Iblis memiliki anak panah yang dihujamkan pada diri kita, demikian dikatakan dalam firman Tuhan, maka kita harus berhati-hati dengan anak panah-anak panah ini. Dari sejak masa kecil, dunia dipakai Iblis untuk mengasuh kita. Kita ditanamkan selera, ambisi, nafsu-nafsu, seperti peluru yang ditanamkan di dalam diri kita. Misalnya, materialistis, judi, zina, tidak bisa menguasai diri, pornografi, mau melukai orang. Matius 18:8-9 mengatakan, “Jika tanganmu atau kakimu menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu masuk ke dalam hidup dengan tangan kudung atau timpang daripada dengan utuh kedua tangan dan kedua kakimu dicampakkan ke dalam api kekal. Dan jika matamu menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu masuk ke dalam hidup dengan bermata satu daripada dicampakkan ke dalam api neraka dengan bermata dua.”
Kita harus rela kehilangan bagian tubuh—yang sama dengan kehilangan kesenangan—demi kesucian hidup, demi ketaatan. Mungkin sudah puluhan tahun kita mengejar kesucian hidup, tetapi kita mengalami kesulitan untuk membunuh kedagingan ini. Kita tidak dapat mencapai kesucian yang kita mimpikan. Kita juga meminta Tuhan untuk mematikannya. Sampai melalui perjalanan panjang, baru kita mengerti bahwa kitalah yang harus mematikan itu. Jadi kalau kita berkata, “Matikan aku, Tuhan,” itu berarti kita harus mematikan apa yang Tuhan tidak berkenan yang ada di dalam diri kita. Seperti kalau kita berkata, “Berikanlah kami makanan kami pada hari ini secukupnya,” itu berarti kita harus pergi bekerja. Kita tidak mengharapkan Tuhan mengirimkan beras dari langit, atau tiba-tiba ada uang masuk ke rekening kita.
Lewat perjalanan panjang di mana makin hari senja buat kita, dan makin mendesak, maka kita harus terus mengampanyekan hidup di dalam kekudusan. Dan yang harus kita lakukan adalah berani memenggal nafsu kedagingan kita. Bagaimana caranya? Buatlah janji. Kalau kita punya kebiasaan yang Tuhan tidak berkenan, buatlah janji dengan mengatakan “Aku tidak akan melakukan ini lagi.” Sedetail-detailnya. Mungkin ada satu, dua gagal. Kalau gagal, artinya apa? Kita merobek kesucian. Tetapi kalau kita bertobat, seperti kain, kesucian itu menyambung lagi. Dan kalau kita punya kesempatan berbuat dosa, namun kita tidak lakukan, maka kesucian kita akan makin tebal sampai tidak bisa dirobek. Tetapi kalau kita sering merobeknya, kesucian kita akan hancur, tidak bisa disusun lagi. Jadi kita tidak boleh takut untuk membuat janji. Daging kita itu licik, jahat dan tahu momentumnya.
Hidup ini tragis. Mau kaya, mau miskin, apa pun, tragis. Yang bisa membuat tidak tragis hanya satu, yaitu bertemu Tuhan dan dijemput ke surga. Itu saja, tidak ada hal yang lebih baik dari itu. Mari kita berubah. Ingat, tidak ada orang yang bisa melarang kita menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya kebahagiaan kita. Kita bisa mengarahkan diri kita kepada Tuhan. Kalau kita berani hidup suci, tidak mungkin kita gagal. Pasti kita dilindungi dan dibela Tuhan. Kalau kita memperlakukan Tuhan secara khusus dan istimewa, Tuhan juga memperlakukan kita secara khusus dan istimewa. Sebab Tuhan berlaku suci kepada orang yang suci. Tuhan berlaku belat-belit kepada orang yang belat-belit. Kalau kita percaya ada Allah yang hidup, yang berkuasa melindungi kita dan anak cucu kita dan orang orang yang kita kasihi, mengapa kita tidak membuktikannya dengan kesucian hidup kita?
Kita naikkan doa, “Tuhan, aku berjanji atas apa yang tidak dapat kulakukan. Tetapi aku mencintai-Mu. Aku tidak punya pilihan. Aku minta tolong buat aku bisa memenuhi janji ini. Aku tahu aku tidak bisa memenuhi janji ini. Tetapi Engkau bisa beri aku kekuatan untuk bisa memenuhinya.” Di lain pihak, Iblis akan bicara, daging kita akan bicara, “Kamu jangan janji, kamu pasti akan mengingkarinya. Kamu akan lebih menghina Tuhan. Lebih baik kamu tidak janji, daripada kamu janji, kamu tidak tepati.” Itu suara setan. Suara Roh Kudus berkata, “Lakukan. Aku beri kamu kesanggupan.” Buat janji. Melukai diri, memenggal tangan, mencungkil mata adalah hal yang menyakitkan. Tetapi di situlah kita menunjukkan kecintaan kita kepada Tuhan. Kita cium Tuhan, kita peluk, walau kita terluka. Tetapi luka itu merupakan bentuk cinta kita kepada Tuhan. Kita tidak takut ditembak, tidak takut luka. Lakukanlah hal ini untuk Tuhan.
Kita harus rela kehilangan bagian tubuh—yang sama dengan kehilangan kesenangan—demi kesucian hidup, demi ketaatan.