Skip to content

Rindu Berjumpa dengan Tuhan

Jangan merasa sejahtera sebelum kita benar-benar menemukan Tuhan. Standar yang sangat rendah yang dikenakan oleh banyak orang Kristen hari ini telah membuat kita merasa damai semu dan tenang semu. Seakan-akan dengan kehidupan Kristen yang sudah dijalani dengan ke gereja setiap Minggu atau di pertengahan minggu, kita sudah menyerap pengenalan akan Allah, yang sebenarnya itu hanya pengalaman liturgi, pengalaman seremonial beragama, tetapi belumlah pengalaman langsung. Mari kita benar-benar fokus ke Tuhan. Hendaknya kita semua belajar ada di hadapan Tuhan atau di hadirat Tuhan di setiap saat dan di mana pun kita berada.

Allah yang Maha Hadir adalah Allah yang melingkupi jagat raya. Allah adalah Allah yang omnipresent. Mestinya kalau Allah omnipresent, maka kita juga bisa, pasti bisa, seharusnya bisa merasakan kehadiran-Nya secara nyata. Tentu itu tergantung respons individu, bukan tergantung Tuhan. Seberapa kita betul-betul merasa membutuhkan Tuhan, betul-betul merasa haus dan lapar akan Dia? “Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau ya, Allah. Jiwaku merindukan Engkau.” Kalau kita merindukan seseorang, kita pasti tidak puas kalau hanya melihat fotonya. Bahkan sekalipun bisa Facetime dengan video call, kita pasti kurang puas. Kita mau bertemu muka dengan muka; face to face. 

Kalau seseorang merindukan Allah, artinya ia benar-benar merindukan perjumpaan. Jangan digantikan dengan belajar pengetahuan tentang Allah di dalam nalar. Lalu dikatakan di dalam Mazmur pasal 42 ini ayat yang berikutnya, “Jiwaku haus kepada Allah. Kepada Allah yang hidup,” Dia bukan Allah orang mati. “Bilakah aku boleh datang melihat Allah? Bilakah aku boleh datang melihat Allah?” Kalau sudah bicara mengenai “melihat Allah,” ini jelas berbicara mengenai perjumpaan dengan Dia. Juga bisa berarti merasakan kehadiran-Nya; presence. “Air mataku menjadi makananku siang dan malam, karena sepanjang hari orang berkata kepadaku: di mana Allahmu?” 

Kita yang rajin ke gereja, ikut doa pagi tiap hari, mungkin tidak secara langsung orang berkata “Apa benar Allah itu ada?” Kita percaya juga Allah ada. Tetapi seberapa kita benar-benar mengalami Dia, dengan datang ke gereja, dengan doa tiap pagi? Seberapa kita telah memiliki pengenalan akan Allah dari perilaku kita yang serius mencari Tuhan? Jangan pedulikan orang-orang yang berkata, “Biasa sajalah. Percaya, ya percaya, Allah itu ada.” Kalau kita mau mengenal Allah secara pengetahuan atau secara kognitif, kita belajar 1 tahun juga sudah bisa jadi pintar, kalau tiap hari belajar, tiap hari membaca buku teologi. Tetapi untuk mengalami Tuhan, itu sepanjang umur hidup kita. 

“Air mataku menjadi makananku siang dan malam, karena sepanjang hari orang berkata kepadaku: di mana Allahmu?” Maka kita berkata, “Tuhan, sebenarnya Engkau di mana?” Karena orang bertanya, “Di mana Allahmu?” Maka kita harus mengalami, kita harus membuktikan Allah ada. “Inilah yang hendak kuingat. Sementara jiwaku gundah gulana, galau karena hal ini. Bagaimana aku berjalan maju dalam kepadatan manusia, mendahului mereka melangkah ke Rumah Allah dengan suara sorak sorai dan nyanyian syukur, dalam keramaian orang-orang yang mengadakan perayaan.” 

“Aku mencari Tuhan dengan rela. Aku mencari Tuhan dengan sukacita, karena ini kebutuhanku.” Mari kita berambisi untuk mengalami Tuhan. Kalau seorang pengkhotbah, tidak bisa tidak, harus mengalami Tuhan. Selanjutnya, dia harus bisa menyuarakan apa yang Tuhan kehendaki untuk disuarakan. Termasuk worship leader, harus ada perjumpaan dengan Allah. Supaya hidupnya dibungkus, dilingkupi kehadiran Allah, sehingga pada waktu menyembah, menyanyi, itu sudah ada dalam lingkup hadirat Allah. Orang bisa menyanyi, tetapi tidak memuji. Orang bisa mengucapkan kata-kata penyembahan, tetapi tidak menyembah. Beda dengan orang yang ada dalam lingkup hadirat Tuhan. 

Jangan boroskan waktu untuk yang lain, pikirkanlah Tuhan siang dan malam. Kalau di dalam Mazmur pasal 1 dikatakan “Orang percaya jangan duduk dalam kumpulan pencemooh,” jangan ter-distract. Orang sekarang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, tetapi dalam kesendirian, membuka gadget. Dia duduk dalam kumpulan pencemooh dengan cara lain. Memang tidak berhimpun secara lahiriah dengan manusia lain, tetapi dia buka gadget untuk lihat sana-sini. Dia ada dalam kumpulan pencemooh, kalau yang dilihat itu tidak pantas. Makanya kalau bisa, kita tidak usah ikut-ikut di media sosial yang keruh. Kecuali kita memang mau meng-upload sesuatu yang memberkati orang lain, atau kita memang mau mendengarkan khotbah. Tidak perlu kita mengotori tangan kita dengan hal-hal yang tidak perlu. Dari cara kita menulis sesuatu di media sosial, tampak martabat kita, tampak kecerdasan rohani kita. Ayo, kita semua ada di hadirat Allah setiap saat. 

Kalau seseorang merindukan Allah, ia benar-benar merindukan perjumpaan dengan-Nya.