Dalam Roma 1:16-17 firman Tuhan mengatakan bahwa Injil adalah kuasa Allah yang menyelamatkan. Ayat ini sudah sangat populer; sering diperdengarkan atau dikhotbahkan. Apa sebenarnya maksud kalimat ini? Injil artinya kabar baik. Kuasa Allah artinya kemampuan atau kekuatan Allah. Jadi, kabar baik adalah kemampuan atau kekuatan Allah yang menyelamatkan. Menyelamatkan artinya membebaskan manusia dari dosa. Tentu dosa di sini harus dimengerti bukan hanya menyangkut perbuatan yang dilakukan, tetapi potensi melakukan perbuatan itu yang harus selalu kita ingat. Seseorang yang tidak berbuat salah bukan berarti hidup dalam ketidakbersalahan. Seseorang yang tidak berbuat dosa bukan berarti tidak ada keberdosaan. Yang mau diselesaikan ini adalah keberdosaan atau keberadaan salah karena adanya potensi dosa di dalam diri seseorang.
Kalau Injil hanya menyelamatkan manusia dari perbuatan dosanya, maka tidak perlu ada kebenaran yang diajarkan dalam Injil, dan juga tidak perlu Roh Kudus. Tuhan Yesus juga tidak perlu tiga setengah tahun memberitakan kebenaran dan menjadi teladan. Jika Dia datang menjadi anak tukang kayu, namun tidak dibaptis dan tidak disalib berarti Dia hanya menyelesaikan akibat perbuatan dosa, tetapi tidak menyelesaikan potensi dosa atau kodrat dosa di dalam diri manusia. Justru kebenaran Injil dan Roh Kudus merupakan kuasa Allah untuk menyelesaikan masalah keberadaan manusia yang berpotensi memberontak kepada Allah. Sebab selama masih ada potensi dosa berarti masih ada potensi memberontak.
Hal kebersalahan dan keberdosaan itu bukan hanya ditentukan dengan perbuatan dosa yang dilakukan, tetapi potensi dosa di dalam dirinya. Jadi kalau kita mau masuk surga, apalagi menjadi anggota keluarga Kerajaan Allah, kita harus menerima penggarapan Allah supaya potensi dosa di dalam diri kita dihancurkan. Inilah kabar baik itu. Kabar baik terkait dengan kuasa Allah yang menyelamatkan. Jadi, jangan diisi dengan pengertian lain. Kabar baik adalah kuasa dari Allah yang bisa menyelesaikan masalah keberdosaan manusia. Bukan hanya menyelesaikan akibat perbuatan dosa, tetapi potensi dosa itu. Kata “baik” tentu harus diisi dengan pengertian yang benar. Dalam sejarah gereja sampai hari ini, telah terjadi banyak penyimpangan terhadap pengertian Injil. Kata “baik” sering diartikan sebagai “cara mudah masuk surga.” Makanya orang-orang Kristen yang naif sering berbangga diri memiliki Yesus, karena merasa sudah memiliki cara mudah masuk surga.
Banyak orang Kristen naif yang mencibir perbuatan baik lalu berkata, “Kamu berbuat baik apa pun tidak akan selamat, karena keselamatan bukan karena perbuatan baik.” Tetapi itulah yang diajarkan secara implisit, bahwa keselamatan tidak perlu disertai perjuangan. Perjuangan dipandang sebagai sikap tidak menghargai anugerah; seakan-akan perjuangan dipandang sebagai menyangsikan kasih karunia yang diberikan Allah. Perbuatan baik sering dicurigai sebagai usaha mendapatkan keselamatan dengan cara sendiri. Dikesankan pula bahwa dalam anugerah, manusia hanya menerima apa saja yang ditentukan oleh Allah. Bagi orang Kristen pada umumnya, Allah sudah menentukan mereka masuk surga. Ironinya, pemikiran ini sudah terpola menjadi premis dan landasan berpikir yang kuat. Cara berpikir seperti ini dikaitkan dengan kabar baik sebagai cara mudah masuk surga tanpa perjuangan.
Kesalahan ini telah diwarisi dari tahun ke tahun. Bahkan sebenarnya dari abad ke abad, sehingga telah membangun landasan berpikir atau premis bahwa keselamatan itu sudah otomatis dimiliki orang Kristen yang mengaku Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Sejatinya, ini adalah kemelesetan cara berpikir terbesar yang membuat banyak orang Kristen tidak pernah mengalami dan memiliki keselamatan. Sebab penyelesaiannya hanya penyelesaian akibat perbuatan dosa, tetapi tidak benar-benar menyelesaikan potensi dosa itu. Padahal, Alkitab berkata, “Kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar.” Ironis, akibat salah pengertian terhadap kekristenan tersebut telah membuat kekristenan menjadi sekadar agama, bukan jalan hidup. Sekadar agama artinya kekristenan hanya diwarnai atau menekankan liturgi dan standar norma etika umum. Memang mereka tidak mengajarkan orang Kristen jadi jahat, tetapi tidak mengerti maksud tujuan keselamatan, yaitu agar manusia menjadi sempurna seperti Bapa atau serupa dengan Yesus. Lambat laun kekristenan seperti ini menjadi agama yang menjenuhkan dan ditinggal oleh para pengikutnya karena tidak ada pesona.
Hal kebersalahan dan keberdosaan bukan hanya ditentukan dengan perbuatan dosa yang dilakukan, tetapi potensi dosa di dalam dirinya.