Skip to content

Respons yang Memadai

Unsur keempat dalam keselamatan adalah respons individu. Ini penting sekali. Keselamatan dapat dimiliki atau terwujud dalam hidup seseorang, bukan sepihak tindakan Tuhan melainkan menuntut respons individu yang memadai. “Yang memadai.” Ini kalimat sering tidak diikutsertakan, lalu orang suka-suka, membuat harga sendiri. Ini masalahnya. Karena keselamatan adalah proses dimana seseorang dikembalikan ke rancangan Allah semula, yaitu lewat proses bertahap, maka kita harus memberi diri menerima penggarapan Allah yang memadai. Ibrani 12:2 bicara mengenai iman yang sempurna, bahwa Tuhan menghendaki kita bertumbuh memiliki iman yang sempurna. Ayat 5-9 bicara mengenai Bapa yang mendidik. Kalau orangtua di dunia mendidik anak-anaknya dalam waktu yang pendek berdasarkan apa yang dipandang baik oleh orangtua, Bapa di surga mendidik kita supaya kita hidup dan mengambil bagian dalam kekudusan-Nya. Dan “memadai” di situ harus dalam standar Tuhan, bukan suka-suka kita. Ironis, banyak orang Kristen berpikir “ya sudah, selamat karena percaya.” Percaya yang dia bangun sendiri menurut versinya. Dulu semua kita begitu, tapi kita tidak mau salah lagi. 

Jadi, dalam keselamatan ada perjuangan yang melibatkan seluruh hidup. Kalau tidak seluruh hidup, kita tidak bisa selamat. Tidak bisa dikembalikan ke rancangan semula, atau menerima didikan Bapa untuk mengambil bagian dalam kekudusan-Nya. Maka, orang yang mau selamat harus mempertaruhkan segenap hidupnya. Yesus menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; menebus kita, untuk dibawa kepada Bapa. Kita tidak punya lagi apa-apa kecuali memberi diri untuk diubah. Ketika Yesus ditanya, “Sedikit sajakah orang yang selamat, Tuhan?” Tuhan menjawab, “Sedikit. Maka berjuanglah kamu, jangan hanya ingin. Berjuang.” Yaitu melalui perjuangan yang melibatkan seluruh kehidupan dimana orang yang mau menerima keselamatan, harus mempertaruhkan segenap hidupnya demi keselamatan itu. Dulu kita merasa sudah berjuang dalam pelayanan; korbankan uang, tenaga, pikiran. Tetapi kita tidak kunjung sempurna, sebab ternyata kita belum mempertaruhkan segenap hidup. Masih ada yang kita tahan. 

Kita tidak bisa mengalami dan memiliki keselamatan kalau pertaruhannya hanya sebagian hidup. Ini harga aslinya. Barangsiapa tidak rela kehilangan nyawa, tidak punya nyawa. Tapi orang yang kehilangan nyawa, memperoleh nyawa. Yang melepaskan segala sesuatu, bisa diubah jadi murid. Tidak melepaskan segala sesuatu, tidak bisa. Kita bisa memahami kata “percaya” dengan benar kalau prinsip-prinsip keselamatan ini kita pahami. Bahwa “percaya” punya tiga dimensi. Pertama, terkait dengan pengakuan Allah itu ada. Kedua, terkait dengan pengenalan akan Allah. Dan yang ketiga, terkait dengan keselamatan. Harus ditegaskan bahwa percaya kepada Tuhan itu bukan hanya menyangkut aktivitas pikiran. Jelas, kita harus percaya Allah itu ada, jelas. Kita jelas harus memahami siapa Allah Bapa itu. Lalu yang kedua, baru kita harus mengenal siapa Yesus. Percaya itu bukan sekadar keyakinan yang terkait dengan Allah dan tindakan-tindakan yang kita yakini. Percaya adalah tindakan atau perilaku perbuatan kita, yang melibatkan seluruh hidup kita di dalam mengisi percaya kita. Jadi bukan hanya percaya Allah begini, begitu. Percaya itu juga tindakan atau perilaku kita untuk mewujudkan percaya kita. 

Etimologi dari kata “percaya” dalam bahasa Yunani pisteuo, artinya menyerahkan diri kepada objek yang dipercayai. Dan kalau objek itu Tuhan, kita menyerahkan diri kepada Tuhan Yesus. Kalau kita berkata, “Aku percaya kepada-Mu, Tuhan Yesus,” artinya “aku menyerahkan diriku kepada-Mu, Tuhan.” Dulu kita merasa sudah menyerahkan diri untuk Tuhan, apalagi bagi yang menjadi pendeta fulltimer. Dan itu menjadi kebanggaan banyak fulltimer juga. Menyerahkan diri itu bukan begitu. Menyerahkan diri itu artinya hidup kita diisi oleh hidup-Nya. Alkitab jelas mengatakan agar kita memiliki pikiran, perasaan Kristus (Flp. 2:5-7); agar kita serupa dengan Yesus, sehingga Yesus menjadi yang sulung (Rm. 8:28, 29). Lebih tegas lagi, agar kita tidak lagi mengenakan diri kita, tapi Kristus yang hidup dalam diri kita (Gal. 2:19-20). Itulah sebabnya Paulus mengatakan dalam Kolose 3:1-4, bahwa kita sudah mati, hidup kita tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah. 

Jadi, hidup kekristenan kita ini perjuangan. Perjuangan untuk mematikan keinginan-keinginan diri kita, semua naluriah kemanusiaan kita, dan menyerap naluriah keilahian, naluriah Kristus dalam hidup kita. Maka, bejananya harus dikosongkan. Tuhan tidak bisa diduakan. Kita masih menikmati kesenangan dunia sembari kita menikmati Tuhan, sama sekali tidak bisa. Ketika kita masih disenangkan oleh dunia ini, Allah tidak bisa kita nikmati. Kalau kita masih membuka ruangan atmosfer dunia masuk dalam hidup kita, maka atmosfer Kerajaan Surga tidak bisa masuk. Jadi, percaya kepada Tuhan Yesus artinya menyerahkan diri kepada objek yang kita percayai; yaitu Tuhan Yesus Kristus. Menyerahkan diri itu bukan berarti menjadi pendeta, seakan-akan kalau orang jadi pendeta, dia lebih berkualitas dari seorang praktisi hukum atau seorang tenaga medis. Soal jadi dokter, praktisi hukum, pendeta atau pedagang, itu adalah panggilan khusus. Dan itu sama nilainya. Yang tidak sama ialah motif seseorang melakukan itu. 

Keselamatan dapat dimiliki atau terwujud dalam hidup seseorang, bukan sepihak tindakan Tuhan, tetapi menuntut respons individu yang memadai.