Skip to content

Perubahan Karakter

Yohanes 14:27, “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu.” 

Ayat ini sangat populer, tetapi kalau kita jujur, tidak banyak orang Kristen yang benar-benar memiliki dan mengalami damai sejahtera yang dimaksud oleh Tuhan ini. Kita percaya Tuhan Yesus pasti memenuhi janji-Nya. Tuhan Yesus tidak mungkin mengingkari janji-Nya. Jadi, mestinya setiap orang percaya bisa menikmati dan memiliki damai sejahtera ini. Namun, kenyataannya—baik sebagai orang Kristen sejak kecil atau sebagai pelayan Tuhan yang belajar mengenal kehidupan—kita melihat bahwa tidak banyak orang yang benar-benar menikmati dan memiliki damai sejahtera ini. Faktanya, sangat sedikit orang yang benar-benar mengalaminya.

Padahal ini adalah damai sejahtera dari hati Tuhan yang dibagikan-Nya kepada kita. Damai yang dinikmati oleh Allah Bapa, yang dinikmati Tuhan Yesus, yang pasti dinikmati penduduk surga, lalu damai itu juga ditinggalkan dan diberikan bagi kita. Tentunya, orang yang bisa atau boleh menggapai damai sejahtera Tuhan atau yang diperkenan menikmati madu surgawi adalah mereka yang sudah terbiasa menikmati madu Tuhan selama hidup di bumi. Di mana mereka sudah memiliki habitat, lingkungan hidup dengan asupan makanan jiwa yang benar. Sebab ini bukan madu secara fisik. Ingat, tidak mungkin orang yang tidak ada dalam habitat rohani—habitat Kerajaan Surga, yang tidak menikmati damai sejahtera Allah—bisa masuk ke dalam Kerajaan Surga dan menikmati madu surgawi atau sukacita surgawi yang sempurna. 

Orang yang pasti masuk surga, dapat dilihat dari habitat atau lingkungan hidupnya selama hidupnya di dunia. Tentu ini bukan lingkungan secara fisik, rumah tangga, atau pergaulan, melainkan lingkungan hidup pribadinya. Apakah dia menikmati hadirat Allah, sukacita, dan damai sejahtera Allah, atau tidak? Jelas kalau orang tidak hidup di dalam habitat yang benar—yaitu di dalam hadirat Allah—dan tidak menikmati hadirat Allah, tidak bisa masuk ke Kerajaan Surga. Sebagaimana ikan air laut tidak bisa hidup di dalam air tawar; dan sebaliknya. Maka, jangan kita berpikir, bisa sembarangan hidup hari ini dengan habitat anak dunia, lalu nanti mati bisa masuk surga. Hal itu tidak mungkin! Kalau ada orang yang berpikir begitu, berarti ia melecehkan Allah dan meremehkan Kerajaan Surga. 

Yohanes 14:1-3, Tuhan Yesus berkata, “Aku pergi menyediakan tempat bagimu. Kalau Aku sudah pergi menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang, Aku akan menjemput kamu, supaya di mana Aku ada, kamu ada.” 

Tentu tidak semua orang akan dijemput oleh Tuhan. Tentu yang dijemput Tuhan adalah orang yang serius mempersoalkan damai sejahtera yang Tuhan tinggalkan itu. Orang-orang yang serius berusaha supaya dapat hidup di dalam habitat-Nya; habitat damai sejahtera Allah. Maka, jangan sampai kesibukan pelayanan menjebak kita dalam aktivitas pelayanan sehingga kita tidak menikmati damai sejahtera Tuhan. Damai sejahtera ini bukan sesuatu yang bisa dipercakapkan semata, karena ini bicara mengenai perasaan, maka harus sungguh dialami. 

Mengapa kita tidak bisa menikmati damai sejahtera Allah? Yang pertama, karakter. Karakter yang buruk tidak mungkin bisa menikmati damai sejahtera. Tidak mungkin. Damai sejahtera Allah hanya bisa dinikmati oleh mereka yang berkarakter benar, artinya baik di mata Allah. Jadi, nikmatnya madu surgawi itu bisa bertahap atau progresif. Seiring dengan perubahan karakter kita, maka bertambah pula damai sejahtera Allah yang kita nikmati. Tentu kebaikan karakter kita standarnya adalah Tuhan Yesus. Semakin kita serupa dengan Yesus, semakin kita memiliki karakteristik seperti Tuhan Yesus, semakin damai sejahtera kita bertambah. Karakter Yesus adalah dalam segala hal yang dilakukan, selalu sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah. 

Dengan kata lain, kita bisa menikmati sentuhan damai sejahtera Allah, ketika kita melakukan kehendak Bapa. Jadi kalau hanya melakukan hukum, artinya kita belum sampai menikmati damai sejahtera Allah. Ingat, setiap kita diperhadapkan tiap hari dengan pilihan, keputusan, dan tindakan-tindakan yang berdasarkan respons kita. Kalau kita merespons dengan benar, Tuhan kasih hadiah, yaitu kita merasakan damai sejahtera Allah. Namun, ketika kita berbuat salah, Tuhan kasih hukuman, yaitu kita merasa duka karena kesalahan itu. Jadi, kalau hanya melakukan hukum atau perbuatan baik berdasarkan hukum, itu hadiahnya belum terasa dengan benar. Namun, ketika kita mengalami hal-hal yang tajam—misalnya disakiti, dirugikan, dihina, difitnah—tetapi kita tidak membalas, hadiahnya akan terasa. 

Seiring dengan perubahan karakter, maka bertambah pula

damai sejahtera Allah yang bisa kita nikmati.