Prinsip penting yang kita harus ingat, dan ini merupakan tatanan yang tidak bisa diubah adalah proses berlangsung dalam perjalanan waktu. Tuhan memberikan kepada kita, setiap orang, satu rentang waktu yang terbatas, namanya hora atau durasi. Di dalam durasi waktu ini, Allah mau memproses kita. Ada momentum-momentum yang Tuhan izinkan kita alami. Ini namanya kairos. Ada kairos-kairos. Di dalam setiap momentum (kairos) itu ada pelajaran rohani yang Tuhan berikan secara bertahap, proses naik. Ini namanya kronos, kronologi. Kalau seseorang menunda, maka hora menjadi sia-sia, kairos juga menjadi sia-sia, dan kronos tidak terbentuk.
Maka, penundaan itu membinasakan dan gejala pembinasaan itu mulai dapat dilihat sejak hidup di bumi. Seharusnya kita sudah bisa melihat diri kita, apakah kita ini memiliki gejala akan binasa atau tidak? Makanya, potret yang kita harus lihat, cermin yang harus kita lihat adalah Tuhan Yesus. Karena hidup yang berkualitas kita itu standarnya Yesus. Jadi, kalau kita belum seperti Yesus, kita harus gusar (upset), anxious (khawatir). Jangan kita khawatir untuk hal-hal yang tidak perlu kita khawatir; “… mengenai apa yang kita makan, apa yang kita minum, tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya …” Artinya yang harus kita khawatirkan adalah apakah kita sudah menjadi warga Kerajaan Surga yang baik? Dan standar warga Kerajaan Surga yang baik adalah Yang Mulia, wajah Tuhan kita, Yesus Kristus.
Kalau kita memiliki standar rohani yang sudah bertumbuh, maka doa kita tidak lagi dipenuhi dengan berbagai permintaan, tetapi kita hanya mau mendengar suara-Nya, mau menyenangkan hati-Nya dengan penyembahan yang tulus. Di situlah kita membawa korban, yaitu hati yang menghormati Dia, hati yang mengasihi Dia. Yang kita minta hanya satu, “Aku mau menjadi berkenan di hadapan-Mu, Bapa.” Bapa tahu kita punya masalah. Tetapi kalau kita dewasa rohani, maka kita tidak akan mendesak-desak Tuhan, “Tuhan, tolong buka jalan, dengarkan doaku dan jawab aku, ya, Tuhan.”
Sejatinya, kita harus menyerahkan ke tangan Tuhan, sambil kita tetap berusaha untuk menyelesaikan masalah-masalah hidup kita dengan tanggung jawab. Semua kita kembalikan ke Tuhan sambil kita berkemas-kemas. Tetapi jangan berkemas-kemasnya terlambat. Jangan menunda. Tidak sedikit orang yang berkemas-kemasnya menunda. Berkemas-kemas itu sejak dini, supaya kita jangan terlambat. Ada banyak kesempatan yang Tuhan berikan, namun kalau sampai kesempatan itu tidak kita tidak gunakan sebaik-baiknya, kita pasti akan menyesal.
Itulah sebabnya dikatakan di dalam kitab Efesus 5:15-17, “Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat. Sebab itu janganlah kamu bodoh, tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehendak Tuhan.” Di dalam ayat yang lain dikatakan, “Bangunlah, kamu yang tidur, bangunlah dari antara orang mati … Terang akan bercahaya kepada kamu.” Kata ‘bagaimana kamu hidup’ berasal dari kata asli, peripateite. Kata itu bicara mengenai habit (kebiasaan). Tuhan mau kita benar-benar memperhatikan bagaimana kita berkebiasaan. Lalu kalimat yang luar biasa, “… pergunakanlah waktu yang ada, …” Ini sama dengan jangan menunda! Jadi, kalau orang menunda pertobatan, menunda untuk berubah, sebenarnya dia menolak bertobat, menolak untuk berubah.
Tuhan masih beri kesempatan, tetapi ada batasnya. Bukan karena Allah tidak mau mengubah seseorang, tetapi keadaan orang itu tidak bisa berubah lagi. Dan biasanya kalau orang sudah berusia, memang lebih sulit berubah. Jadi, jangan tidak berubah. Elang saja kalau mau belajar terbang harus dihancurkan dulu sarangnya oleh induknya. Sehingga elang itu jatuh. Waktu jatuh itu, barulah dia mencoba untuk terbang. Semua perlu proses, tetapi jangan lupa, kalau sampai terlambat berproses, kita tidak bisa berubah lagi. Makanya, kesempatan itu berharga.
Belajar secara akademis, baik, tetapi belajar di bawah kaki Tuhan tidak akan pernah berhenti (life-long learning) sampai kita menghadap Tuhan. Kita mungkin tidak menyandang gelar sarjana, magister, atau doktor teologi, tetapi kita harus menyandang gelar sebagai anak kesukaan Bapa. Jadi, tepat sekali Tuhan Yesus berkata dalam Matius 18:3, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga.” Anak kecil di sini adalah anak usia 7-12 tahu, paidion, anak yang masih bisa dididik, masih lentur. Jadi, kita harus memiliki kelenturan, dan kelenturan tersebut, terbatas. Kalau di usia tertentu, seseorang sudah tidak bisa mengalami proses perubahan, karena tingkat kelenturannya rendah, sampai tidak bisa diubah lagi.
Proses perubahan berlangsung dalam perjalanan waktu, dan waktu kita terbatas.