Harta adalah segala sesuatu yang dipandang memiliki nilai yang dapat membuat seseorang merasa bahagia, merasa lengkap, utuh, aman, terjamin, dan terhormat. Harta dapat menjadi dewa, dan memang harta itulah ilah atau dewa yang dapat menjadi tuan atau majikan bagi seseorang. Sesuatu atau seseorang yang membuat diri bahagia, merasa lengkap atau utuh, terjamin atau aman dan terhormat, dialah ilah atau majikan atau tuan. Jadi kalau Allah menjadi harta kita, berarti mestinya dengan memiliki Allah, kita sudah merasa hidup kita benar-benar bahagia, merasa lengkap, utuh, terjamin atau aman, dan terhormat. Kalau seseorang belum merasa bahagia, lengkap, utuh, terjamin dan aman, dan belum merasa terhormat walaupun dia mengaku percaya kepada Allah, berarti dia belum memiliki Allah. Tentunya juga belum dimiliki Allah. Orang seperti ini belum bisa dikatakan memiliki percaya yang benar. Sebab, hanya orang yang dimiliki Allah yang dapat memiliki Allah.
Yakobus 2:19-23 mengatakan, “Engkau percaya bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik. Tetapi setan-setan pun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar. Hai, manusia yang bebal. Maukah engkau mengakui sekarang bahwa iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong? Bukankah Abraham, bapa kita, dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya, ketika ia mempersembahkan Ishak, anaknya, di atas mezbah? Kamu lihat bahwa iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan. Dan oleh perbuatan-perbuatan iman itu menjadi sempurna. Dengan jalan demikian, genaplah nats yang mengatakan: lalu percayalah Abraham kepada Allah, maka Allah memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran. Karena itu, Abraham disebut sahabat Allah.” Salah satu kebenaran penting yang termuat di dalam perikop ini adalah bahwa percaya itu bukan hanya menyangkut aktivitas pikiran atau logika yang berbentuk keyakinan. iman atau percaya yang benar adalah sikap-sikap yang melahirkan perbuatan konkret. Jadi, iman yang benar pasti memiliki sikap, dan sikapnya melahirkan perbuatan yang konkret.
Bahwa roh-roh jahat pun percaya kepada Allah yang benar, bahkan gemetar, artinya mereka memiliki pengetahuan mengenai Allah atau pengalaman mengenai Allah yang membuat dirinya gemetar, namun “roh-roh jahat” ini tidak memiliki hubungan yang benar dengan Allah. Mereka tahu dan memiliki pengetahuan tentang Allah, serta gemetar. Orang bisa memiliki keyakinan bahwa ada Allah yang Esa, tetapi bukan berarti orang itu sudah disebut sebagai orang beriman atau percaya. Ironisnya, banyak orang mudah memberi pengertian “beriman.” Pokoknya kalau orang sudah melakukan kegiatan agama, berarti sudah beriman. Alkitab tidak mengajarkan begitu. Sebab, keberimanan orang percaya sangatlah tergantung dari hubungan dengan Allah. Hubungan yang ideal adalah hubungan yang harus dipenuhi antara umat yang percaya, dan Allah yang menjadi objek percayanya. Seseorang dikatakan beriman, kalau memiliki hubungan dengan Allah secara ideal. Hubungan ideal yang harus dipenuhi antara umat yang percaya dengan Allah yang dipercaya itu harus menurut standar Allah, bukan menurut standar kita. Hubungan ideal yang harus dipenuhi agar seseorang bisa dikatakan beriman adalah kesediaan untuk melakukan apa yang Allah kehendaki. Ini harus digoreskan di dalam jiwa kita, bahwa hubungan ideal yang harus dipenuhi antara umat dan Allah, sesuai dengan standar Allah, adalah kesediaan seseorang melakukan apa yang Allah kehendaki.
Jadi kalau di dalam Ibrani 12:1-2 ada kalimat “Yesus yang membawa iman kamu kepada kesempurnaan,” artinya Yesus yang akan mengajar kita memiliki ketaatan seperti ketaatan Dia. Jadi, yang diajarkan bukan keyakinan di dalam pikiran semata-mata, melainkan kehidupan yang menaati Bapa seperti yang Yesus lakukan; taat sampai mati, bahkan mati di kayu salib. Itulah iman. Abraham disebut sebagai sahabat Allah. Apa yang dilakukan Abraham? Mempersembahkan anaknya, Ishak. Karena sikapnya melahirkan perbuatan sesuai yang Allah ingini, maka ia disebut sebagai bapa orang percaya.
Jangan kompromi. kita sudah melewati tahun-tahun dimana kita kompromi dan sebenarnya tidak sungguh-sungguh mengikut jejak Junjungan kita yang kita muliakan, Tuhan Yesus. Kalau Tuhan masih memberi kita kesempatan, jangan kita menyia-nyiakan kesempatan ini. Kalau kita mau memiliki hubungan yang ideal dengan Allah agar kita dapat dimiliki oleh Allah dan memiliki Allah, kita harus selalu memperkarakan apa yang Allah kehendaki untuk kita lakukan.
Dalam kehidupan kita masing-masing, kita harus menemukan secara konkret apa yang harus kita lakukan. Banyak orang tidak memperkarakannya. Sebaliknya, mereka menuntut Allah melakukan apa yang mereka ingini. Kalau kita memiliki Allah, itu bukan berarti kita mau menguasai Allah atau mengatur Allah. Mekanismenya, kalau kita memiliki Allah, berarti kita menempatkan diri sebagai umat yang tunduk kepada Allah yang disembah. Kalau tidak tunduk kepada Allah, kita tidak bisa dimiliki oleh Allah. Dimiliki siapa? Ya, dimiliki sesuatu yang kepadanya seseorang tunduk. Jadi, memiliki dan dimiliki Allah berarti hidup dalam ketertundukan total.
Memiliki dan dimiliki Allah berarti hidup dalam ketertundukan total.