Ada hal yang kedengarannya sederhana, tetapi prinsip. Kita semua merasa sudah percaya kepada Tuhan, bukan? Tetapi sejatinya, seberapa percaya kita itu kepada-Nya? Percaya kepada Tuhan itu tidak mudah. Dan harus kita ketahui bahwa percaya kita kepada Tuhan itu berproses, artinya harus lebih meningkat; lebih tinggi kualitasnya, lebih tepat, lebih benar, lebih berkenan di hadapan Tuhan. Sampai sungguh-sungguh percaya kita itu percaya yang memuliakan Allah. Dan Allah merasa bahwa diri-Nya dimuliakan oleh percaya seseorang. Jadi, percaya itu tidak mudah. Harus terus kita bangun karena mengalami progresivitas atau perkembangan.
Jadi, Allah dapat menikmati percaya kita itu dan Allah merasa bahwa percaya kita kepada-Nya itu memuliakan Dia. Kalau kita percaya kepada Tuhan, hidup kita 100% akan direnggut, disita oleh percaya kita kepada Tuhan itu. Kalimat yang kita harus serius perhatikan dalam Galatia 2:20, “Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang ini di dalam daging adalah hidup oleh percaya, oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.”
Percaya yang benar terus mengalami pertumbuhan, perubahan, progresivitas akan merenggut atau menyita seluruh hidup kita. Sampai kita bisa berkata seperti Paulus berkata, “Hidupku bukan aku lagi. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.” Pada dasarnya, percaya kepada Tuhan Yesus berarti bersedia harus serupa dengan Dia; berkarakter kristiani. Itulah sebabnya Tuhan Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Ikutlah Aku;” yang berarti harus hidup seperti Dia hidup, dan itu bersifat progresif.
Kita memiliki karakter yang bisa bertolak belakang dengan karakter Kristus. Bukan hanya berbeda, melainkan bertolak belakang. Kalau Kristus mengasihi musuh, kita bukan hanya membenci musuh melainkan yang bukan musuh pun bisa kita benci kalau kita sedang tidak senang. Ini karakter dosa. Jadi kalau kita ikut Yesus, itu berarti kita ikut cara hidup-Nya, gaya hidup-Nya, maka berproses. Inilah yang dikatakan dalam Ibrani 12:1 sebagai “perlombaan yang diwajibkan,” yaitu agar kita memiliki iman yang sempurna. Jadi mengikut Yesus itu harus memberi diri untuk menjadi serupa dengan Dia, sampai tingkat hidup kita disita, direnggut.
Selama ini, sebagian besar orang Kristen, seperti kita dulu, merasa sudah percaya. Sejatinya, ini adalah pengaminan akali, persetujuan pikiran. Mereka diparkir di level itu. Akhirnya dunia mewarnai, yang membuat ia tidak serupa dengan Yesus, tapi serupa dengan dunia ini. Namun dia sudah merasa percaya kepada Tuhan Yesus. Padahal percaya itu berarti harus berani memberi diri untuk serupa dengan Yesus. Jadi kalau orang Kristen tidak makin serupa dengan Yesus, pasti percayanya salah. Hidupnya pasti tidak disita oleh percayanya tersebut. Akhirnya, hidupnya akan disita oleh kesenangan-kesenangan dunia dimana dunia menawarkan berbagai kesenangan yang dijadikan target, lalu hidupnya ditujukan untuk mencapai target-target tersebut.
Hati-hati untuk para pendeta. Memang target kita kelihatannya bukan target duniawi, tetapi intinya bisa sama: kepuasan dan kehormatan diri di dalam gereja. Sejatinya, ini lebih jahat. Bagi orang di luar gereja, mereka mencari kehormatan, kepuasan daging, di dunia sekuler dengan instrumen dan alat-alatnya. Kalau pendeta, instrumennya adalah pelayanan gereja. Ini mengerikan. Kalau kita percaya dengan benar, kita harus tahu bahwa percaya kita harus bertumbuh. Pertumbuhan percaya kita itu bukan hanya diisi pengetahuan tentang Tuhan atau kegiatan rohani, tetapi dalam hitungan menit kita bergumul untuk terus menyesuaikan apakah kehendak kita ini sesuai dengan kehendak Allah.
Per jam, per menit, bahkan per detik apakah kehendak kita selalu sesuai dengan Allah? Bukan hanya kalimat, tetapi per kata yang kita ucapkan, apakah sesuai dengan kehendak Allah? Jika kita jujur dan sadar akan hal ini, terus terang kita malu kepada diri sendiri. Karena kita seperti menjadi seperti anak-anak; mulai dari nol. Ternyata setiap kata, ada saja salahnya. Apa yang kita lihat, apa yang patut kita lihat, apa yang tidak patut kita lihat, kita seperti merajut kain. Dan ini adalah kain kesucian kita. Di situ kita mulai merasakan apa artinya hidup kita disita oleh Tuhan.
Kalau dulu kita mau beli barang apa, kita beli. Tetapi sekarang setelah kita mau mencari perkenanan Tuhan sebagai wujud dari pergumulan percaya atau iman kita, kita pertimbangkan apakah ini kebutuhan yang berguna untuk melayani Tuhan, atau hanya untuk kesenangan diri? Tentu kita tidak perlu mengucapkannya kepada orang. Namun kita gumuli sendiri. Kita akan mulai melihat manusia lama kita yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. Kita makin jelas melihat manusia lama kita dengan hasrat-hasratnya, dengan keinginan-keinginannya, dengan kegemaran-kegemarannya. Sampai kita bisa mengancam dan marah terhadap manusia lama kita, “Diam, kamu! Saya tidak ikuti kamu. Aku memilih Tuhan.” Karakter kita diasah sampai kita memiliki karakter ilahi.
Kalau orang Kristen tidak makin serupa dengan Yesus, pasti percayanya salah.