Skip to content

Rasa Cukup

Untuk bisa menundukkan hasrat atau keinginan liar yang merajalela dalam hidup kita, kita harus memiliki rasa cukup. “Rasa cukup” dalam teks aslinya adalah autarkeias. Kata ini kita temukan dalam 1 Timotius 6:6. Kata autarkeias berarti self-satisfaction (kepuasan pribadi), contentedness (kepuasan). Juga berarti a competence (kompetensi; wewenang). Dalam Alkitab King James Version, kata ini diterjemahkan contentment (“But godliness with contentment is great gain”). Kata autarkeias hendak menunjukkan sikap hati yang merasa cukup dengan apa yang dimiliki. Karena itu, dalam terjemahan Today’s English Version, ayat ini diterjemahkan menjadi “satisfied with what he has” (puas dengan apa yang dipunyainya). Tanpa rasa cukup itu, kita tidak dapat merdeka dalam Tuhan. Tanpa rasa cukup, akan dikendalikan oleh nafsu duniawi dan ambisi pribadinya. Rasa tidak cukup merupakan irama yang dimiliki hampir semua orang, yang membuat mereka terikat dan mencintai dunia ini.

Dunia kita hari ini dibawa kepada semangat materialisme yang sangat kuat. Manusia menjadi manusia yang konsumeristis dan bergaya hidup konsumtif. Iklan-iklan berbagai produk—mulai dari kosmetik, makanan, pakaian, sampai kendaraan—begitu memikat, sehingga mendorong atau membangkitkan minat banyak orang untuk memiliki apa saja yang disajikan oleh dunia ini. Keadaan ini membuat banyak orang tidak dapat membedakan antara “apa yang menjadi kebutuhan” dan “apa yang menjadi keinginan atau hasrat.” Tidak semua barang yang diinginkan adalah kebutuhan. Kebutuhan dan keinginan merupakan dua hal yang sangat berbeda. Kalau seseorang sudah tidak bisa membedakan manakah kebutuhan—yaitu apa yang benar-benar dibutuhkan untuk menjalani hidup ini—dan keinginan, rusaklah kehidupannya. Tuhan menghendaki kita memiliki rasa cukup. Oleh karena itu, di 1 Timotius 6:8 dikatakan, “Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah.” Maksud ayat ini adalah adanya hal penting yang membuat seseorang dapat menjalani hidup ini. Bertalian dengan hal ini, Tuhan Yesus mengajarkan agar kita mengucapkan Doa Bapa Kami, “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya.

“Rasa cukup” memang relatif. Cukupnya seseorang, berbeda dengan orang lain. Akan tetapi, seseorang dapat menguji apakah yang diingini itu memang benar-benar kebutuhan, atau ternyata berunsur keserakahan, kesombongan, dan upaya meningkatkan harga diri. Kalau seseorang cukup dengan motor, ia harus merasa puas dengan motor. Namun kalau ternyata memang ia membutuhkan mobil, apa salahnya? Jangan berupaya memiliki mobil dengan dasar kesombongan atau meningkatkan nilai diri, sebab di dalam pemandangan manusia fasik hari ini, orang yang mengendarai mobil lebih berharga dari yang hanya mengendarai motor. Seorang yang cukup dengan mobil niaga atau minibus hendaknya puas dengan mobil kelas ini. Jangan mengingini sedan hanya karena harga atau kesombongan. Demikian pula dengan rumah atau tempat tinggal. Kalau seseorang sudah cukup dengan rumah dengan luas bangunan 100 meter, jangan memaksa diri memiliki rumah dengan luas bangunan 200 meter. Kalau anak mulai bertambah, perlu beberapa kamar lagi, tidak ada salahnya memiliki rumah lebih luas. Namun jikalau memiliki rumah lebih besar dasarnya hanya kesombongan, itu merupakan keserakahan. Di dalam Alkitab, keserakahan sering dikemukakan sebagai dosa utama (cardinal sin). 

Mengapa keserakahan disebut sebagai dosa utama? Sebab, keserakahan ini ternyata di dalam Alkitab disamakan dengan berhala. Kolose 3:5 menyatakan, “And covetousness, which is idolatry;” ketamakan adalah berhala. Kata “berhala” di sini merupakan terjemahan bahasa Inggris dari idolatry. Kata ini sebenarnya berasal dari bahasa Yunani eidololatreia. Kata ini merupakan gabungan dua kata, eidolo dan latreia. Kata eidolo berarti berhala, dan kata latreia berarti berbakti. Berhala itu berarti kebaktian kepada objek lain di luar Tuhan. Ketika seseorang mengingini materi lebih daripada yang patut dimilikinya dan menjadikannya kesombongan atau nilai diri, sebenarnya ia membaktikan dirinya kepada materi tersebut. Tuhan tidak lagi menjadi satu-satunya yang ia kejar dan ingini. Posisi Tuhan digantikan oleh keserakahan akan suatu objek atau materi tertentu yang dipandang mendatangkan kehormatan, kebahagiaan, dan penghargaan dari orang lain. Tidak heran, keserakahan sama dengan perzinaan atau percabulan rohani. Tuhan menentang hal ini dengan hukum pertama-Nya, “Jangan ada padamu Allah lain dihadapan-Ku.

Tanpa rasa cukup, kita tidak dapat merdeka dalam Tuhan sehingga akan dikendalikan oleh nafsu duniawi dan ambisi pribadi.