Kita harus sungguh-sungguh mencari Allah. Kita membutuhkan Dia lebih dari membutuhkan apa pun dan siapapun. Orang yang benar-benar membutuhkan Allah secara proporsional akan merasa haus dan lapar akan Allah dan kebenaran, sehingga ada perasaan krisis di dalam dirinya karena ada kebutuhan yang belum terpenuhi. Sejatinya, kita harus lebih memiliki perasaan krisis karena keadaan sakit kita, daripada berbagai pemenuhan kebutuhan jasmani. Kalau kita merasa ada perasaan krisis kita untuk hal lain yang bukan terkait dengan Allah, maka fokus kita pasti menjadi bias atau salah. Sering kita merasa krisis untuk hal-hal yang kita tidak perlu merasa krisis. Inilah yang menutup mata kita terhadap krisis yang mestinya kita tanggulangi, yang mestinya kita antisipasi. Terkait dengan hal ini, Tuhan Yesus berkata dalam Matius 10:28-29, “Dan janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa. Takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka. Bukankah burung pipit dijual dua ekor seduit? Namun seekorpun daripadanya tidak akan jatuh ke di luar kehendak Bapamu.” “Seduit” adalah mata uang paling kecil pada zaman tersebut yang dapat membeli dua ekor burung. Tuhan menyatakan bahwa kita lebih berharga dari banyak burung.
Tuhan mengingatkan untuk kita tidak khawatir mengenai pemenuhan kebutuhan jasmani. Mengapa? Karena ada hukumnya, ada tatanannya. Kalau kita bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan jasmani kita dengan bekerja keras, menjaga pola hidup dan pola makan yang baik, jujur, rajin, maka kita pasti bisa menyelesaikannya. Kalaupun sudah sebaik-baiknya tapi kita tidak memiliki banyak, berarti itu memang porsi kita yang dipandang Tuhan tepat bagi kita. Antara kebutuhan dan keinginan, harus bisa dibedakan. Tidak semua keinginan itu adalah kebutuhan kita. Maka mengenai pemenuhan kebutuhan jasmani, harus ada rasa cukup. Kita harus sudah merasa cukup dengan apa pun yang Allah berikan, namun tidak merasa cukup dalam pengenalan akan Allah. Jadi, jangan merasa krisis untuk hal yang tidak perlu kita merasa krisis. Ayat Matius 10 ditulis sesuai dengan konteks zaman waktu itu, dimana orang-orang Kristen teraniaya. Mereka harus mempertaruhkan nyawa demi imannya. Hari ini kita tidak perlu sampai mempertaruhkan nyawa secara fisik. Tapi juga tidak kalah hebatnya pertaruhan kita, karena kita menghadapi dunia yang materialistis, sementara kita sendiri juga telah dirusak oleh cara berpikir dunia yang telah kita warisi dari nenek moyang dan lingkungan kita. Dan kita harus memegang teguh prinsip-prinsip kebenaran Alkitab yang Tuhan ajarkan. Kita harus berani kehilangan nyawa. “Nyawa” di situ bukan nyawa fisik, melainkan nyawa dalam arti kesenangan-kesenangan.
Sejatinya, perasaan krisis yang benar itu terkait dengan kenyataan adanya kemungkinan kita terpisah dari Allah selama-lamanya. Karena Allah adalah kebutuhan kita satu-satunya dan kita ingin memiliki Dia, kita harus menemukan kemuliaan Allah yang hilang. Kemuliaan Allah yang hilang adalah keberadaan sebagai anak-anak Allah yang modelnya adalah Tuhan Yesus. Pikiran dan perasaan kita sesuai dengan pikiran, perasaan Allah; kehendak kita seturut dengan kehendak Allah. Dan ini bukan hal yang mudah, bahkan ini sebenarnya mustahil. Tetapi yang mustahil bagi manusia, tidak mustahil bagi Allah, asalkan kita mau. Kalau orang nekat, apa pun dia lakukan. Seorang anak muda yang kecanduan obat, dapat mengorbankan seluruh uangnya, bahkan uang orangtuanya. Nekat. Mengapa kita tidak berbuat apa pun demi supaya terhindar dari neraka? Apa pun, agar kita tidak melukai hati Allah. Salah satu alasannya adalah krisis kita itu harus ditujukan kepada hal itu. Karena takut kepada sesuatu yang tidak perlu ditakuti, maka orang tidak takut akan Allah.
Perasaan tersebut ada dalam diri, tanpa kita sadari. Pada waktu misalnya kita dilukai, maka apa pun kita lakukan demi kepuasan kita. Emosi, dendam, atau kesenangan-kesenangan yang lain. Apakah itu berbentuk barang, kepuasan seks, kehormatan, pujian, bisa kita bela atau usahakan sedemikian rupa. Sementara, perasaan krisis terhadap sesuatu yang mestinya kita waspadai—dalam hal ini terpisah dari hadirat Allah—tidak diantisipasi. Karena dia tidak sungguh-sungguh mengantisipasi, hatinya keras. Kalau sampai kita punya ketakutan akan Allah yang proporsional, itu berkat. Terus terang, kita sering kurang takut akan Allah, bahkan tidak takut akan Allah. Hal tersebut membuat kita sembarangan berpikir, sembarangan mengucapkan kata-kata, sembarangan menulis sesuatu di media sosial, sembarangan kita berbuat sesuatu. Orang yang tidak takut akan Allah, itu sama dengan membuang, membelakangi, mengisolasi Allah dari hidupnya.
Sejatinya, perasaan krisis yang benar itu terkait dengan kenyataan adanya kemungkinan kita terpisah dari Allah selama-lamanya.