Skip to content

Pulang ke Dalam Pelukan-Nya

 

Di Perjanjian Lama, kita dapat melihat pola keberagamaan bangsa Yahudi, di mana masing-masing individu atau umat tidak bisa berhubungan langsung dengan Allah. Ada pemimpin, tokoh agama, imam, dan khususnya imam besar yang bisa menjumpai Allah secara langsung dan menjadi mediator atau pengantara antara Allah dan umat. Pola keberagamaan ini ada di seluruh agama dan kepercayaan. Atau paling tidak, pada umumnya demikian. Mestinya kekristenan tidak menganut pola ini. Sebab setiap orang percaya bisa berhadapan langsung dengan Allah, dan pengantaranya hanya satu, yaitu Tuhan Yesus. 

Kalau di dalam Perjanjian Baru kita disebut anak-anak Allah, di mana Elohim Yahweh—Allah Abraham, Ishak, dan Yakub, Allah Israel—berkenan menjadi Bapa. Itu berarti setiap kita, memiliki hubungan, relasi atau koneksi antara Bapa dan anak, tidak perlu perantara. Bukan hanya antara Allah dan umat, melainkan Bapa dan anak.  Allah sebagai Bapa menginginkan sebuah hubungan, persekutuan, fellowship, antara kita, sebagai anak-anak Bapa dengan Allah dalam hubungan yang harmonis dan mesra. Jadi, setiap kita, mestinya dengan optimis bisa menjumpai Allah secara pribadi dalam doa dan dalam persekutuan hidup sepanjang waktu. Kalau Henokh bisa berjalan dengan Allah, maka kita mestinya lebih dari itu karena hubungan kita dengan Allah adalah hubungan Bapa dan anak. 

Tuhan kita Yesus Kristus, Juru Selamat, telah menumpahkan darah dan membenarkan kita, walaupun keadaan kita belum benar atau belum benar-benar benar. Kita dibenarkan, sehingga bisa dibawa menghadap Allah Bapa dan bisa bersekutu dengan keadaan kita yang mungkin masih compang-camping, tapi Bapa mau memeluk kita dan mendandani kita. Seperti anak terhilang, si Bungsu yang pulang setelah mendurhaka, setelah memberontak, bergaul dengan babi-babi. Ketika si Bungsu yang bejat ini pulang, bapaknya memeluk dia; belum didandani, tapi dipeluk. 

Kita tidak bisa mengukur betapa panjang sabar Allah, betapa besar, betapa tinggi, dan dalam pengertian-Nya terhadap kita. Masalahnya, apakah kita mau datang secara langsung untuk dipeluk? Atau kita merasa ada ukuran ganda? Seakan-akan ada orang-orang tertentu yang bisa menjumpai Allah secara langsung dan memiliki semacam hak istimewa, sebagai pemimpin agama, rohaniwan, atau semacam imam. Ini penipuan, pembodohan. Kenyataannya, tidak banyak orang percaya yang sungguh-sungguh mencari Tuhan, sehingga kalau jujur, sedikit sekali orang yang akrab dengan Allah sebagai Bapa, walaupun mereka menyebut Allah itu Bapa, tidak pernah ada sentuhan kemesraan dengan Dia.

Jangan menunggu sempurna untuk kita menjumpai Tuhan. Kita yang masih compang-camping, busuk, kita bisa menghampiri Tuhan dan merendahkan diri. Tapi, bagaimana menghilangkan bau busuk itu? Yang pertama, kita harus mengakui dosa dan minta ampun. Darah Yesus menghapus, Allah melihat darah Yesus, akan tercium darah itu yang wangi. Walaupun kemudian kita harus belajar, dididik Bapa untuk memiliki wewangian yang abadi dan permanen seperti karakter Kristus. Tapi setan menipu kita dengan cara mengintimidasi pikiran kita bahwa kita masih duniawi, masih busuk. 

Pertanyaannya, apakah kita mau begitu terus, terpisah dari Allah? Tuhan tahu kita busuk dan rusak, tetapi Dia mau peluk, Dia hanya ingin kita datang dan memperkarakan keadaan kita. Tuhan tahu kita belum sanggup hidup di dalam kekudusan, tapi Bapa mau kita datang, sebab kalau kita tidak datang maka sampai titik tertentu kita tidak pernah bisa datang dan kita pasti binasa. Tuhan tidak menolerir dosa, tetapi dengan keadaan kita ini, Tuhan mau menerima. Namun banyak yang melarikan diri, masih terus berkubang di dalam dosa. Banyak orang lebih betah di dunia daripada di gereja, lebih betah nonton TV daripada berdoa. Lebih betah baca banyak bacaan daripada baca Alkitab. 

Si Bungsu menyadari, “Aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebut anak bapa.” Ketika masih jauh, ayahnya telah melihat anak itu. Berarti, ayah ini menantikan pulang anaknya. Lalu tergeraklah hati ayahnya oleh belas kasihan. Ayahnya telah melihatnya. Allah pun melihat kita, dalam keadaan seperti apa adanya hari ini. Mari kita datang kepada Bapa. Jangan menunda, sebab penundaan yang terus-menerus berarti pembatalan. Dan mengerikan kalau sampai orang terpisah dari hadirat Allah. Menjadi penipuan ketika orang merasa bahwa dirinya tidak memiliki hak untuk menemui Tuhan. Dia, Bapa kita. Dia menanti kita pulang ke dalam pelukan-Nya.