.
Ini adalah kehidupan standar sebagai pengikut Kristus atau sebagai orang percaya. Standarnya memang begitu. Oleh karenanya, Paulus bisa mengatakan, “Ikutilah teladanku seperti aku ikut teladan Kristus.” Semua kita adalah orang-orang yang telah diwarnai. Tentu yang pertama oleh orang tua kita, lingkungan keluarga, plus gen yang kita terima dari orang tua. Juga diwarnai oleh pengaruh dunia sekitar kita; filosofi-filosofi, prinsip-prinsip hidup. Dan di kalangan orang Kristen, prinsip hidup yang kita warisi itu kebanyakan begini: menikmati dunia selagi masih hidup—walaupun tidak diucapkan—dan nanti setelah mati menikmati surga. Bedanya, kita plus ada pelayanan.
Prinsip ini seolah-olah benar, padahal sejatinya, ini menyesatkan. Maka sering kita mendengar orang berkata, “Kita masih hidup di dunia. Jangan bicara surga, langit baru bumi baru terus. Yang realistis, lah.” Padahal justru selama masih hidup di dunia, harusnya kesempatan hidup ini digunakan untuk berurusan dengan Allah secara benar. Selagi masih ada kesempatan. Bukan nanti setelah mati, baru menikmati surga. Ini orang-orang licik dan munafik. Sebab kalau kita masih memberi peluang yang berharap ada kesenangan hidup di bumi, itu berarti kita belum mengabdi dan melayani Tuhan dengan benar. Ini bukan hanya untuk pendeta, melainkan semua kita harus 100% hidup untuk Tuhan. Karena semua kita imamat-imamat yang Rajani.
Justru ketika ada banyak godaan untuk menyimpang dari jalan Tuhan, ketika ada banyak kesempatan menikmati dunia, tetapi kita tetap memilih Tuhan dan Kerajaan-Nya. Orang yang sekarang tidak memilih Tuhan dan Kerajaan-Nya 100%, berarti ia tidak memilih Tuhan dan Kerajaan-Nya selamanya. Memang orang tidak ingin masuk neraka. Kalau disuruh memilih, ya memilih surga, nanti. Tetapi sekarang belum memilih. Atau sekarang sudah memilih surga, tetapi memilihnya di pikiran, di pengetahuan, di mulut. Tetapi bukan dalam perilaku yang 100% diabdikan ke Tuhan. Maka, sebelum kita ditelan oleh dunia, kita memberi diri ditelan oleh Tuhan. Sekarang ini adalah kesempatan untuk menunjukkan dan membuktikan bahwa kita mengasihi Allah dan memilih Dia sebagai satu-satunya pilihan.
Selagi masih ada kesempatan—yaitu sekarang—adalah waktu untuk menunjukkan dan membuktikan bahwa kita mengasihi Allah dan memilih Dia sebagai satu-satunya pilihan.