Berkat rohani yang Allah sediakan bagi kita, tidak ternilai; tidak ada yang dapat dipadankan. Sangat mulia, sangat bernilai, sangat mahal. Tetapi, sangat sedikit orang yang benar-benar menemukannya. Dan orang harus memiliki respons yang memadai untuk mengenali dan memiliki berkat kekekalan yang tak ternilai tersebut. Sangat sedikit orang yang benar-benar berani menginvestasikan hidupnya untuk berkat-berkat rohani, yang sesungguhnya adalah berkat kekal. Mengutip apa yang dikatakan pemazmur, “Sia-sialah kamu bangun pagi-pagi dan duduk-duduk sampai jauh malam, dan makan roti yang diperoleh dengan susah payah, sebab Ia, Allah, memberikannya kepada yang dicintai-Nya pada waktu tidur.” Di luar pengetahuan kita, Tuhan menyediakan berkat; bekal kekekalan.
Banyak orang berpikir masuk surga itu mudah. Percaya Tuhan Yesus, ke gereja, meyakini keselamatan di dalam Yesus oleh pengurbanan-Nya di kayu salib, cukup. Menjalani hari, melewati waktu, menunggu kematian, dan percaya kalau meninggal dunia, nanti masuk surga. Lalu kita bisa melihat orang-orang Kristen yang terjebak dalam seremonial atau liturgi. Merasa kalau sudah ke gereja, sudah menunjukkan keseriusannya dengan Tuhan. Dan itu dianggap sebagai bekal kekekalan. Mungkin pada waktu mendengar khotbah, ada ketakjuban, perasaan terpesona terhadap penjelasan yang dipaparkan, apalagi hal yang belum pernah didengarnya. Tetapi kalau jujur, tidak ada yang diperoleh. Tidak ada yang mengubah hidup.
Sejatinya, apa pun yang disampaikan lewat mimbar—apakah itu bersifat etis, kognitif, pengetahuan, pewahyuan, apa pun—Roh Kudus jadikan berkat untuk mengubah jemaat. Sebagai pelayan Tuhan, kita harus selalu mempertanyakan, “Apa yang harus kami lakukan, apa yang harus kami penuhi untuk masuk ke dalam pelayanan roh?” Sebab roh itu kehidupan yang bisa mengubah dan memperbarui orang. Maka khotbah harus membawa dampak, harus membawa akibat, harus memberi sesuatu. Sehingga jemaat datang, memperoleh sesuatu sebagai bekal kekekalan. Sebab, tidak mudah orang masuk surga. Tuhan Yesus sendiri yang berkata, “Banyak orang berusaha, tetapi tidak masuk.” Pembicara dan pelayan-pelayan Tuhan, harus sungguh-sungguh membidik apakah jemaat sudah cukup memiliki bekal kekekalan ini?
Matius 7:21, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di surga.” Kalau seseorang menyebut Yesus sebagai “Tuhan,” berarti dia sudah percaya bahwa Yesus adalah Juruselamat. Tetapi kalau dia tidak melakukan kehendak Bapa, tidak akan masuk surga. Dan kalau kita ditanya apakah sudah melakukan kehendak Bapa, sedikit sekali yang berani berkata “sudah.” Kita harus merasa sebagai orang-orang yang berutang. Bukan hidup menurut daging, tetapi hidup menurut roh. Jadi kepada siapa kita membayar utang itu? Ke daging atau ke roh? Kalau kita merasa bisa dipuaskan dengan melakukan sesuatu, mengucapkan sesuatu, membeli sesuatu, memperoleh sesuatu, berarti kita berutang kepada daging. Tetapi kalau kita berutang menurut roh, maka apa yang kita mau ucapkan, lakukan, pikirkan dan miliki, semua itu untuk melengkapi kita dalam melayani pekerjaan Tuhan.
Setiap saat kita diperhadapkan kepada pilihan ini. Dan kalau kita serius memperhatikan hal ini, berutang kepada roh untuk hidup menurut roh, pasti kita melakukan kehendak Bapa. Jadi kalau ada kesalahan, kita selesaikan, kita minta ampun. Perjuangan ini adalah bagian dari bekal kekekalan. Ingat firman Tuhan mengatakan, “Allah bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan.” Kebaikan yang dimaksud adalah serupa dengan Yesus. Allah membutuhkan dan memakai setiap kejadian atau peristiwa untuk membekali orang percaya. Di situlah bekal kekekalan Allah sediakan. Ada banyak bekal kekekalan, berkat-berkat rohani yang membekali kita.
Namun, kita harus masuk dalam kancah pergumulan ini, kancah perjuangan ini dalam hitungan menit; apakah kita merespons satu kejadian dengan sikap hati yang benar atau tidak? Tidak jaminan orang yang sudah bernubuat, mengusir setan, mengadakan “banyak” mukjizat, namun hidup dalam dosa atau jatuh dalam dosa, atau melakukan sesuatu yang tidak berkenan di hadapan Allah. Jangan sampai kita berdosa. Persiapkan diri kita. Intimlah dengan Tuhan. Bersyukurlah kalau Tuhan membuat kita tidak kelimpahan, supaya kita jangan jatuh dalam dosa.
Kesucian dimulai dari perkara-perkara sederhana. Sampai kita bisa melakukan kehendak Allah. Itu bicara mengenai peristiwa yang di dalamnya kita menimba atau menemukan berkat rohani. Dan itu merupakan bekal kekekalan kita. Kalau kita bercermin kepada manusia, membandingkan dengan manusia, mungkin kita merasa lebih baik darinya. Tetapi kalau kita bercermin pada Tuhan, kita baru mengerti di mana letak kekurangan, kelemahan kita. Jadi, Tuhan menyediakan bekal kekekalan-Nya setiap hari dan kita harus menangkap itu. Namun, banyak orang tidak bisa mengerti karena tidak melihat kekayaan yang ada di dalamnya. Karena kita doa pagi, juga punya doa pribadi, mendengarkan khotbah, maka lewat peristiwa-peristiwa hidup yang kita alami, kita menemukan berkat di dalamnya, hikmat di dalamnya. Dan itu menakjubkan, di luar pengertian kita, di luar kesadaran kita. Percayalah, Bapa pasti tahu apa yang terbaik bagi kita.
Kesucian dimulai dari perkara-perkara sederhana.