Skip to content

Perhentian Tuhan

Kalau kita sekarang masih memiliki kesempatan, jangan sia-siakan kesempatan itu. Berbahagialah orang-orang yang usianya relatif muda, karena memiliki kesempatan yang lebih banyak untuk diproses menjadi man of God; manusia Allah, yang bebas dari unsur-unsur duniawi, sehingga bisa menjadi manusia cemerlang di hadapan Allah. Jangan terbawa oleh dunia. Kita pasti bisa mengerti bagaimana dunia mencoba menarik kita dari kehidupan keberkenanan di hadapan Allah dengan berbagai pengaruh: lagu, gadget, tontonan film, suasana pergaulan yang begitu fasik. 

Kita yang belajar kebenaran seperti ini, bisa lebih peka melihat. Jadi, jika hari ini kita mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hati. Jangan kita tidak menggeliat. Ayo, kita berubah. Tiap hari berusaha berubah. Di singkatnya waktu hari hidup ini, apalagi mengingat suamnya kekristenan di Barat, menyimpangnya banyak gereja, kita pertanyakan kepada Tuhan, “Tuhan, apa yang harus aku lakukan?” Sementara, kita memeriksa diri dengan saksama, jangan sampai kita sendiri meleset.

Ibrani 4:8, “sebab andaikata Yosua telah membawa mereka masuk ke tempat perhentian, pastilah Allah tidak akan berkata-kata kemudian tentang suatu hari lain. Jadi masih tersedia suatu hari perhentian, hari ketujuh bagi umat Allah.” Maksudnya “perhentian yang sesungguhnya” itu ada di langit baru bumi baru. Ada jenis perhentian lain, selain perhentian di tanah Kanaan. Kita perhatikan, “sebab barangsiapa telah masuk ke tempat perhentian Allah, ia sendiri telah berhenti dari segala pekerjaannya, sama seperti Allah berhenti dari pekerjaan-Nya.” Ini kalimat bagus, “baiklah kita berusaha.” Perhatikan kata ini: “baiklah kita berusaha untuk masuk dalam perhentian itu.” Harus ada usaha. 

Kita mengalir saja,” mengalir ke mana? Banyak orang mengalir, namun sejatinya mereka tidak tahu mereka mengalir ke mana. Dunia lebih kuat arusnya, menggiring orang ke dalam kegelapan abadi. Kalau orang benar saja hampir-hampir tidak diselamatkan, bagaimana dengan orang fasik? Itu firman Tuhan. Jadi, seberapa kita punya usaha untuk masuk dalam perhentian itu? Ingat, tadi firman Tuhan mengatakan ada jenis perhentian yang lain. 

Ini sejajar dengan apa yang kita sering kemukakan. Abraham tinggal di Kanaan, itu negeri yang dijanjikan. Tetapi dia sebagai orang asing di situ. Mengapa? Sebab Dia menantikan janji yang satu itu: Kanaan surgawi. Kanaan di mana Abraham, Ishak, dan Yakub tinggal, di situ dia bersikap sebagai orang asing. Dia hanya membuat kemah, tidak membangun rumah permanen, seperti rumah Abraham di Lembah Sumeria yang sudah Metropolis dan modern pada zamannya. Dia tetap sebagai bangsa nomaden; bangsa pengembara. Kalau sejarah dunia mencatat bahwa nenek moyang bangsa Yahudi itu bangsa nomaden, memang hal tersebut benar adanya. Tetapi kalau membaca Alkitab, Abraham menjadi bangsa nomaden karena mencari negeri yang direncanakan dan dibangun oleh Allah sendiri. Walaupun belum sampai negeri itu, dia sudah melambai-lambai. Ada tanah yang dijanjikan; janji yang satu ini. 

Demikian pula perhentian. Ada perhentian yang lain. Penulis Ibrani menunjukkan adanya perhentian lain. Kalau bangsa Israel, Kanaan duniawi di bumi ini, di Palestina. Kalau kita, di langit baru bumi baru. “Karena itu berusahalah untuk masuk ke dalam perhentian itu,” berusahalah, “supaya jangan seorangpun jatuh karena mengikuti contoh ketidaktaatan itu juga.” Jadi, ada orang-orang yang memang tidak sampai kepada perhentian Tuhan, karena tidak dalam ketaatan atau hidup dalam ketidaktaatan. “Berusaha, sungguh-sungguh,” lalu ayat berikutnya, perhatikan. Ayat ini sering dilepaskan dari konteksnya, tetapi kali ini kita masukkan ayat ini dalam konteks. 

Sebab firman Allah itu hidup, dan kuat, dan lebih tajam daripada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum, ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita.” Percayalah, Roh Kudus melalui Firman-Nya akan memberi kita pengertian hal-hal apa yang masih mengikat hidup kita. Bukan hanya perilaku, bukan hanya perbuatan-perbuatan yang tidak etis menurut etika Tuhan, melainkan juga suasana perasaan kita yang dicemari oleh ikatan-ikatan kesenangan dunia, Tuhan akan tunjukkan. Seperti ilustrasi jika kita seorang pendeta, lalu banyak jemaat datang, kita menjadi senang. Bukan tidak boleh, tetapi kalau itu kita pandang sebagai kebahagiaan, itu menjadi salah. 

Tetapi zaman gereja-gereja Pentakosta dulu, mungkin benar juga, karena gereja-gereja kharismatik dulu miskin dan susah. Gedungnya kecil, memuji Tuhan hanya ada gitar, tetapi mereka tetap bersemangat. Pendetanya pun hanya memiliki alat transportasi sepeda. “Suasana surga turunlah… Suasana surga turunlah…” Itu banyak wanita paruh baya atau sudah lanjut usia—bukan anak muda—tetapi mereka menyanyi dengan penuh semangat dan sukacita.  

Kalau menyanyikan lagu “Oh, Yerusalem, kota mulia, hatiku rindu ke sana,” mereka sampai terharu dan menangis, karena memang mereka tidak punya apa-apa, jadi mereka sungguh-sungguh merindukannya. Tetapi kemudian hari ketika gereja mengalami penduniawian, itu mulai terjadi fantasi-fantasi; sukacita Tuhan, damai Tuhan, tidak seperti yang dulu dirasakan. Dan setan itu cerdik sekali menipu kita. Tetapi Firman Tuhan lebih tajam dari pedang bermata dua, memberi kita pengertian-pengertian supaya kita bisa dikonversi, dari manusia duniawi menjadi manusia rohani. 

Ada orang-orang yang tidak sampai kepada perhentian Tuhan, karena tidak hidup dalam ketaatan.