Dalam beberapa kesempatan kita membahas mengenai Lukas 18:8, “jika Anak Manusia, datang apakah Dia mendapati iman di bumi?” Ini adalah peringatan yang mengerikan, dan sepatutnya sungguh-sungguh menarik perhatian kita. Tuhan Yesus menyatakan dan mengesankan dengan jelas, bahwa semakin sedikit atau hampir-hampir tidak ada orang yang beriman. Tentu beriman ini harus standar Tuhan. Dan sebagai umat pilihan, kita harus menunjukkan standar iman yang benar itu bagaimana. Maka, kita harus terus berjuang. Kita harus menggeliat dan mempertanyakan apakah kita telah memiliki iman yang benar, sehingga kita diperkenan masuk tempat perhentian Tuhan?
Kita tidak boleh merasa sudah beriman hanya karena ke gereja, mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Itu belumlah standar iman yang Tuhan kehendaki. Jangan kita merasa tenang, jangan merasa aman. Itu ketenangan yang palsu, aman yang palsu, damai yang palsu. Jangan sampai kita menyetujui penyampaian ini, namun begitu kembali pada aktivitas atau kehidupan sehari-hari, kita juga kembali pada ‘tekukan’ yang sudah ada (kebiasaan lama kita). Kita kembali dalam berbagai kesibukan dan aktivitas, sehingga lupa bahwa kita ini umat pilihan. Tidak semua orang dipanggil seperti kita. Umat pilihan itu harus diseberangkan dari Mesir. Dunia ini Mesir, kita mau diseberangkan ke langit baru bumi baru.
Jangan sampai kalimat ini ditujukan kepada kita, “sehingga Aku bersumpah dalam murka-Ku, mereka takkan masuk ke tempat perhentian-Ku.” Memang, Tuhan seakan-akan tidak terganggu dengan perilaku kita yang sembarangan. Tuhan seakan-akan tidak terganggu dengan kita yang tidak berkualitas, yang tidak sesuai standar Tuhan. Tetapi, sebenarnya Tuhan terganggu. Tuhan ingin kita memiliki iman sesuai dengan standar Tuhan. Dan iman standar Tuhan itu seperti yang ditulis di Ibrani 12:2, Yesus. Ketaatan Yesus kepada Bapa di surga, itulah standar iman yang benar.
Kita tidak pernah sungguh-sungguh memperkarakan betapa bencinya Allah terhadap dosa, betapa muaknya Allah terhadap kenajisan. Kita ditipu oleh diri kita sendiri, ditipu oleh kuasa gelap, seakan-akan Allah toleransi terhadap kelemahan dan kekurangan kita, sehingga kita tidak sungguh-sungguh berusaha untuk hidup kudus; tak bercacat, tak bercela. Apalagi kalau kita sudah melihat catatan hidup kita yang telah kita lalui, betapa sulitnya hidup suci, sampai putus asa. Ibrani 12:2 menunjukkan bahwa standar iman kita itu adalah ketaatan Yesus kepada Bapa.
Lalu di ayat yang berikutnya, Tuhan berkata: “dalam pergumulan kamu melawan dosa, kamu belum sampai mencucurkan darah.” “Dosa” artinya kodrat di dalam diri kita yang tidak sesuai dengan pikiran, perasaan Allah. “Dalam pergumulan kamu melawan dosa, kamu belum sampai mencucurkan darah. Dan sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak: Hai, anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak.” Tuhan mau kita menjadi anak; huios, pewaris Kerajaan Allah.
Allah tidak memiliki bisnis lain. Allah hanya memiliki satu bisnis, yaitu keselamatan; mengubah individu menjadi anak Allah. Dan perubahan ini, ini simetris, analog dengan perjalanan bangsa Israel dari Mesir ke Kanaan. Kalau perjalanan bangsa Israel dari Mesir ke Kanaan menempuh jarak, tetapi perjalanan kita menempuh perubahan; dari kodrat dosa menjadi seorang yang berkodrat ilahi. Kalau di dalam Ibrani pasal 12, dikatakan “menjadi orang yang mengambil bagian dalam kekudusan Allah.” Tidak ada bisnis Tuhan yang lain. Kalau kita membaca dalam Yohanes pasal 15 mengenai pokok anggur, Bapa sebagai Pengusahanya, Yesus sebagai pokoknya, kita rantingnya, supaya berbuah. Buah itu apa? Kalau kita menghisap, kita menyerap getah dari pokok anggur itu, kita akan menghasilkan buah. Buah dari serapan karakter dan watak Tuhan Yesus.
Ini perjalanan. Kita harus dalam perjalanan, harus ada perkembangan, jangan ketinggalan. Kalau perjalanan bangsa Israel dari Mesir ke Kanaan itu menempuh jarak, tetapi perjalanan kita dari dunia ini ke langit baru bumi baru, menempuh perubahan. Dan Bapa mendidik kita. Banyak orang yang tidak mengerti atau tidak mau mengerti hal ini. Feel at home, seakan-akan dunia ini satu-satunya kesempatan hidup, padahal kesempatan hidup yang Allah sediakan itu nanti di langit baru bumi baru. Itu harus mencengkeram jiwa kita, menyatu di dalam daging dan darah jiwa kita ini. Sehingga, kita menerima ini sebagai realitas. Walaupun kita belum melihat langit baru bumi baru, kita belum melihat Yerusalem Baru, tetapi jiwa kita telah tercengkeram oleh realita janji Allah tentang perhentian-Nya.
Tidak usah menunggu sekarat di ujung maut atau di dalam ancaman dimana nyawa kita terancam. Tidak usah menunggu itu, mestinya kita sudah sungguh-sungguh menghayati. Hendaknya, jiwa kita dicengkeram oleh realita bahwa kita adalah musafir yang sedang dituntun Bapa menuju Kerajaan-Nya.
Perjalanan bangsa Israel dari Mesir ke Kanaan itu menempuh jarak, tetapi perjalanan kita dari dunia ini ke langit baru bumi baru, menempuh perubahan.