Di dalam Ibrani pasal 11, kita membaca pernyataan Alkitab mengenai Abraham. Kita membaca bagaimana Abraham telah melihat kota itu, walaupun dia belum mati. Ibrani 11:9, “karena iman, Abraham diam di tanah yang dijanjikan itu seolah-olah di suatu tanah asing,” Abraham tidak feel at home di tanah di mana dia berdiam. Itu tanah Kanaan, sebenarnya. Tanah Kanaan adalah tanah yang dijanjikan Allah kepada Abraham untuk keturunannya secara darah daging, yaitu bangsa Israel atau orang Yahudi. Ia tinggal di situ seolah-olah sebagai orang asing. Ia tinggal di kemah, ia tidak membuat rumah permanen seperti yang pernah dimilikinya di Ur-Kasdim, Lembah Sumeria yang subur dan sudah modern atau maju pada zamannya.
“Ia tinggal di situ bersama dengan Ishak dan Yakub yang turut menjadi ahli waris janji yang satu itu.” “Janji yang satu itu,” maksudnya kota yang mempunyai dasar yang direncanakan dan dibangun oleh Allah sendiri. “Dalam iman, mereka semua telah mati, sebagai orang-orang yang tidak memperoleh apa yang dijanjikan.” Jadi, bukan tanah Kanaan yang dijanjikan Allah kepada Abraham. Yang dijanjikan, sebenarnya adalah Yerusalem Baru, yang sekarang menjadi tujuan perjalanan kita. “Tetapi yang hanya dari jauh Abraham melihatnya dan melambai-lambai kepadanya, dan yang mengakui bahwa mereka adalah orang asing dan pendatang di bumi.” Memang, betapa sulit memiliki penghayatan bahwa dunia bukan rumah kita, bahwa kita sedang dalam perjalanan menuju Yerusalem Baru.
Maksud kata “ketinggalan” yang Alkitab kemukakan dalam Ibrani 4:1 adalah keyakinan akan langit baru bumi baru, janji Allah tentang perhentian, tentang Yerusalem, itu seiring dengan perubahan karakter dan kodrat kita. Tidak mungkin orang bisa menghayati perhentian jiwa jika karakternya masih berantakan. Jadi, seiring dengan kesucian hidup, kehidupan yang tak bercacat, tak bercela, terlepasnya dari ikatan percintaan dunia, seiring itu pula pengharapan kita akan dunia yang akan datang. Hendaknya, itu mengkristal, menguat dalam diri kita.
Jika kita bisa demikian, kita menjadi tidak takut mati sama sekali. Sama sekali tidak takut menghadapi kematian. Tapi, “yang ketinggalan,” pasti merasa bingung. “Kok bisa ya, tidak takut mati?” Mereka tidak akan memahami, karena kesucian hidupnya tidak bertumbuh, dan keterikatannya dengan dunia juga masih banyak. Mereka tidak yakin Allah menyediakan perhentian, tidak yakin bahwa Allah menyediakan langit baru bumi baru. Walaupun mulut mereka berbicara “percaya,” namun sebenarnya hati mereka tidak yakin penuh. Banyak orang di bawah bayang-bayang binasa, terpisah dari Allah selama-lamanya, tetapi mereka bisa hidup dalam ketenangan. Ini membuktikan bahwa jiwa mereka sudah sakit, sudah rusak. Tanpa disadari, mereka telah menjadi sesat. Suatu saat, mereka akan ditolak oleh Tuhan.
Oleh sebab itu, jangan sampai kita ketinggalan. Ini akan terjadi dalam hidup seseorang, tapi jangan terjadi dalam hidup kita. Ketika orang menjadi semakin tua, semakin pula mendekati kematian, biasanya tidak bisa yakin ada surga. Sudah jelas mau mati, tapi ia tidak yakin. Tidak bisa yakin bahwa ada langit baru bumi baru yang menantikan dia. Mau mati saja, yang dipikirkan bagaimana masih punya barang tertentu, “Sebelum mati, aku ingin ke sana. Sebelum mati, aku mau memiliki barang itu..” Sebelum mati, sudah sibuk memikirkan bagaimana petinya atau kuburannya. Bukan tidak boleh. Memang, sebaiknya sebelum mati, kita hendaknya bisa mempersiapkan semua itu supaya yang hidup tidak direpotkan. Tapi, jangan hanya sibuk memikirkan peti. Peti itu hanya tempat untuk tulang-belulang. Yang lebih penting dan utama, pikirkan rumah kekalmu. Jika ajal sudah menjemput, sudah terlambat, sudah tidak bisa.
Banyak orang ketinggalan, tapi mereka merasa biasa saja dan santai saja menjalani kehidupan. Kita harus berusaha agar kita tidak menjadi salah satu dari mereka. Jangan merasa tenang-tenang saja dalam menjalani hidup. Dunia akan berakhir, umur kita akan selesai, detak jantung dan denyut nadi kita pun akan berhenti, tapi kita punya perhentian. Maka, masalah sebesar apa pun yang kita miliki, akan terasa kecil. Kita merasa merdeka, karena kita memiliki perhentian.
Jadi, proyeksi kita adalah “sampai pada tempat perhentian.” Fokus kita adalah tempat perhentian: langit baru bumi baru. Hendaknya, kita bukan hanya cakap dalam berbicara, melainkan juga harus berjuang terus. Harus on processing dalam perjalanan. Kalau bangsa Israel, perjalanannya menempuh jarak. Kalau kita, menempuh perubahan. Pasti ada di antara kita yang hatinya tersentuh dan mulai berkata, “aku mau,” tetapi jangan sampai kita tidak waspada, dan lebih mendengar suara lain dalam hati: “Nanti saja, jangan terlalu ekstrem lah, biasa-biasa saja. Jangan terlalu sucilah, hidup ini. Semua yang berlebihan itu tidak baik.” Sehingga khotbah yang mestinya mengubah kita, menjadi tidak menyentuh sama sekali atau tidak berarti. Ingat, bahwa proyeksi kita hanya satu: kekekalan. Pelayanan ini hanya untuk mempersiapkan kita menjadi umat yang layak bagi Dia, menjadi mempelai, sebagai perawan suci di hadapan Tuhan.
Tidak mungkin seseorang bisa menghayati perhentian jiwa jika karakternya masih berantakan.