Satu hal yang harus terus kita renungkan, kita hayati, yang hal itu akan membawa dampak di dalam hidup kita yaitu perjalanan waktu. Mungkin kita sudah lupa karena kesibukan hidup dari hari ke hari dan segala kegiatan yang telah membelenggu hidup kita, dan kita telah terperangkap dalam siklus kegiatan hidup, serta segala tanggung jawab yang ada di dalamnya. Kita lupa, kita kurang menghayati, bahkan mungkin juga tidak menghayati sama sekali, bahwa kita ada di dalam perjalanan waktu. Perjalanan waktu ini gagah, kokoh dan sebenarnya juga bisa mengerikan, kadang-kadang laksana sombong.
Setiap detik waktu berdetak seiring detak janjung kita, konstan. Kita berhenti, dia tetap jalan. Kita lari, dia tetap jalan. Kita jalan, dia juga jalan. Tidak ada yang bisa menghentikan perjalanan waktu ini kecuali Tuhan. Sekali lagi, hanya Tuhan. Jadi, betapa hebat perjalanan waktu ini. Hanya Tuhan yang bisa menghentikan. Sekarang, bagaimana kita memiliki hati yang bijaksana dalam menyikapi, merespons perjalanan waktu yang kita ada di dalamnya?
Efesus 5:14 mengatakan, “Itulah sebabnya dikatakan: ‘Bangunlah, hai kamu yang tidur dan bangkitlah dari antara orang mati dan Kristus akan bercahaya atas kamu. Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat. Sebab itu janganlah kamu bodoh, tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehendak Tuhan.’”
Kalau Firman Tuhan ini mengatakan, “Janganlah kamu bodoh,” berarti hal ini mengisyaratkan bahwa kita bisa bodoh. Kalau jujur mengakui, kita telah melewati hari-hari yang kita ada dalam kebodohan. Keputusan, pilihan, atau tindakan kita bukan yang bijaksana, melainkan bodoh. Kalau keadaan hidup dalam kebodohan tersebut berlarut-larut kita lakukan, lalu kita merasa aman, betapa berbahayanya dan mengerikannya. Bersyukur kalau Tuhan mengingatkan, menegur kita. Lalu, kita bisa bertobat dan berbalik kepada Tuhan.
Namun, kenyataan yang sering dialami, kita sudah sungguh-sungguh dalam bergereja, berdoa,mencari Tuhan, tetapi keadaan kita rasanya tidak beda dengan orang yang tidak mencari Tuhan. Bahkan, tidak jarang keadaan kita lebih terpuruk dari orang yang tidak sungguh-sungguh mencari Tuhan. Kita melayani Tuhan, sungguh-sungguh melakukan kegiatan pelayanan, tetapi keadaan kita tidak beda dengan mereka yang tidak sungguh-sungguh. Tahukah kita bahwa hal ini bisa membuat kita bisa menjadi lemah? Lalu kita berkata di dalam hati—tidak terucap—”Percuma, sia-sia aku melakukan semua ini.”
Lalu kita menyimpang, membuat selingan-selingan untuk bisa menyenangkan hati, memuaskan daging dan berkata, “Aman-aman saja.” Kalau penyimpangan itu terus menerus dilakukan, maka selera jiwa kita menjadi rusak. Itu seperti candu yang membelenggu hidup dan membawa kita kepada kebinasaan. Sementara waktu berjalan terus, kita menjadi tua, dan semakin tua kita semakin sulit berubah. Kalau orang muda, apalagi kanak-kanak, lebih mudah berubah. Maka, Tuhan Yesus berkata, “Jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil, kamu tidak akan masuk Kerajaan Surga.” Itu adalah anak usia 7-14 tahun; paedion. Dengan kata lain, “Kalau kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak usia 7-14 tahun (paedion), usia efektif dididik/dibentuk, kamu tidak akan masuk Kerajaan Surga.”
Jadi, di sini dibutuhkan ketekunan. Ketekunan untuk mengikut Tuhan Yesus, tetap berjalan di dalam kekudusan, tetap mengarahkan hati kita di Langit Baru Bumi Baru, dan hidup bertanggung jawab. Yang penting, kita bisa melewati dari hari ke hari. Tidak mimpi punya rumah mewah atau mobil mewah, tidak mimpi bisa jalan-jalan ke tempat jauh. Kalau Tuhan berkati, kita bisa beli barang bagus yang harga mahal, bisa wisata di tempat yang jauh. Kalau tidak pun, tidak apa-apa. Itu yang Tuhan katakan, “Asal ada makanan, pakaian, cukup.” Sederhana, tetapi ini prinsip hidup kekristenan, yaitu:
Yang pertama, hidup di dalam kesucian Allah. Kalau sejak muda daging kita masih mau dipuaskan dan kita turuti, maka ketika sudah tua sulit untuk hidup kudus. Oleh sebab itu, kita harus tetap hidup di dalam integritas.
Yang kedua, fokus Langit Baru Bumi Baru, sebab dunia bukan rumah kita.
Yang ketiga, hidup bertanggung jawab dengan memaksimalkan potensi untuk mengabdi kepada Tuhan.
Kalau seseorang tidak berjalan dengan Tuhan dalam proses perubahan—untuk semakin berkenan kepada Tuhan—maka perjalanan waktu menjadi suatu hal yang sangat mengerikan. Terlebih, waktu ia ada di ujung maut, lalu baru menyadari, betapa singkatnya hidup ini. 70, 80, bahkan 100 tahun dibanding dengan kekekalan, tidak ada artinya. Masalahnya, banyak orang tidak memikirkan hal ini. Bicara soal Langit Baru Bumi Baru atau Kerajaan Surga yang akan datang, dianggap tidak realistis, seperti mimpi. Tetapi, kalau sudah di ujung maut, orang baru sadar, betapa mengerikan perjalanan waktu. Kita bisa membuktikan suatu hari ketika ada di ujung maut. Kita akan merasakan, betapa cepat waktu berlalu.
Kalau seseorang tidak berjalan dengan Tuhan dalam proses perubahan untuk semakin berkenan kepada Tuhan maka perjalanan waktu menjadi suatu hal yang sangat mengerikan.