Ironis, banyak orang lebih takut sanksi hukuman manusia atau sanksi hukuman pemerintah—yang karenanya mereka taat kepada hukum—daripada sanksi hukuman kekal dari Allah. Sehingga, banyak orang tidak memedulikan hukum Allah dan kehendak-Nya. Banyak orang lebih taat kepada orangtua karena sanksi atau disiplin yang bisa diberikan orangtua kepada anak-anak, daripada takut akan Allah Bapa di surga yang bisa menolak dan memberi hukuman kekal. Memang kita harus taat hukum. Orang yang menaati Allah, pasti taat hukum. Orang yang taat Allah, pasti menghormati dan taat orangtua. Tetapi lebih dari ketaatan kita kepada hukum-hukum dunia, kita harus lebih dari taat dan takut kepada Allah; lebih dari hormat kita kepada orangtua, seharusnya kita lebih hormat akan Allah. Masalahnya, sedikit sekali orang yang benar-benar memiliki hati yang takut akan Allah sehingga sungguh-sungguh memedulikan hukum Allah dan memperhatikan kehendak-Nya. Mengapa demikian?
Pertama, karena memang Allah tidak kelihatan, bahkan kadang-kadang Allah seakan-akan tidak ada. Kedua, karena Allah tidak menunjukkan kemarahan, hukum, dan sanksi sesegera mungkin atau secepat-cepatnya. Berbeda dengan pemerintah di dunia ini. Begitu membuktikan warga melakukan kesalahan dengan delik hukum yang jelas, maka segera diproses dan dijatuhi sanksi atau hukuman. Demikian pula orangtua yang melihat anaknya melakukan pelanggaran, pasti akan segera bertindak. Tetapi, Allah tidak. Memang nanti ada hukuman, ada sanksi yang akan dijatuhkan ketika manusia diperhadapkan pada pengadilan Allah. Jadi, kita bisa mengerti mengapa Alkitab mencatat adanya “cawan murka Allah.” Mestinya itu lebih mengerikan, sebab hukuman pemerintah di dunia ini hanya beberapa belas atau beberapa puluh tahun, paling lama, seumur hidup manusia. Tetapi berbeda dengan Allah. Hukuman Allah adalah keterpisahan dari Allah; dan itu kekal. Sebenarnya ini bisa dikatakan hukuman, bisa dikatakan sanksi, atau bisa dikatakan konsekuensi.
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana kita bisa memiliki perasaan gentar dan menghormati Allah sepatutnya sehingga kita bisa menggelar pemerintahan Allah dalam hidup kita, walaupun sanksi dan hukuman itu tidak dijatuhkan sekarang ini? Itu tergantung diri kita. Banyak orang yang pikirannya telah disesatkan, ditipu oleh kuasa gelap. Pemikiran itu menjadi suara yang sangat kuat yang mencengkeram jiwa seseorang dan memenuhi seluruh syaraf dirinya bahwa “hidup suci itu tidak bisa; sempurna itu mustahil, Allah tidak kelihatan, Allah tidak peduli.” Pemikiran tersebut meracuni jiwa, dan membuat kita menjadi ceroboh. Apakah kita membuat Allah itu hidup di dalam kehidupan kita, atau seakan-akan mati dalam hidup kita, hal tersebut tergantung pada keputusan kita.
Allah memang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kalau kita memohon ampun, Tuhan pasti mengampuni. Akan tetapi, Tuhan menghendaki kita bukan hanya membereskan perbuatan dosa yang kita lakukan, tapi Tuhan juga menghendaki kita membereskan potensi dosa yang menggerakkan kita berbuat dosa, supaya jangan berbuat dosa lagi. Kepada perempuan yang nyaris dilempari batu karena kedapatan berzina, Tuhan Yesus berkata, “Jangan berbuat dosa lagi.” Kita dapat menemukan kenyataan anugerah Allah dimana Allah memampukan kita untuk hidup tidak bercacat tidak bercela. Jika Tuhan menyatakan kemungkinan tersebut, berarti hal itu dapat dicapai. Jadi, tergantung kita, seberapa kuat gairah dan hasrat kita mencapai hal tersebut. Semakin kuat hasrat kita, maka kita akan melihat progres tersebut. Selain melihat dan mengalami progres tersebut, kita makin melihat orientasi ke depan, kesucian macam apa yang Allah kehendaki. Itulah sebabnya Tuhan Yesus berkata di Lukas 14:33, “Kamu harus melepaskan dirimu dari segala milikmu.” “Milik” bukan hanya mencakup harta, melainkan juga hasrat-hasrat kita. Jadi, kita harus kita mengembangkan diri dengan menggelorakan gairah ini.
Kesucian orang percaya tidaklah terukur dari sekadar bisa melakukan hukum, tetapi dalam segala hal bertindak, berperilaku seperti Tuhan Yesus. Kalau kesucian bisa dibeli, orang sadar bahwa kesucian ini harta yang tak ternilai sehingga mempertaruhkan apa pun. Kalau kesucian bisa ditemukan di sebuah tempat, orang yang mengerti betapa berharganya kesucian itu, ia akan berusaha untuk menjangkau tempat tersebut demi mendapatkan kesucian. Ternyata, kesucian tidak bisa dibeli dengan uang. Ia tidak ada di mana-mana, tetapi di dalam hati kita. Kita bisa membayarnya dengan tekad, dengan hasrat, yang akhirnya seluruh hidup kita pertaruhkan untuk bisa mencapai kesucian Allah, bisa memiliki kesempurnaan di hadapan Bapa di surga. Mari kita mulai saat ini, jangan menunda. Penundaan itu bisa mengakibatkan atau membuahkan kebinasaan. Jadi, jangan berpikir bahwa selalu masih ada kesempatan nanti untuk bertobat dan berubah, tetapi berpikirlah bahwa ini kesempatan terakhir. Supaya kita bukan hanya serius, melainkan sangat serius.
Konsep bahwa “sempurna itu mustahil” merupakan racuni jiwa yang membuat kita hidup ceroboh.